Kita sedang dalam satu seri pembahasan sampai dengan Masa Adven, yaitu yang disebut dalam Kalender Gereja sebagai Ordinary Time. Sementara Masa Adven sampai dengan Pentakosta merupakan enam bulan yang penuh dengan tanggal-tanggal penting –Natal, Epifania, Lent, Jumat Agung, Paskah, dan hari-hari raya Kristen lainnya– masa Pentakosta sampai Adven adalah sebaliknya, merupakan masa yang relatif kosong-melompong; dan sesuai namanya, ini memang waktu yang ordinary, waktu yang biasa, waktunya Gereja menjalani hari-hari yang sehari-hari saja. Kenapa kita membutuhkan waktu seperti ini dalam hidup gerejawi kita?
Kalau saja kata-kata dalam sebuah kamus bisa hidup dan bikin persekutuan, misalnya persekutuan kata-kata suci, persekutuan kata-kata kotor dan kata-kata makian, persekutuan kata-kata kerja, persekutuan kata-kata benda, dsb., maka kata ‘ordinary’ (biasa) mungkin jadi kata yang paling kesepian karena tidak ada yang mau bersekutu dengannya. Ini adalah kata yang pada dasarnya tidak ada orang mau masukkan dalam kalimat; kita tidak mau jadi orang yang biasa, kita tidak mau memasukkan istilah ‘biasa’ dalam kehidupan kita.
Salah satu keyakinan zaman modern hari ini yang sudah sangat mendarah daging adalah: kita harus punya keunikan barulah kita jadi orang, kita tidak bisa jadi orang yang biasa saja, hidup kita harus bisa membawa perubahan yang terukur. Itu sebabnya dalam sosmed, yang namanya followers, subscribers, dan likes, itu harus ada jumlahnya supaya bisa terukur. Saudara mungkin mengatakan, “Ah, enggak, saya bukan orang kayak begitu; saya bukan orang yang ikut-ikutan orang lain, saya tidak main sosmed, saya bahkan tidak main game.” Hati-hati Saudara, dengan kalimat-kalimat seperti itu karena waktu mengatakan Saudara tidak ikut-ikutan orang lain, itu sendiri mungkin merupakan usaha untuk tampil beda, usaha untuk tidak jadi orang yang ordinary.
Herannya, apa yang ordinary justru adalah apa yang paling membangun dan membawa buah. Itulah sebabnya para Bapa Gereja memberikan kepada kita Kalender ini, kalender di mana separuhnya adalah waktu-waktu untuk ordinary time, waktu untuk kita merenungkan/merefleksikan kecenderungan hati kita yang begitu jijik dengan ordinariness. Jadi dalam seri ini kita mau bertanya, bukan mengenai apa yang spesial dalam Kekristenan, melainkan apa yang ordinary dalam hidup Kristiani, bagaimana Tuhan membentuk dan mengubah kita justru lewat hal-hal yang ordinary dan biasa itu, mengenai what is so special about the ordinary.
Minggu lalu kita membahas mengenai tindakan bangun pagi, satu momen di mana hidup kita paling ordinary, tapi yang justru diangkat menjadi cerminan dari Baptisan, identitas kita di dalam Kristus. Hari ini kita melanjutkan; setelah kita bangun pagi, kita merapikan ranjang. Apa yang bisa kita renungkan dan refleksikan dari liturgi keseharian ini?
Dalam khotbah-khotbah ini kita tidak meng-eksposisi ayat-ayat Alkitab, bentuk khotbahnya lebih meditatif/perenungan, namun kita mau membuka satu ayat yang beresonansi dengan yang akan kita bahas hari ini. Yeremia 13:23, “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya, atau macan tutul mengubah belangnya? Bagaimana mungkin kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang terbiasa berbuat jahat?”
Kembali ke merapikan ranjang, Tish Warren bertanya, “Siapa yang bangun pagi lalu merapikan tempat tidur sendiri?” Adakah di antara kita yang melakukan hal itu? Yang pasti bukan saya; dan mirip seperti saya, ternyata Tish juga tidak. Saya ada ART di rumah yang melakukan hal itu untuk saya. Namun setelah dipikir-pikir lagi, kalaupun tidak ada ART, saya kayaknya juga tidak akan merapikan ranjang saya. Bahkan saya agak kesal kalau tempat tidur saya sudah dibereskan oleh ART, selimut sudah dilipat, bantal sudah disusun, dsb., karena buat saya itu semua cuma bikin saya tambah repot karena malam sebelum tidur saya harus bukan dulu selimutnya, saya harus atur lagi bantalnya. Rasanya sebal, kenapa harus di-reset terus setiap hari?? Seperti juga kalau kemeja kita sudah dicuci dan disetrika dan semua kancingnya dipasang dari bawah sampai atas, lalu waktu mau dipakai harus dibuka satu per satu, itu sangat merepotkan.
Tindakan merapikan tempat tidur, sebenarnya tidak masuk akal kalau dipikir-pikir, karena ujungnya pada hari yang sama pun akan kita berantakin lagi. Tentu saja ada banyak hal dalam hidup kita yang kita lakukan untuk kemudian diberantakin lagi, misalnya kita makan meskipun bakal lapar lagi, piring dan baju kotor yang kita cuci nantinya bakal kotor lagi. Tapi ini beda, karena makan memang dibutuhkan, kita tidak bisa berfungsi tanpa makan, baju kotor dan piring kotor memang bisa membawa penyakit, sehingga jijik juga kalau kita pakai tanpa dicuci. Jadi memang ada poinnya dalam hal-hal tersebut, sedangkan ranjang tidak demikian, ranjang tetap berfungsi sebagai ranjang, entah berantakan ataupun rapi. Itu sebabnya rasanya tidak masuk akal merapikan ranjang.
Warren kemudian bikin survey di Facebook mengenai kebiasaan merapikan ranjang ini. Ada yang mengatakan tidak pernah merapikan ranjang, ada yang merasa hal itu sama sekali tidak perlu, ada yang rajin melakukannya setiap pagi, ada yang melakukannya kadang-kadang. Ada yang merasa merapikan ranjang itu sama pentingnya dengan gosok gigi, jadi kalau sampai kelupaan, malunya luar biasa. Yang paling menarik, ada sejumlah besar orang yang mengatakan bahwa mereka melakukannya pada malam hari, persis sebelum mereka tidur; jadi mereka membereskan dulu ranjangnya, dan mereka langsung bikin berantakan lagi apa yang baru saja dirapikan. Ini menarik, karena membuat kita menyadari bahwa poin dari habit merapikan ranjang terutama bukanlah urusan kerapian itu sendiri, ada something else di sini; apakah itu?
Beberapa orang mengatakaan ini habit yang penting, habit yang akan mengubah hidupmu, habit yang akan membuatmu jadi orang yang lebih bersukacita, produktif, dan sukses. Muluk banget, ya. Tapi kenapa orang bisa berpikiran seperti ini? Mari kita bandingkan dengan ketika kita bangun pagi, lalu apa yang jadi habit-mu dan habit-ku.
Saya pikir, habit setelah bangun pagi saya adalah gowes, karena saya gila gowes. Berhubung saya gowes di jalanan Jakarta, saya selalu bangun jam 4 pagi untuk mulai gowes paling lambat jam 4.30, lalu pulang kira-kira jam 6 pagi begitu matahari terbit, karena jika tidak, saya bisa gepeng tergilas truk di jalanan Jakarta. Itulah habit bangun pagi saya –saya pikir. Namun setelah membaca buku Warren, saya baru sadar ternyata tidak juga; yang pertama-tama saya lakukan setelah bangun pagi bukan gowes, karena sebelum gowes, saya akan ambil HP dulu. Ini yang pasti karena saya harus mematikan alarmnya yang membangunkan saya pagi-pagi, namun tentu saja saya pasti juga cek WA dulu. Kadang-kadang karena begitu terbiasanya bangun pagi, saya sudah bangun sebelum alarmnya bunyi; dan dalam momen seperti itu, saya tetap ambil HP, cek WA. Untung saja saya bukan pemain FB dan kawan-kawannya, kalau iya, saya bisa-bisa tidak gowes karena cek WA saja sudah distracted lama, apalagi kalau ditambah yang lain-lain itu. Dan, yang namanya cek HP, itu bukan cuma soal isinya, tapi juga terasa usefull karena pagi-pagi bangun tidur itu otak kita masih kosong, kita perlu distimulasi supaya fokus, dan dengan demikian mencek HP pagi-pagi itu berfungsi seperti kafein digital –kita bahkan bisa merekomendasikan hal ini bagi orang-orang yang sudah lanjut usia. Belum lama ini Pak Tong sempat jatuh di WC; dan seorang jemaat mengomentari hal ini dan mengatakan, orang yang sudah tua perlu ingat prinsip 3×30, yaitu begitu bangun tidur, buka mata, tunggu 30 detik dulu jangan ngapa-ngapain, lalu duduk 30 detik jangan ngapa-ngapain dulu, lalu berdiri 30 detik jangan ngapa-ngapain dulu, baru mulai jalan. Habit ini katanya akan sangat mengurangi kemungkinan jatuh di WC. Jadi buat orang lanjut usia bagus juga taruh HP di sebelah ranjang karena kalau cek HP pagi-pagi, itu pasti melewati waktu lebih dari 3×30 detik (ini bercanda, jangan dianggap serius).
Kita tahu ada problem dalam habit seperti ini, efeknya tidak berhenti di situ. Warren mengatakan, kalau kita menemukan bayi binatang di hutan, lalu kita bawa pulang, kita rawat dia, maka sejak momen tersebut binatang itu percaya satu hal, bahwa manusia seperti kita adalah sumber dari segala sesuatu yang baik. Inilah binatang yang disebut dengan istilah binatang yang imprinted (binatang yang sudah tercetak) –tercetak dengan manusia. Ini binatang yang tidak lagi liar, tidak lagi bisa hidup di alam bebas, selamanya dia akan bergantung kepada manusia untuk segala sesuatu, untuk perlindungan, makan, minum, dst. Jadi, ritual kita mencek HP pagi-pagi memang tidak makan waktu lama –untuk saya paling hanya sekitar 20 detik sampai 1 menit, orang lain mungkin 5-10 menit– namun tetap saja habit mencek WA pagi-pagi adalah habit yang mencetak saya, sekarang saya jadi manusia yang imprinted dengan teknologi. Ritual ini sedang mencetak seorang manusia yang mulai percaya dan yakin bahwa layar adalah sumber dari segala sesuatu yang baik. Efeknya, cepat atau lambat layar mulai mengisi bukan cuma momen pagi hari tersebut, tapi juga mengisi momen-momen kosong sepanjang hari kita, di antara waktu menunggu telur matang, di antara waktu-waktu jalanan macet. Saya adalah orang yang sebisa mungkin menghindari pakai HP waktu menyetir, tapi kalau sedang menunggu lampu merah, itu lain cerita; dan betapa HP benar-benar membentuk saya, karena dulu saya kesal nungguin lampu merah, rasanya koq lama banget, tapi sekarang lain, sekarang saya merasa lampu merah koq kurang lama.
Habit ritual sehari-hari ini, momen-momen ordinary ini, sedang membentuk kita tanpa kita sadari. Kita dibentuk, dicetak, menjadi orang-orang yang sangat menaruh pengharapannya kepada screen, atau menjadi orang-orang yang sangat anti dan bahkan takut terhadap kebosanan. Ordinary time is a battle ground. Ordinary time adalah momen di mana arah hati manusia dipertempurkan dan diarahkan.
Saudara, inilah poin yang kita sudah bicarakan sejak dulu, yaitu liturgi, rutinitas, habit, yang kita sudah bahas dari pemikiran James Smith begitu lama. Inilah poin yang dalam PA kita membahas pemikirannya Matthew Kaemingk dan Cory Willson. Poin dari semua itu adalah untuk menyadari bahwa hati manusia dibentuk dan dicetak bukan terutama melalui peristiwa-peristiwa besar yang sekali-sekali dan jarang-jarang; hati manusia dibentuk melalui apa yang rutin dalam hidup manusia tersebut, melalui ritual-ritualnya, melalui liturgi-liturginya. Dan, inilah justru permasalahannya, bahwa hal-hal yang rutin, yang ritualistis, yang liturgis, itu mempengaruhi kita, tidak peduli kita sadar atau tidak.
Alasannya yang rutin itu sangat berpengaruh, dan barangkali paling mempengaruhi kita, adalah justru karena kita tidak menyadari pengaruhnya sedang mengerjakan sesuatu dalam hidup kita; dan karena hal ini tidak kita sadari, maka kita juga cenderung mengabaikannya, tidak mementingkannya, merendahkan pengaruhnya. Ambil contoh misalnya dalam kehidupan Gereja kita. Kita tahu, Gereja ada karena kita adalah umat yang dipanggil untuk menjadi alternatif bagi dunia. Gereja adalah showcase dari seperti apa harusnya hidup orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Suatu kerajaan yang manusia-manusianya hidup atas dasar digerakkan oleh cinta kasih Allah, dan bukan oleh cinta akan uang misalnya, itulah seharusnya Gereja. Gereja harus memberikan alternatif, “Hai dunia, ada cara lain lho untuk hidup, yaitu seperti ini”. Masalahnya, kita sebagai Gereja sering kali bingung, seperti apa sebetulnya bentuk hidup yang alternatif itu. Kita menemukan sepertinya kita menjalani hari-hari kita tidak terlalu berbeda dengan tetangga yang non-Kristen. Kita merasa ini tidak beres, maka kita merasa harus membereskan hal ini, seperti apa sebenarnya bentuk konkret dari hidup yang berbeda itu.
Kalau Saudara kilas balik sejarah Gereja Modern, Saudara melihat dalam masa Modern ini ada 2 arus besar yang berusaha menjawab pertanyaan tadi. Arus pertama adalah arus yang datang lebih dulu, yaitu kira-kira pertengahan abad 20, generasi yang biasa disebut generasi Baby Boomers, orang-orang yang lahir tahun 60-an sampai 70-an. Inilah generasi yang meyakini bahwa Gereja yang tradisional itu terlalu membosankan, terlalu biasa, terlalu ordinary, tidak berdampak. Jadi maksudnya: tidak bisa, kalau semingguan Gereja isinya cuma rutinitas –khotbah, sakramen, doa, Mazmur, pengajaran, Persekutuan– perlu ada something more. Perlu ada apa? Biasanya bagi arus yang pertama ini, yang dikatakan sebagai “more” adalah plan yang jelas bagi pertumbuhan rohani. Kalau Saudara lahir pada tahun 60-70-an, mungkin Saudara lebih ke arah ini, yaitu Gereja harus bisa membuat plan yang membawa kerohanian kita naik tingkat, Gereja harus bisa mengubah hidup kita. Itu sebabnya gereja-gereja dalam momen ini biasanya punya banyak program kerohanian –program kerohanian untuk diri, untuk keluarga, untuk remaja, untuk mahasiswa, dll.
Tentu kita tidak mengatakan ini arus yang sepenuhnya salah, kita bukan sedang mengkritisi dan mengatakan Tuhan tidak bekerja melalui semua itu, namun saya ingin kita melihat sesuatu yang menarik lewat membandingkannya dengan arus yang kedua, yang datang belakangan, kira-kira awal abad 21 atau mungkin akhir abad ke 20. Ini satu arus yang isinya orang-orang yang lebih muda, generasi Milenial, generasi X, Y, Z, yang mulai bereaksi terhadap kecenderungan arus pertama tadi. Mereka melihat Gereja arus pertama itu terlalu konsumeristis, sangat individualistis, urusannya cuma perkembangan diri, soal diri dan bagaimana diri di hadapan Tuhan tok, terlalu egois kayaknya. Jadi generasi yang lebih muda ini mulai mengarahkan diri keluar, kepada dunia dan kebutuhannya. Mantranya bergeser, bukan lagi “change your life” melainkan “change the world”. Program-program gerejanya mulai beralih. Tadinya, dalam generasi Baby Boomers fokusnya pada mission trip, KKR suku-suku yang tidak terjangkau di pulau-pulau atau benua lain, sedangkan sekarang, generasi abad 21 lebih mau melakukan pelayanan kasih misalnya, kepada orang-orang miskin di sekitar gereja. Penekanannya lebih ke social justice, Injil dan iman harus membawa perubahan yang nyata, tidak cuma urusan pikiran. Kira-kira seperti itu.
Di atas kertas, Saudara bisa melihat dua arus ini seperti berlawanan; dan kita bukan mau mengatakan dua arus ini sama jeleknya atau yang satu lebih baik dari lainnya, dsb. Poin kita bukan itu. Tentunya ada banyak hal yang Tuhan berkarya melalui mereka; dalam pelayanan GRII Kelapa Gading pun Saudara bisa melihat ada aspek-aspek dari arus masing-masing yang kita kerjakan. Yang saya mau Saudara coba lihat dengan memperbandingkan dua arus ini adalah bahwa sebeda-bedanya mereka di atas kertas, sebenarnya secara dasar mereka punya landasan yang sama, yaitu sering kali mereka cenderung tidak punya ruang bagi apa yang ordinary. Mereka menginginkan something yang extra-ordinary, sesuatu yang di luar dari yang biasa-biasa.
Gereja tradisional terlalu biasa, dan orang-orang Baby Boomers mengatakan, “Kita harus punya program yang jelas”. Orang-orang Milenial, generasi X, Y, Z, mengatakan, “Jangan program kebutuhan rohani kayak begitu, terlalu biasa, kita perlu keluiar menjangkau orang-orang lain yang belum tersentuh, yang tidak terlihat, yang marjinal”; undangannya selalu untuk think outside the box, keinginannya adalah menghasilkan sesuatu yang bisa dilihat, tangible, mengagumkan. Tragedinya, ada something yang hilang dalam kedua arus ini, karena kedua arus ini seberapa pun mereka seperti berbeda, dua-duanya sedang melatih Gereja untuk lari sprint, tapi bukan lari marathon. Dua arus ini sama-sama membiasakan Gereja untuk memprioritaskan cara-cara Tuhan bekerja yang kelihatannya spesial dan extra-ordinary; dan dengan demikian melatih Gereja mengabaikan dan melupakan cara-cara Tuhan membentuk Gereja-Nya melalui hal-hal yang ordinary.
Michael Horton mengatakan, misalnya kalau Saudara memberi kesaksian di gereja, apa yang harus ada? Kita sudah sering membicarakan ini, bahwa yang pertama harus ada adalah shift (perubahan); Saudara tidak mungkin memberi kesaksian di gereja yang isinya cuma ratapan tok, tidak laku kesaksian seperti itu. Ceritanya harus awalnya ratapan, tapi tiba-tiba ada perubahan ke puji-pujian kepada Tuhan; yang seperti itu, baru laku kesaksiannya. Satu detail menarik yang Horton tambahkan, kesaksian tersebut bukan cuma laku kalau ada perubahan, tapi juga kalau perubahannya datang dari sesuatu yang bukan bagian rutin kehidupan gerejawi. Kalau Saudara memberi kesaksian mengenbai perubahan hidup begini: “Saya berubah hidupnya karena dengar khotbah 20 tahun!” itu ‘gak akan laku; tapi kalau Saudara mengatakan, “Saya berubah hidupnya karena saya kecelakaan mobil”, nah, ini baru lain. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya poinnya apa? Poinnya ‘gua harus kecelakaan dulu baru berubah; dan dengar khotbah 20 tahun pun ‘gak bakal ngaruh’ ??
Satu contoh lagi yang mirip, bahwa saya memberikan kepada Saudara sumber dari khotbah saya, yaitu “Theology of Ordinary” karangan Julie Canlis, “Liturgy of the Ordinary” karya Tish Warren, dan “Ordinary” karangan Michael Horton. Dalam PA pun pada pertemuan-pertemuan pertama biasanya saya memberitahukan sumbernya dari sini, dari situ, dsb. Saya memberikan ini, karena saya sebenarnya menunggu-nunggu orang datang kepada saya dan mengatakan, “Jeth, ternyata khotbah lu cuma begitu tok, lu cuma ambil dari orang lain tok; yang lu ngomong kemarin ada di buku yang ini, yang lu ngomong berikutnya ada di buku yang itu”. Tetapi,sebelas tahun saya di sini, herannya yang seperti itu tidak pernah kejadian. Kenapa saya menunggu-nunggu seperti itu? Karena memang itu benar. Kenyataannya khotbah-khotbah saya memang tidak ada pemikiran orisinalnya, semua saya ambil dan compile dari berbagai tulisan orang lain; dan saya tidak merasa aneh dengan itu. Mungkin itu juga sebabnya saya tidak terlalu tertarik untuk ambil Ph.D., karena orang Ph.D. diharapkan bisa menelurkan pemikiran yang orisinal, sedangkan saya tidak bisa, dansaya juga tidak merasa diberikan talenta ke arah situ juga. Anyway, saya menunggu-nunggu orang mengatakan seperti tadi, karena saya merasa itu satu hal yang harusnya bisa encouraging. Poinnya adalah: kalau demikian, maka berarti Bapak atau Ibu yang selama ini merasa mendapat berkat dari khotbah-khotbah saya, jadi tahu itu semua cuma copas-an, dan itu berarti Saudara juga ada akses kepada pemikiran yang sama. Saudara juga bisa mengkhotbahkan khotbah yang sama kepada dirimu sendiri atau keluargamu, kalau Saudara rajin baca buku. Nothing special khotbah-khotbah saya itu, khotbah-khotbah ini diambil dari hal-hal yang semua orang Kristen punya akses. Bukankah ini harusnya encouraging? Ini harusnya lebih encouraging dibandingkan punya pendeta yang selalu bisa mengeluarkan pemikiran yang orisinal. Kalau saya punya pendeta yang seperti itu, saya discourage, karena itu berarti tidak ada gunanya saya mencoba belajar sendiri karena tidak akan bisa jadi seperti dia, maka better jadi orang awam yang duduk diam mendengarkan hasil kunyahan orang lain, tidak perlu menggali sendiri, karena saya tidak bisa melakukannya anyway. Bukankah yang seperti itu discouraging??
Waktu saya di Melbourne dulu selama 4 tahun, MRII Melbourne pada waktu itu sempat ada masa tidak punya hamba Tuhan yang menetap, biasanya 2-3 bulan sekali ada hamba Tuhan yang datang selama sekitar 3 minggu. Jadi ada banyak minggu-minggu yang kami spend tanpa kehadiran hamba Tuhan (jumlah jemaatnya 80 sampai 100-an), sehingga kami sudah terbiasa mengisi sendiri persekutuan-persekutuan dan juga kebaktian-kebaktiannya. Terkadang kami mengundang pendeta dari gereja Reformed Australia untuk datang berkhotbah, namun cukup sering juga seorang pemuda dari gereja kami (sekarang sudah jadi hamba Tuhan) yang memberikan khotbah –dan khotbahnya bagus. Sebagai sesama pemuda, kami sering memuji dan mengagumi khotbah pemuda senior tersebut; dan dia simply mengatakan: “Sebenarnya, kalau kamu baca buku, bisa juga keluarin hal yang sama. Itu saja rahasianya”. Kalau mendengar kayak begini, Saudara ter-encourage atau discourage?
Saya, kalau melihat Pdt. Dr. Stephen Tong berkhotbah, saya discourage, karena saya tahu tidak ada yang seperti dia. Saya ter-ecourage waktu melihat sosok hamba Tuhan yang lain, misalnya Ibu Inawaty Teddy, karena hal-hal yang beliau ajarkan ternyata ada di buku ini dan buku itu, ada di commentary ini dan commentary itu. Ini encouraging karena ini berarti apa yang beliau punya, saya bisa akses; apa yang membuat saya merasakan berkat dari tangan beliau, itu adalah apa yang saya sendiri bisa akses. Ada something yang ordinary di situ –dan harusnya ini encouraging. Anehnya, kenapa kita selalu mengejar extra-ordinary? Kenapa kita senantiasa mengejar apa yang exceptional?? Itu bukan Injil, karena apa benar Saudara harus tertabrak mobil dulu baru bisa berubah??
Contoh lain lagi, mengenai relasimu dengan pasanganmu atau anak-anakmu. Kalau Saudara mau menilai relasimu itu oke atau tidak oke, dari mana menilainya? Hal apa yang Saudara pakai sebagai ukuran? Kalau Saudara baru menikah 1-2 tahun atau baru punya anak 1-2 tahun, akan sulit mengukur pernikahan tersebut. Situasi saya mungkin lumayan aneh, karena saya sudah menikah 11 tahun tapi baru punya anak 1-2 tahun. Kalau saya mau menentukan apakah anak-anak saya ini bertumbuh baik atau tidak, relasinya dengan saya oke atau tidak oke, adakah yang perlu saya tingkatkan atau cukup menjalankan saja yang sudah ada, saya bingung bagaimana caranya, karena anak-anak umur 1-2 tahun itu senantiasa berubah. Apa yang saya anggap positif hari ini, besok bisa hilang; apa yang saya anggap menyebalkan hari ini, besok juga bisa hilang. Agak bingung jadinya, maka kami menjalani dulu saja, melakukan sebaik mungkin, meski tidak terlalu bisa mengukur seberapa idealnya relasi kami dengan dia –dalam waktu 1-2 tahun. Namun kalau saya melihat sisi pernikahan –yang sudah 11 tahun kami menikah– saya bisa lebih menyadari apa saja tangan-tangan Tuhan dalam pernikahan yang 11 tahun ini. Saya bisa melihat lebih jelas cara-cara yang Tuhan pakai –yang tidak disangka-sangka– yang mengikat kami makin erat setiap harinya. Kami lebih gampang mengidentifikasi pertumbuhan yang pernah terjadi dan sudah terjadi dalam kedalaman relasi tersebut; misalnya, ‘O, dulu waktu baru dua tahun menikah, kayak begini, tapi sekarang sudah enggak’.
Hal ini Saudara bisa melihat lebih jelas kalau Saudara punya jangka waktu yang panjang. Coba Saudara menilai relasimu dengan keluargamu hanya dengan rentang satu minggu terakhir, tidak bisa ‘kan. Minggu lalu saya baru liburan dengan keluarga. Dalam liburan kita merasa have fun, kita merasa relasi meningkat, banyak momen yang kita cherish, banyak momen yang kita jadikan foto. Waktu kita melihat kembali foto-foto itu, kita tertawa-tawa, ‘wah, ini keren, ya’, ini momen yang berharga. Tapi apakah itu berarti relasimu dengan keluargamu somehow lebih meningkat lewat satu minggu terakhir itu? Tentu tidak; Saudara tahu itu palsu, karena begitu kembali ke rumah, kehangatan tersebut kembali ke level biasa. Begitu problem-problem kerja dan sekolah kembali, kehangatannya kembali turun ke level yang ordinary! Oleh sebab itu pertumbuhan keluarga hadir justru lewat momen-momen yang ordinary tersebut, bukan momen-momen yang spesial. Momen-momen di mana relasi kita ditempa dan dibangun, lahirnya adalah lewat momen pembicaraan-pembicaraan biasa, keputusan-keputusan biasa, sentuhan-sentuhan dan kata-kata yang biasa, karena memang di situlah kita menghidupi kehidupan ini. Kita tidak menghidupi kehidupan di dalam bingkai foto; justru kehidupan kita porsi sangat besarnya adalah yang di luar bingkai foto, yang tidak tertangkap oleh KODAK, FUJI, dan kawan-kawannya.
Satu fenomena yang seringkali muncul dalam gaya parenting hari ini –dalam hal ini yang paling merasa guilty khususnya para bapak– yaitu istilah “quality time”. “Saya melakukan quality time dengan anak-anak saya”, itu gombal. Itu sebenarnya cuma alasan, karena Saudara sebenarnya sibuk banget, tapi Saudara lalu mengatakan, “Saya selalu menyediakan quality time dengan anak-anak saya”. Gombal. Coba sekali lagi Saudara pikirkan, kapan identitas anakmu itu dibentuk, kapan dia mulai mendapatkan jati dirinya, dalam momen-momen seperti apa? Paling gampang coba kita pikir, kapan anak-anakmu dapat nickname? Bukankah itu justru keluar dalam momen-momen yang tidak direncanakan, tidak diprogram, tidak dijadwal ‘kan. Bahkan kalau Saudara coba memikirkan kapan nickname itu keluar, Saudara akan struggle untuk mengingat satu kejadiannya, karena hal tersebut biasanya jadi dalam satu rentang waktu, mungkin 5, 6, 10 kali kejadian, yang spread overtime, yang lalu mulai mengokohkan nickname anak tersebut. Sering kali seperti inilah nickname; dan ini nama yang melekat, yang mungkin kita rasa itulah diri kita. Identitas anakmu itu dibentuk lewat kejadian-kejadian seperti ini, momen-momen yang tidak direncanakan, tidak diprogram, tidak dijadwal. Pertanyaan anakmu yang adalah satu keping puzzle paling crucial bagi imannya, itu mungkin pertanyaan yang datang hari Minggu pagi lewat khotbah yang biasa, yang kau rasa remeh, namun waktu Saudara menjawabnya, bagi dia itu sesuatu yang selama ini dia butuhkan. Jadi jangan pernah pikir Saudara bisa membayar utang di mana anak-anakmu kehilangan waktu-waktu ordinary bersamamu, dengan trip ke New Zealand, trip ke Jepang, dan trip-trip luar biasa. Tidak bisa. Semua relasi jangka panjang untuk bertumbuh dengan sehat, itu membutuhkan ordinary time, membutuhkan waktu-waktu sederhana itu, jam, menit, detik, bulan, dan tahun.
In some sense, Saudara jadi melihat bahwa kecenderungan kita mengangkat hal-hal yang spesial dan merendahkan hal-hal yang biasa, itu sudah ada sejak entah kapan. Tadi kita membahas arus Gereja modern sekarang ini, namun kalau kita melihat lebih ke belakang lagi dalam sejarah Gereja, kita akan melihat ini lebih jelas. Kalau Saudara melihat balik sampai ke era Gereja Medieval (Gereja Katolik Roma), hal yang sama juga terjadi, koq. Dalam masa itu, kalau Saudara mau jadi orang Kristen biasa/awam, silakan; tapi kalau mau masuk ke dalam suatu pengalaman ilahi yang lebih wah, itu ada jalannya, yaitu Saudara menjadi seorang priest (pastor), menjadi seorang biarawan atau biarawati. Kehidupan pernikahan yang biasa, itu sih oke, tapi hidup selibat lebih keren. Bahkan menjadi biarawan pun ada kelas-kelasnya, yang paling tinggi adalah yang mengambil “vow of poverty” (janji kemiskinan).
Saudara jangan sangka ini cuma ada dalam Katolik Roma, dalam Protestantisme pun ada yang kayak begininya, misalnya –yang menjangkiti banyak dari antara kita juga– yaitu yang disebut revivalism, corak Gereja yang sangat dipengaruhi –kebablasan– dengan model kebangunan rohani (harap Saudara dewasa mendengar ini, waktu saya mengkritik hal seperti ini, itu bukan berarti Tuhan tidak pernah bekerja lewat kebangunan rohani, tapi bahwa Saudara juga perlu menyadari sisi-sisi yang juga ternyata negatif). Dalam masa-masa kebangunan rohani Gereja-gereja Amerika dan Eropa pada abad 19-20, kebangunan rohani ini menggeser kehidupan Gereja yang rutin mingguan. Anak-anak yang tadinya diajar lewat katekismus, secara rutin setiap minggu, di gedung gereja dengan segala pernak-perniknya –baki Baptisan di pintu masuk, dsb.– sekarang pindah menjadi KKR yang sekali-sekali, di lapangan terbuka. Pengalaman ini sangat berbeda secara radikal. Waktu Saudara datang ke KKR, perasaanmu meluap-luap. Waktu Saudara melihat orang banyak sampai ribuan berbondong-bondong maju ke depan, maka Saudara yang hatinya batu pun tidak bisa cuma main HP dalam momen seperti itu –atau Saudara main HP dengan memotret sana sini.
Celakanya, hal-hal yang extra-ordinary ini tentunya lama-kelamaan terasa biasa lagi; maka kemudian ada lagi kecenderungan hati kita untuk keluar dari yang ordinary ini. Itu sebabnya mulailah gerakan Pentakosta dan Kharismatik, mereka mengsulkan cara yang lebih extra-ordinary lagi. Beberapa yang ekstrim mengatakan: bagaimana jika (what if) Tuhan bisa berbicara kepadamu di luar Alkitab. Keren ’kan, ada kehadiran Tuhan yang ekstra. Meskipun kata Paulus kehadiran Kristus itu dekat dengan kita melalui firman-Nya, kita ingin something yang ekstra, jadi what if kalau kita bisa mendapatkan message baru dari surga setiap pagi. Selain itu, Saudara sudah dibaptis, oke, tapi Saudara sudah dibaptis roh atau belum?
Ini bukan cuma problem orang-orang Pentakosta dan Kharismatik, ini problem yang menjangkiti kita semua. Saudara jangan pikir saya sedang gebukin mereka, karena berikutnya Saudara lihat Calvinisme pun agak ketularan hal ini. Majalah TIME edisi Maret 2009 mungkin satu-satunya edisi yang pernah dikutip para pendeta Reformed di atas mimbar, karena ini edisi yang membahas the next big thing, sesuatu yang extra-ordinary, dan 10 tren yang akan mempengaruhi dunia ke depannya salah satunya adalah New Calvinism. Wow! Pendeta-pendeta GRII pun mengutip hal itu terus-menerus, mencoba memperlihatkan: “Ini lho! Calvinisme ternyata tidak sebegitu obscure-nya, ‘gak segitu ndesonya, ada kerennya juga!” Atau misalnya Collin Hansen, seorang pendeta Reformed juga, membuat satu istilah baru: “Kita ini orang-orang Young, Restless, and Reformed!”
Ironisnya, setelah orang-orang dalam gerakan-gerakan seperti ini tumbuh dewasa, mereka menemukan bahwa pengalaman pertobatan dalam KKR, pengetahuan doktrin yang mutakhir, itu tidak bisa dipakai untuk menambal pemahaman iman yang mendalam dan berakar. Tidak bisa. Mengenai ‘apa yang kita percayai, kenapa kita mempercayai itu’, tidak bisa ditambal dengan semua itu. Jadi hal-hal seperti itu diisinya dari mana dong?? Diisinya justru lewat pelayanan yang ordinary, yang minggu demi minggu. Itulah yang bisa membawa pertumbuhan yang sustainable, yang membuat kita berakar dengan dalam. Poinnya, battle field kehidupan kita ditentukan justru dalam apa yang ordinary.
Yang menarik, bahkan dalam urusan peperangan pun ada istilah ‘orang bisa win the battle, but lost the war’ (menang pertempuran, tapi kalah perang). Kenapa? Karena yang namanya perang pun, menang kalahnya sering kali bukan terjadi dalam pertempuran besar. Kalau Saudara seorang yang mengagumi sejarah peperangan, Saudara akan melihat ini berkali-kali dalam sejarah perang dunia. Misalnya dalam Perang Dunia ke-2, semua orang cuma ingat momen-momen klimaksnya, yaitu bom atom, Pearl Harbour, bunuh dirinya Hitler, dsb. Tapi kalau Saudara mendalami Perang Dunia ke-2 dengan membaca tulisan dan analisa orang-orang mengenai kenapa perangnya bisa dimulai, perang tersebut bukan bermula dari letusan senjata yang pertama, melainkan sudah ada bibit-bibitnya jauh sebelum itu. Kenapa Jepang dan Jerman bisa kalah? Itu tidak dimulai dengan bom atom, itu sudah dimulai dari hal-hal yang ordinary, yang biasa, misalnya suplai logistik yang tidak kunjung beres. Atau juga misalnya dari kekeraskepalaan seorang pemimpin, yang ternyata muncul dari hal-hal keecil, dari keputusan-keputusan yang kecil, sehingga waktu keputusan yang besar/klimaks diambil, para bawahan pun sudah tahu apa yang akan terjadi, mereka tidak kaget keputusan yang salah itu diambil, mereka hanya saling pandang tanpa perlu berkata-kata, karena semuanya sudah bisa melihat hal-hal tersebut jauh-jauh hari. Ini perang; perang tidak menang atau kalah di hari pertempuran.
Kembali ke Tish Warren, dia memutuskan untuk memulai habit yang baru; dia memutuskan untuk pagi-pagi bukan cek HP, tapi mencoba merapikan ranjangnya. Setelah ranjangnya rapi, dia juga memutuskan untuk duduk di atas ranjang tersebut dan simply berdiam diri sebentar, beberapa menit saja dalam kesunyian. Ini tentunya tidak bisa dilakukan kalau HP-mu ada di meja sebelah ranjang, maka dia memutuskan untuk HP-nya tidak masuk kamar tidur. Jadi bagi Saudara yang mau mengikuti liturgi ini, Saudara harus tahu harga yang harus dibayar. Omong-omong, saya ingin mencoba liturgi-liturgi ini. Sekarang saya sudah mencoba melakukan ritual “tanda salib” pagi-pagi (seperti yang kita bicarakan minggu lalu; lagipula ini bukan ritual Katolik, ini juga ritual Lutheran, dan saya tidak melakukannya di gereja), lalu apa efeknya, nanti setelah beberapa tahun saya akan melaporkan kepada Saudara. Saya encourage kalau Saudara mau menjalankan hal-hal seperti ini, karena tidak ada gunanya mengkhotbahkan hal-hal yang ordinary kalau hidupmu yang ordinary itu tidak diubah.
Apa efek dari merapikan ranjang bagi Warren? Efeknya bukan dia tiba-tiba jadi orang yang hidupnya langsung jungkir balik sebagaimana janji-janji muluk orang-orang di Facebook, namun dia merasakan ada sesuatu efek yang halus, yang dia bisa bagikan kepada kita, yaitu dia mulai melihat bahwa hari-harinya dicetak dengan lain sekarang. Ada sesuatu yang lain yang tercetak dalam hidupnya sekarang, karena hal-hal pertama yang dia lakukan setelah bangun pagi bukan lagi tindakan seorang consumer. Kalau Saudara ambil HP/gadget, itu tujuannya ke diri sebagai consumer, mengenai apa yang Saudara bisa dapat, apa yang Saudara bisa konsumsi, apa yang bagi-mu menarik, entah itu entertainment, news, infotainment, game, atau apalah. Jadi sekarang dengan merapikan ranjang, Warren menyadari dia memulai harinya bukan lagi sebagai seorang consumer; lalu sebagai apa? Sebagai seorang co-labour, rekan kerja. Hah?? Rekan kerja siapa? Rekan kerja Allah. Itulah diri kita, sebagaimana dikatakan dalam 1 Kor. 3:9, kita adalah rekan kerja Allah.
Dari mana merapikan ranjang bisa dibilang sebagai melakukan pekerjaan Tuhan? Tish Warren mengatakan, kalau Saudara baca Alkitab, hal pertama yang Allah kerjakan adalah menciptakan dunia ini; dari bumi yang belum berbentuk dan kosong, dari samudra raya yang menutupi seluruh permukaannya –dari sebuah kekacauan– Allah membawa keteraturan, Allah mengubah chaos menjadi cosmos, mengubah kacau menjadi teratur, mengubah ugly menjadi beauty, dari tidak ada ruang bagi kehidupan menjadi ada ruang bagi kehidupan. Dengan demikian, merapikan ranjang pagi-pagi berarti menjadi rekan sekerja Allah, karena hal itu merefleksikan sejentik keteraturan yang Allah bawa ke dunia ini melalui cara yang memang sangat kecil –cara yang sangat ordinary— namun membawa sedikit keteraturan dari sedikit kekacauan. Dan, hal ini efeknya jelas, yaitu di atas ranjang tersebut sekarang ada ruang bagi kehidupan. Di dalam rumah yang berantakan, sekarang ada sepotong area di mana ada keteraturan, ada beauty. Dan somehow, keteraturan yang kecil, yang sepetak ini, di atas ranjang ini, mulai membawa masuk sedikit keteraturan ke dalam hati dan pikiran Warren, yang juga diakuinya kacau dan berantakan. Jadi, Warren membiasakan diri duduk di situ, kadang dia berdoa, kadang dia membaca Alkitab, kadang dia bermazmur –tapi ini tidak harus– dia simply duduk dalam kesunyian dan mengundang Allah masuk ke dalam harinya, karena sebagaimana kita bicarakan kemarin, this is the day that the Lord had made, inilah hari yang Tuhan ciptakan.
Saudara lihat, efeknya kecil, halus, tapi riil, ada. Inilah sebabnya liturgi dan rutinitas itu ngefek. Bukannya liturgi dan rutinitas itu ‘gak ngefek, tapi kitalah yang sudah tidak lagi terbiasa peka terhadap efeknya, kita sudah tidak lagi peka melihat efek dari apa yang rutin dan yang kecil. Padahal yang kita ulang-ulang inilah yang mengubah dan membentuk hidup kita. Jadi, lewat kita melihat habit-habit harian kita sebagai liturgi, itu membuat kita menyadari bagaimana habit-habit ini membentuk atau merusak kita, membuat kita jadi lebih manusiawi atau kurang manusiawi, lebih bisa memberi kasih atau kurang bisa memberi kasih, lebih bisa menerima kasih atau kurang bisa menerima kasih.
Sama halnya dengan Liturgi Gereja; apa dampak terbesar dari litugi gereja? Susah juga mengatakannya, karena gereja ada banyak macam, liturginya berbeda-beda. Ada yang pakai high liturgy yang sangat terstruktur, ada juga yang menolak pakai liturgi. HP orang pun berbeda-beda, isinya beda-beda, app-nya juga beda-beda, namun intinya tetap ada sesuatu yang universal dari semua itu, yaitu bahwa kita dibentuk, dilatih, digerakkan, untuk mengejar stimulasi dan entertainment melalui teknologi, menjadi orang-orang yang menyembah layar. Demikian juga liturgi gereja bisa bermacam-macam, namun paling tidak Saudara bisa merenungkan ini: ada sesuatu dari setiap mereka yang akhirnya menjadi biasa, menjadi pola, itulah yang namanya liturgi; bahkan gereja-gereja yang anti-liturgi pun, pada akhirnya dalam jangka yang panjang tetap ada pola tertentu mengenai bagaimana memulai dan bagaimana berakhir. Tidak ada gereja yang anti-liturgi dalam arti setiap Minggu mereka ganti-ganti, minggu ini pakai liturgi GRII, minggu depan pakai liturgi GBI, minggu depannya lagi HKBP. Kalau pun melakukan yang seperti itu, setelah 10-12 kali maka akan jadi pola, akan jadi biasa. Itu sebabnya liturgi adalah pola, tidak ada something yang magical dalam hal ini yang bisa membuat kita lepas dari dosa sekian persen setiap minggunya. Liturgi adaalah sesuatu yang biasa, yang ordinary, maka paling tidak efek yang paling menyeluruh adalah ini: membawa kita menghargai apa yang berulang, menghargai yang apa repetitif, menghargai apa yang ordinary.
Kita sudah pernah membahas hasil riset yang cukup disturbing tentang tiga kelompok tikus. Yang satu dielus-elus, satunya lagi dicuekin dan diisolasi, tidak bisa bertemu tikus lain, dan satunya lagi disetrum; dan yang disetrum ternyata lebih sehat daripada yang diisolasi. Ini tikus. Tapi ternyata tentang manusia ada risetnya juga, yaitu dari University of Virginia yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya edisi July 2014, Vol. 345, Issue 6192. Orang-orang dites, disuruh duduk 15 menit dan tidak boleh ada distraksi sama sekali, apakah bisa tahan atau tidak. Mereka tidak boleh cek HP, tidak boleh ngapa-ngapain sama sekali, 15 menit sendirian dan hanya ditemani pikirannya sendiri. Twist-nya, mereka diberikan satu tombol yang kalau dipencet akan memberi kejutan listrik di kaki. Sebelum menjalani tes ini, orang-orang itu sudah disurvey dulu dengan mencoba setruman tersebut, apakah suka atau tidak. Mayoritas mengatakan tidak suka, di bayar pun tidak mau. Tapi waktu disuruh diam 15 menit tanpa ada distraksi, ternyata mayoritas memencet tombol tadi (memang ada yang gila, dia pencet ratusan kali, tapi ini kasus khusus). Jadi ini berarti manusia lebih suka menyakiti dirinya sendiri, dibandingkan bosan, ditinggalkan dengan pikirannya sendiri tok. Kalau seperti inilah kita, manusia, maka Saudara bisa melihat kenapa Gereja membiasakan umatnya untuk menyadari betapa ritme iman justru hadir melalui apa yang repetitif.
Saudara, habit merapikan ranjang itu menyebalkan; kenapa? Karena ini habit merapikan sesuatu yang akan diberantakin lagi dan lagi, lagi dan lagi –repetitif. Namun sadarkah Saudara, inilah justru ritme dari iman yang hidup? Iman yang menyadari dirinya dibentuk melalui apa yang diulang lagi dan lagi. Di hari Minggu, yang kita lakukan adalah simply belajar duduk bersama dan melakukan apa yang repetitif, lagi dan lagi. Itulah poin dari liturgi kita. Kita sedang diajak untuk belajar ritme iman yang repetitif dan lambat. Pengharapannya, bahwa lewat ini kita diajar untuk slow down, untuk bisa dengan berani masuk ke kehidupan yang biasa-biasa, merangkul kehidupan yang ordinary, untuk bisa percaya bahwa Tuhan kita justru lebih sering datang dan bekerja melalui momen-momen yang kecil, yang biasa, yang average. Kita dilatih untuk belajar menyadari bahwa bait Allah bisa –dan memang– dibangun di atas ordinary time.
Especially di tengah-tengah budaya yang menyembah apa yang besar, wah, dramatis, nendang, afdol, maka memupuk kehidupan yang punya ruang bagi keheningan dan pengulangan, itu crucial bagi iman yang bertumbuh. Ibadah bersama kita sebagai Gereja, membentuk kita menjadi orang-orang yang menghargai apa yang sungguh-sungguh membawa kehidupan, bukan menghargai apa yang sekadar trendy, kencang, exciting. Semua orang mau bikin revolusi, tapi tidak ada yang mau cuci piring.
Tidak ada masalah sih kalau Saudara mau jadi orang yang mengerjakan hal-hal besar bagi Tuhan; tujuan dari seri khotbah ini bukan untuk membuatmu jadi malas. Tujuan seri ini bukan menyetop engkau melakukan apa yang sudah kau lakukan. Tujuan seri ini adalah mengoreksi sikap kita terhadap hal-hal yang lain, hal-hal yang kita tidak bisa langsung lihat dan rasakan pengaruhnya, dan kita dipanggil untuk mengubah sikap kita terhadap hal-hal tersebut, hal-hal yang biasa. Saudara mau revolusi? Silakan. Tapi Saudara harus tahu, revolusi pun tidak akan terjadi jikalau tidak ada piring yang dicuci. Coba pikirkan kalimat itu sebentar.
Merapikan ranjang, mencuci piring, mendoakan musuh-musuh kita, membaca Alkitab —dalam momen-momen kesunyian inilah, dan melalui momen-momen kecil yang diulang-ulang inilah, perubahan yang Tuhan lakukan itu bertumbuh dan berakar.
Sekali lagi, poin dari merapikan kasur bukanlah untuk kerapian itu sendiri, bukan untuk membuat kamar tidur kita jadi instagramable –ada waktu-waktunya kasur tetap dibiarkan berantakan karena ada hal-hal lain yang lebih penting– poin dari melakukan liturgi pagi itu adalah untuk membiasakan diri kita terbiasa dengan apa yang biasa, untuk membiasakan mata dan hati kita terbuka terhadap pekerjaan Tuhan dalam hari yang biasa ini. Orang yang liturgi paginya stimulasi HP, tidak akan mampu melihat apa yang tidak kelihatan. Merapikan ranjang, duduk dalam keheningan, itu mengingatkan kita apa yang paling riil dan paling signifikan dalam hidup kita; tidak selalu yang paling kencang, tidak selalu yang paling terang, tidak selalu yang paling entertaining. Momen ini mengingatkan bahwa di dalam hal-hal yang mengulang, hal-hal yang biasa, itulah tempat kita mulai belajar berfokus untuk mendengar, untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi orang lain.
Jadi, kalau Saudara sudah menyadari inilah medan perang dalam hidup kita, di hari yang biasa ini, Saudara tahu Saudara harus mulai berjuang. Mulai dari mana? Kenapa tidak mulai dari sini, dari ranjang yang rapi pada pagi hari.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading