Ini khotbah terakhir untuk seri Ordinary Time, bukan karena pembahasannya sudah habis, tapi karena waktunya sudah habis untuk Kalender Gereja bagian Ordinary Time; dan minggu depan kita harus kembali ke awal, mengingat lagi Adven, meski tentunya ini bukan hari terakhir kita membahas ordinariness.
Mazmur 104 ini, sekilas lihat kita akan tahu ini mazmur pujian, karena dibingkai dengan kalimat pembuka dan penutup “Praise the Lord, O my soul” (“Pujilah Tuhan, hai jiwaku”). Mazmur Alkitab secara umum tidak pernah mengajak pembacanya sekadar memuji tok, melainkan selalu memberikan juga banyak alasan untuk memuji; inilah yang pemazmur tulis dalam 33 ayat diantara kalimat pembuka dan penutup tersebut. Jadi di sini diawali dengan “pujilah” dan berakhir dengan “pujilah”, dan ada 33 ayat di tengah yang memberikan kepada kita alasan-alasan kita memuji Tuhan.
Yang menarik, lewat berpuluh-puluh ayat yang pemazmur tulis, Saudara melihat apa alasannya Allah kita patut dipuji? Biasanya Saudara menemukan banyak mazmur yang memuji Tuhan pakai model yang disebut historical recital, yaitu pemazmur dan orang Israel mengingat kembali pekerjaan-pekerjaan Tuhan yang besar di masa lampau. Contohnya: “Kami memuji Engkau karena Engkau membawa kami keluar dari tanah Mesir, Engkau membawa kami keluar dengan gada yang teracung, dengan tangan yang kuat,” dsb. Tapi apakah Saudara baca yang seperti itu dalam Mazmur 104 ini? Tidak ada sama sekali. Mazmur ini sangat unik pujiannya, berhubung mazmur ini memuji Tuhan karena Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang bersifat ordinary.
Dalam mazmur ini, Saudara membaca bahwa yang jadi alasan pemazmur memuji Tuhan, adalah karena Allah itu sumber dari hal-hal yang rutin, yang kerap kali terjadi, yang saking seringnya terjadi sampai-sampai manusia secara umum tidak lagi memperhatikan hal-hal tersebut. Mazmur ini mengatribusikan kepada Allah hal-hal seperti turunnya hujan, terbentuknya awan, geledek dan petir, proses daur air, sampai-sampai urusan air turun ke lembah pun dipakai jadi alasan untuk memuji Tuhan. Bayangkan, kapan kita terakhir kali memuji Tuhan karena air turun ke lembah?? Mazmur ini mengatributkan kepada Tuhan datangnya kegelapan saat malam, makan minum binatang-binatang liar –yang kalau kita nonton di Discovery Channel, atau National Geographic, atau BBC, sepertinya mereka itu mencari makanannya sendiri. Pendeknya, mazmur ini berbiccara mengenai hal-hal yang kita biasanya tidak atribusikan kepada Tuhan.
Saudara jangan salah, tentunya kalau soal hujan kita mungkin sudah terbiasa untuk minta kepada Tuhan, misalnya untuk menyetopnya. Biasanya waktu mau KKR besar di lapangan terbuka, lalu sudah ada awan badai mengancam, dalam momen seperti itu kita langsung bisa berdoa kepada Tuhan supaya Dia sebagai Allah di balik segala cuaca dan hujan, mungkin berkenan menghentikannya. Dalam situasi KKR seperti itu memang sangat gampang untuk kita lebih peka terhadap realitas rohani di balik semua itu. Tapi bagaimana dengan hujan yang biasa, hujan yang sehari-hari? Bagaimana dengan gerimis? Bagaimana dengan hujan yang datang pada musim penghujan, apakah kita sungguh-sungguh bisa mengatakan kita melihat tangan Tuhan di balik hujan-hujan tersebut? Jangankan dalam bulan-bulan musim penghujan seperti ini lalu hujan turun –yang memang sudah jelas begitu– tapi kalaupun dalam bulan Juni atau Juli hujan turun di tengah-tengah musim panas, apa yang akan kita katakan? Kita mungkin juga bahkan tidak mengatributkan hal itu kepada Tuhan, kita simply mengatakan: “Lihat nih, cuaca Jakarta sudah gila!”
Itu sebabnya salah satu faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang, adalah seberapa sadarnya dia terhadap kehadiran Allah; dan penyakit kita sebagai manusia berdosa, punya kecenderungan hanya melihat Allah dalam hal-hal yang besar, dalam hal-hal yang extraordinary.Di sinilah tantangan mazmur ini bagi kita, apakah kita dapat melihat Allah dan sadar akan kehadiran-Nya dalam hal-hal yang ordinary itu, dalam hal-hal yang reguler, dalam hal-hal yang konsisten, dalam hal-hal yang rutin?
Satu hal yang pasti, pemazmur bukan hanya sanggup untuk melihat Allahnya lewat hal-hal yang rutin tersebut, pemazmur bahkan sampai membuat pujian yang luar biasa akan Allahnya lewat hal-hal tersebut. Ini mencengangkan, karena penulis mazmur ini bukan cuma menuliskan 35 ayat memuji Tuhan dari hal-hal yang kecil, yang sederhana, yang rutin, yang ordinary, tapi juga bahwa 35 ayat ini sering kali dikategorikan sebagai salah satu puisi Ibrani yang paling baik. Seorang ahli Alkitab bernama Johann Gottfried von Herder mengatakan: “It is worth studying Hebrew for ten years in order to read Psalm 104 in the original.” Jadi bagi Herder, belajar bahasa Ibrani dengan aksara-aksaranya dan segala macam lainnya (misalnya membacanya bukan dari kiri ke kanan seperti kita biasanya tapi dari kanan ke kiri) kata Herder itu worth it, kalau pun cuma untuk bisa membaca mazmur ini tok dalam bahasa aslinya. Jadi, bukan saja pemazmur melihat Tuhan dalam ordinariness, dia juga menuliskan puisi dari segala puisi ini untuk merayakan hal tersebut.
Saya percaya Mazmur 104 ini ditulis bukan karena waktu itu Israel sudah belajar dengan sempurna untuk melihat Allah dalam hidup keseharian mereka. Mungkin yang lebih convincing, justru sang pemazmur merasa perlu menuliskan mazmur sedemikian rupa karena umat Allah pada zamannya mempunyai kebutaan yang tidak terlalu beda dengan kita hari ini, yaitu bahwa kita seperti mereka –dan mereka seperti kita– cenderung buta terhadap keberadaan Allah dan tangan Allah dalam hal-hal yang bersifat ordinary. Coba kita analisa lebih dalam problematika yang mereka alami, sehingga mungkin kita jadi bisa melihat sesuatu mengenai kebutaan kita pada hari ini.
Saudara, pada waktu itu Israel sebagai suatu bangsa memang selalu hidup di antara bangsa-bangsa lain yang punya agama-agama dan dewa-dewanya sendiri. Itu sebabnya kadang-kadang konsep agama dewa mereka itu menjangkiti pikiran bangsa Israel. Salah satu contoh yang paling sering dibicarakan misalnya tentang suatu ilah bernama Baal, yang super terkenal itu. Baal dikenal sebagai dewa guntur dan dewa badai. Inilah sebabnya Baal sangat populer di daerah Palestina, karena di daerah tersebut hujan sangat krusial bagi kehiidupan. Kalau hujan datangnya telat, panen hancur. Kalau hujan datang kepagian, panen juga bisa gagal. Dengan demikian penyembahan dewa-dewi di tempat-tempat seperti Palestina pada waktu itu, senantiasa diarahkan untuk memastikan cuaca dan musim bisa berjalan dengan mulus. Tidak heran Baal bisa juara dalam kontes berhala-berhala. Yang lebih menarik, pada dasarnya penyembahan Baal itu tidak dianggap sebagai suatu agama bagi orang-orang di Kanaan. Baalisme bukanlah masalah iman bagi mereka, Baalisme bisa dibilang lebih ke urusan common sense bagi orang-orang zaman itu. Bagi kita hari ini, itu agak aneh, bagaimana mungkin percaya dewa Baal merupakan common sense, tapi bagi mereka memang demikian. Kenapa?
Dalam hal ini kita perlu tahu satu hal, yaitu kalau Saudara menciptakan suatu keyakinan, atau agama yang didasarkan pada pola cuaca, maka satu hal yang pasti agama ini cepat atau lambat akan terbukti benar. Bayangkan seperti ini, misanya satu komunitas pertanian sangat mengandalkan hujan, tapi tiba-tiba tahun itu terjadi kekeringan. Lalu ada yang berdoa minta hujan, dan hujan tidak turun. Tapi dia berdoa lagi, dan terus berdoa lagi. Setelah dia berdoa sebulan suntuk tanpa henti, hujan tiba-tiba turun. Apa kira-kira kesimpulan yang akan ditarik oleh masyarakat sekitarnya? Apalagi dalam euforia massal karena bencana kekeringan terhindarkan, apa yang common sense akan katakan di sini? Lebih lagi kalau doanya bukan cuma sebulan suntuk tapi setahun, atau bahkan lebih lama lagi, dan melibatkan lebih banyak orang, melibatkan ritual-ritual yang rumit, ditambah berbagai pengorbanan mulai dari harta sampai mungkin anak-anak pun dikorbankan? Jadi, kalau ini semua sudah dibayar demi datangnya hujan, dan hujan pada akhirnya datang, maka orang yang skeptis pun dalam masyarakat itu pada akhirnya cukup confident untuk mengatakan, “Lihat, benar ‘kan kata gua?” Demikian juga kepercayaan pada Baal pada waktu itu.
Pada zaman itu, anggapan yang beredar sebagai common sense adalah bahwa orang tidak perlu iman untuk bisa percaya Baal. Baal bahkan tidak perlu dipercayai, Baal bisa dilihat jelas dengan mata telanjang. Kalau Saudara berada di Palestina, berdiri di bukit dan memandang ke arah barat, ke arah Laut Tengah, dan melihat pembentukan awan yang dari laut pelan-pelan naik jadi awan, itulah Baal bagi mereka. Konsep yang diterima khalayak luas pada waktu itu, Baal ada siklusnya; dia akan mati, dikalahkan oleh dewa/dewi Chaos dalam laut, dan dia akan bangkit dari kematiannya di dalam laut, naik, bebas dari penjaranya, lalu mengendarai awan dan membawa hujan bagi seluruh Palestina. Mereka tidak berpikir perlu iman yang besar untuk dapat melihat awan sebagai kendaraan dewa, bagi mereka itu common sense. Mungkin ini mirip seperti dunia hari ini mengatakan, “Kita tidak perlu iman lho untuk menerima science, kita tidak perlu iman untuk menerima teori Evolusi, it’s just common sense.”
Waktu Saudara melihat konsep Baalisme waktu itu sedemikian, Saudara bisa menyadari ketika pemazmur menuliskan mazmur seperti ini –yang mengatribusikan hujan, guntur, seluruh proses daur air, sampai urusan air turun ke lembah kepada Allah Yahweh– itu bukan merupakan suatu kebetulan. Pemazmur sedang melakukan hal yang sangat penting. Dia berdiri di hadapan agama-agama common sense zaman itu, dan mendeklarasikan di tengah-tengah mereka bahwa Allah Israel, Yahweh, bukanlah cuma dewa perang yang kuasanya terbatas, yang cuma sekali-sekali keluar ketika terjadi peperangan besar, ketika terjadi bunuh-bunuhan skala internasional; pemazmur sedang memproklamasikan Yahweh sebagai sumber segala sesuatu, sebagai Allah pencipta dan penopang segala sesuatu –termasuk yang ordinary, yang biasa-biasa.
Bagaimana dengan kita hari ini? Kita tidak menyembah Baal, dan mungkin hampir tidak ada dari kita yang masih ke Gunung Kawi dan kawan-kawannya. Tapi ini tidak berarti kita tidak punya berhala. Ada allah-allah palsu yang menghalangi mata kita melihat Allah yang asli; dalam hal ini menghalangi mata kita untuk melihat Allah yang asli dalam ordinariness, dalam hal-hal yang biasa –ada yang mengambil tempat Baal dan agama common sense, dalam hidup kita. Orang Israel dulu problemnya adalah: mereka melihat allah lain dalam hal yang biasa; sedangkan kita sama sekali menolak melihat keilahian dalam hal-hal biasa tersebut.
Misalnya Saudara mobilnya mogok; dan mogoknya di jalan yang sepi, tengah malam, sampai berasap-asap, bau gosong, bensinnya habis. Lalu Saudara berdoa kepada Tuhan, dan tiba-tiba mobilnya bisa jalan lagi, dengan pelan dan suaranya mengerikan, namun tetap jalan sampai kemudian ketemu pom bensin, yang di situ ada bengkelnya; dan begitu masuk pom bensin, mobilnya langsung mati. Di situ kita akan bilang, “Nah, itu pekerjaan Tuhan! Tiba-tiba, langsung, jelas, dan hanya seperlunya; begitu sampai ke bengkel, selesai.” Tapi kalau Saudara merawat mobil itu baik-baik, servis tidak pernah lewat dari kilometernya atau waktunya, menjalankannya tidak pernah ngebut, tidak pernah tertabrak, tidak pernah hantam lubang, maka ketika mobil itu terus berjalan, apakah kita akan bersyukur kepada Tuhan? Ya enggaklah. Secara implied kita mengatakan itu bukan pekerjaan Tuhan, itu pekerjaan manusia.
Kalau ada petani yang malas, yang tidak memupuk ladangnya dengan benar, irigasinya belepotan, panennya mulai terancam rusak, lalu dia bertobat jadi orang Kristen dan penennya mulai bagus, kita bilang, “Nah, itu pekerjaan Tuhan.” Tapi kalau petani yang memupuknya beres, irigasinya sempurna, rajin, dan panennya berlimpah, bagi kita itu bukan karya Tuhan, itu karya manusia.
Saudara, jadi kita bisa melihat apakah hal-hal itu, yang menggerakkan kita untuk memuji Tuhan? Apakah hal-hal yang biasa, yang menggerakkan kita untuk memuji Tuhan? Apakah hal-hal yang seperti air turun ke lembah itu menggerakkan kita untuk menulis puisi di atas segala puisi untuk memuji Tuhan? Apakah melihat dan melakukan rutinitas-rutinitas dalam hidup kita itu somehow membuat kita diisi sampai tumpah dengan pujian? Saudara, inilah problem kita hari ini. Poin saya, kita harus mengenali, dan peka, terhadap kebutaan manusia akan kehadiran Allah dalam ordinariness. Kalau kita hanya meletakkan tangan Tuhan dalam hal-hal besar, dan buta akan hal-hal yang kecil, berarti ada sesuatu dalam cara berpikir atau komitmen hati kita yang tidak biblical; dan kita perlu melakukan sesuatu untuk membereskannya.
Tish Warren men-highlight sesuatu yang penting dalam hal ini. Dia melihat bahwa pada akarnya, apa problem sesungguhnya yang menjadi jurang antara iman dan karier, kenapa antara iman dan karier kita bisa terpisah sebagaimana hari ini; dan ujung-ujungnya, itu adalah kegagalan kita melihat Tuhan dalam hal-hal yang ordinary. Ini menarik, karena kita baru saja selesai membahas PA dengan tema “Work and Worship”, dan kita juga bahas sedikit dalam retreat kemarin, tapi saya mulanya tidak realized seberapa erat hubungan tema work and worship dengan tema ordinariness. Jadi, basically problem antara iman dan karier, bisa Saudara pikirkan sebagai satu contoh di mana kita gagal melihat Tuhan dalam hal yang ordinary.
Kita –atau paling tidak, saya–sering kali pikir problem antara iman dan pekerjaan bagi orang Kristen adalah ini: kita, sebagai orang Kristen, cenderung berpikir bahwa pekerjaan yang sakral, perkerjaan yang merupakan pekerjaan Allah, adalah pekerjaan-pekerjaan yang ada kaitannya dengan Gereja, ada kaitannya dengan pelayanan. Jadi, pekerjaan seperti ibadah, doa, penginjilan, misi, itulah baru namanya pekerjaan Tuhan, panggilan yang riil sebagai orang Kristen, sementara pekerjaan-pekerjaan sehari-hari itu inferior, itu cuma cari uang tok, itu necessary evil. Inilah sering kali problemnya orang Kristen; kita cenderung berpikir seorang pendeta lebih kudus di hadapan Allah dibandingkan seorang pegawai kantoran.
Tentunya kecenderungan mansia tidak cuma seperti ini berpikirnya; di sisi seberangnya ada kecenderungan yang lain, yang sebaliknya. Ada orang-orang yang menganggap bahwa pekerjaan sehari-hari itulah pekerjaan yang riil, yang nyata, real works, sementara urusan-urusan rohani hanyalah tambahan, ekstra, sekadar sedikit cicipan moralitas; dan hidup yang riil dijalaninya adalah di dunia ini.
Kita aware bahwa ada dua kecenderungan berpikir seperti ini, tapi mungkin selama ini kita taruh mereka sebagai kutub utara dan kutub selatan. Kita merasa mereka ini saling berlawanan, yang satu mementingkan Gereja dan meremehkan yang di dunia, yang satu lagi mementingkan yang di dunia dan meremehkan yang di Gereja. Berlawanan ‘kan ya. Namun Tish Warren menunjukkan bahwa sebenarnya dua kecenderungan ini punya akar masalah yang sama, yaitu dua-duanya adalah hasil dari manusia berusaha mengangkat sebagian pekerjaan tertentu sebagai yang lebih tinggi di atas pekerjaan-pekerjaan yang lain. Ada yang cenderung melihat pekerjaan rohani/spiritual sebagai yang lebih tinggi, ada yang sebaliknya, melihat pekerjaan pragmatis, yang produktif, yang punya hasil, sebagai yang lebih tinggi. Ada yang menempatkan para pendeta, misionaris, aktifis sosial, sebagai orang yang pekerjaannya lebih tinggi, tapi ada juga yang menempatkan orang yang kaya, yang punya kuasa, yang terkenal, bergelar tinggi, sebagai yang ideal. Jadi inti problemnya sama, kita cenderung menaruh beberapa pekerjaan tertentu di atas pekerjaan yang lain.
Apa yang menyebabkan ini? Penjelasannya bisa banyak, tapi salah satu penjelasan yang menarik datang dari Tim Keller. Di salah satu bukunya dia mengatakan orang Kristen sering kali dimombardir dengan berbagai macam ideal yang berlainan mengenai pekerjaan; dan ideal-ideal ini bukan saja banyak, kadang-kadang bahkan bisa seperti bertabrakan satu dengan yang lain. Misalnya, ada yang mengatakan, kalau kamu mau melayani Tuhan dalam pekerjaanmu, kamu harus bekerja dengan jujur, sambil menginjili kolega-kolegamu. Lalu yang lain mengatakan, tidak perlu begitu, yang penting kamu memilih pekerjaan yang memperjuangkan keadilan sosial di masyarakat. Yang lain lagi mengatakan, cukup dengan kamu bekerja secara excellent dan kompeten. Yang lain lagi mengatakan, pekerjaan yang baik di mata Tuhan adalah pekerjaan yang menghasilkan keindahan. Yang lain lagi mengatakan, pekerjaannya sendiri tidak masalah mau pekerjaan apa, yang penting motivasinya untuk memuliakan Tuhan. Yang lain lagi mengatakan motivasi bukan yang terpenting, yang terpenting hasilnya apa, efeknya apa, menghasilkan hati yang bersukacita kepada Tuhan atau tidak. Yang lain lagi mengatakan, yang penting kamu mencari pekerjaan yang paling sesuai dengan talentamu. Bahkan ada yang mengatakan, tidak apa-apa kamu cari pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, karena dengan demikian kamu bisa memberikan lebih banyak kepada Tuhan.
Saudara lihat, semua cara-cara yang dikatakan ini, bisa kita kategorikan sebagai cara-cara kita dapat melayani Tuhan melalui pekerjaan kita, ‘kan. Tapi problemnya, kita merasa overload dan overwhelm dengan semua ini, kita merasa tidak bisa menghidupi semua ideal ini bersamaan, sehingga pada akhirnya membuat orang Kristen bingung, jadi persisnya apa yang membuat pekerjaan saya bisa berkenan di mata Tuhan, dan akhirnya kita cenderung memilih, mengambil satu dua jenis ideal tertentu, penekanan tertentu. Celakanya, ketika kita melakukan ini, bukan cuma kita akhirnya jadi timpang, kita cenderung jadi orang-orang Kristen yang menghakimi orang Kristen lain yang tidak memilih ideal yang sama.
Saya terpikir satu contoh. Dalam generasi orang-orang Kristen yang lebih tua, pekerjaan yang dilihat sebagai ideal adalah pekerjaan yang punya dampak bagi gereja, bagi pelayanan. Jadi dalam gereja Injili, generasi-generasi yang lebih tua berpikirnya begini: kalau saya tidak bisa jadi hamba Tuhan, ya sudahlah, paling tidak biarlah pekerjaan saya di dunia sekuler mendukung pekerjaan hamba Tuhan. Dengan demikian orang-orang seperti ini mudah merasa guilty feeling kalau pekerjaan mereka tidak ada dampak bagi gereja. Itulah cara berpikir generasi yang lebih tua, makanya in some sense lebih gampang orang-orang generasi tersebut memberikan uang ke gereja. Sumber perpuluhan banyak dari orang-orang seperti ini. Tapi, orang-orang generasi ini tidak terlalu peduli kalau misalnya pekerjaan mereka berdampak negatif terhadap lingkungan. Mereka tidak terlalu peduli urusan gaji pegawai-pegawai mereka yang kecil. Lain halnya dengan generasi yang lebih muda, yang sekarang baru mulai bekerja. Mereka punya ideal yang lain; mereka sebaliknya, tidak menaruh pekerjaan-pekerjaan gerejawi sebagai hal yang ideal. Mereka tidak merasa bersalah sebegitunya kalau pekerjaan mereka tidak berdampak bagi gereja. Tapi mereka mungkin lebih mudah guilty feeling kalau pekerjaan mereka berdampak negatif secara environmental, atau berdampak negatif bagi orang-orang marjinal.
Sekali lagi, generasi yang lebih tua mungkin tidak terlalu memikirkan urusan lingkungan, dan secara umum tidak mempermasalahkan gaji pegawai yang kecil, misalnya. Generasi yang lebih muda merasa, tidak bisa kalau cari pekerjaan yang cuma menghasilkan uang; ada urge untuk mencari pekerjaan yang berdampak ke masyarakat, yang world changing; namun mereka tidak terlalu memikirkan juga apa dampaknya bagi gereja tempat mereka beribadah. Lucu, ya. Dengan diperbandingkan seperti ini, Saudara baru sadar apa problem utamanya di balik ini. Generaasi yang tua merasa anak-anak muda kurang perhatian denga kehidupan gereja, kurang perhatian dengan pelayanan; generasi muda merasa orang-orang tua cuma ngomong tok soal gereja tapi munafik, karena tidak memperhatikan orang miskin. Dua-duanya pikir mereka berbeda, tapi sesungguhnya dua-duanya beroperasi atas dasar yang sama, yaitu: masing-masing memilih ideal pekerjaan tertentu sebagai model pekerjaan yang lebih baik, lebih tinggi, lebih mulia, lebih kudus; dan dengan demikian masing-masing cenderung menghina dan menghakimi pihak yang lain, yang ideal pekerjaannya beda. Inilah manusia.
Kita cenderung menciptakan hierarki pekerjaan. Kita mau mengatakan, ada pekerjaan yang lebih keren, yang lebih suci, lebih kudus, lebih efektif; dan yang tidak memiliki pekerjaan seperti ini, mereka itu ‘gak bener. Jadi Saudara lihat apa akar permasalahannya? Akar permasalahannya adalah: kita cenderung memfokuskan diri pada satu dua ideal yang kita lihat sebagai spektakuler, keren, wow, extraordinary, karena kita memilih buta terhadap pekerjaan Tuhan dalam hal yang biasa, yang ordinary.
Kalau kita kembali kepada perjuangan para reformator, sering kali kita menangkap, atau mengira, bahwa reformasi Protestan terutama adalah urusan doktrinal. Misalnya urusan Paus jual indulgensia, bisa hapus dosa dengan membayar dana pembangunan Katedral; Luther tidak setuju, karena di mana dasar Alkitabnya, Alkitab mengatakan hanya anugerah yang bisa menebus dosa, bukan perbuatan, dan sudah pasti bukan uang. Topik atau doktrin lainnya, Katolik menyuruh kita berdoa kepada para santo; Calvin tidak setuju, mengatakan Kristuslah satu-satunya mediator kita di hadapan Allah, bukan para santo-santo itu. Ini urusan-urusan doktrinal. Namun sesungguhnya, arguably yang lebih shocking dan lebih berdampak dari reformasi Protestan bagi kehidupan masyarakat Eropa pada waktu itu, bukanlah urusan doktrinalnya melainkan urusan vocational, urusan pekerjaan.
Luther dan Calvin bersikeras bahwa semua pekerjaan –tentunya pekerjaan yang etis–adalah pekerjaan yang kudus. Inilah yang revolusioner dalam pemikiran reformasional, bahkan bisa dibilang menghebohkan, karena sebelumnya ada hierarki pekerjaan, dengan para biarawan dan rohaniwan menempati tempat yang paling atas. Para reformator mengatakan tidak bisa demikian, para petani pun sedang dipakai Tuhan, lewat mereka menghasilkan hasil pertanian; dan itu pun pekerjaan Tuhan, itu pun memuliakan Tuhan. Seorang ibu yang mengganti popok anaknya, itu juga mengerjakan pekerjaan yang sama kudusnya dengan bahkan pekerjaan Sang Paus. Betapa menghebohkan; ini skandal besar. Luther bersikeras bahwa manusia bisa mendapatkan susu, itu adalah pekerjaan Tuhan; namun apa alat yang Tuhan pakai untuk memberikan susu kepada umat manusia? Yaitu mereka yang pekerjaannya memerah sapi itulah alat Tuhan. Tish Warren kemudian menambahkan: ketika saya melipat baju-baju keluarga saya dan menyimpannya di lemari, Allahlah yang sedang melipat baju dan menyimpannya, melalui aku. Ini pandangan reformasi, Saudara. Ketika saya sedang mengepel lantai dan membersihkan rumah, Allahkulah yang sedang mengepel lantai dan membersihkan rumah, melalui aku. Ketika saya sedang mengecek email kantor, Allahlah yang sedang melakukannya melalui aku. Radikal ya. Susah ya, kita percaya hal ini, karena ini sangat melawan konsep kita.
Reformasi sedang meruntuhkan hierarki yang manusia senantiasa bikin. Reformasi meruntuhkan konsep bahwa ada pekerjaan-pekerjaan yang somehow lebih oke, lebih kudus, lebih mulia, lebih tinggi, dibandingkan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Lanjutan implikasi dari terobosan ini, berarti Saudra dan saya dikuduskan (di-sanctify), bukan secara abstrak. Kalau pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan adalah pekerjaan Allah, yang Allah memakai kita jadi alat-Nya, ini berarti Saudara dan saya dikuduskan melalui mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Kita sering kali pikir kekudusan itu abstrak. Konsep kita mengenai kekudusan sering kali seperti kita lama-kelamaan melayang kakinya, terbang-terbang, tidak menyentuh tanah. Itulah somehow kekudusan menurut kita. Dan semakin kita terlepas dari segala sesuatu, semakin kudus. Tapi tidak demikian. Justru terbalik. Kekudusan justru selalu ada kaitan konkret dengan apa yang kita lakukan, apa yang tangan kita usahakan, apa yang kaki kita kerjakan. Kekudusan kita selalu jadi ada kaitan konkret dengan bagaimana kita mengasah/menempa skill kita dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita, karena itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan berkat-berkat Tuhan, seberapapun remehnya itu bagi mata manusia. Dengan demikian orang Kristen tidak simply jadi kudus tok; tidak ada orang Kristen yang cuma kudus tok, tapi yang ada adalah orang Kristen yang jadi tukang besi yang kudus, orang Kristen yang jadi orangtua yang kudus, orang Kristen yang jadi dokter yang kudus, orang Kristen yang jadi ahli IT yang kudus, dst. Tidak ada kekudusan di luar dari pekerjaan-pekerjaan ini; kekudusan justru datang melalui kita ditempa Tuhan di dalam, dan melalui, pekerjaan-pekerjaan tersebut, karena lewat kita melakukan pekerjaan-pekerjaan itu Tuhan sedang bekerja mendatangkan berkat-berkat-Nya.
Kita sering membayangkan kekudusan Kristiani sebagai momen ketika kita akhirnya bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang kudus; tidak demikian, Saudara, kita justru dikuduskan melalui pekerjaan. Kita bukan sanctified karena kita bisa do holy work, kita being sanctified karena kita do work. Tugas kita bukanlah untuk somehow kita menarik Tuhan ikut serta dalam pekerjaanku, ada esensi Tuhan yang ditambahkan ke pekerjaanku sehingga jadi kudus. Tidak demikian. Terbalik dari itu, tugas kita justru ikut serta dalam pekerjaan Tuhan yang Dia sudah kerjakan, yang Dia sedang kerjakan, yang Dia akan kerjakan, yaitu pekerjaan-pekerjaan manusia. Itulah pekerjaan Tuhan. Jadi kekudusan berarti bukan suatu kondisi, kekudusan bukanlah suatu status, kekudusan bukan suatu keadaan yang kita lama-kelamaan naik ke sana; justru kekudusan sekarang baunya bau tanah. Kekudusan itu seperti keahlian, skill, bagian dari hidup pekerjaan kita sehari-hari. Bukankah ini good news?
Ini berarti, bagian dari cara Tuhan memulihkan kita, cara Tuhan memulihkan ciptaan ini, kita menemukannya dalam bagaimana Saudara dan saya belajar untuk semakin ahli dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Tish Warren memberikan satu contoh yang bagus banget berikut ini. Dia pernah bekerja jadi resepsionis di sebuah klinik medis yang cukup besar. Saudara bisa bayangkan, jadi resepsionis di klinik yang cukup besar itu, jobdesc-nya adalah jadi pengantara antara dokter dan pasien, bikin jadwal antara pasien dan dokter. Ini pekerjaan yang kerjanya berjam-jam duduk lihat layar komputer, angkat telepon, tutup telepon, angkat telepon, tutup telepon, menghadapi itu terus 8 jam sehari. Tidak ada kreativitasnya, tidak ada inspirasinya, tidak ada sukacitanya, membosankan, dipenuhi dengan momen-momen pasien mencak-mencak gara-gara polis asuransinya membingungkan, dst. Dia juga merasa dikelilingi rekan-rekan kerja yang kadang-kadang sumbu pendek, suka bertengkar, dsb. Namun ada seorang rekan kerja yang namanya Dee, dan Dee ini somehow ahli dalam pekerjaan-pekerjaan itu. Dia tahu bagaimana membedakan mana pasien yang benar-benar butuh perhatian langsung, dan mana pasien yang simply cuma tidak sabaran. Dee selalu tenang; dan ketenangannya bahkan bisa menular kepada pasien-pasien yang sedang marah dan frustrasi. Dee ini orangnya detail, dan itu sangat dibutuhkan dalam tipe pekrjaan seperti ini. Dan somehow, dia bisa selalu berteman dan berkawan dengan sesama rekan kerja di tempat itu.
Saudara, ini menujukkan bahwa bukan kantor yang bikin stres. Problemnya terutamanya bukanlah pekerjaan yang robotis dan tidak inspiratif itu; problemnya adalah kita sering kali tidak sudi untuk mengasah diri kita dalam bekerja. Tish dan Dee tadi pekerjaannya sama, pekerjaan yang di seluruh gedung klinik medis itu somehow dianggap paling remeh, tapi entah bagaimana Dee melakukannya dengan baik, dengan excellent, dan dengan demikian dia mempermudah pekerjaan-pekerjaan rekan-rekan kerja yang lain. Dia membuat klinik tersebut bisa terus berjalan. Dalam hal ini Warren mengatakan, “No doubt, Dee ini bekerja mengerjakan pekerjaan Allah; Allah sedang bekerja melalui Dee, Dee adalah agen dari penebusan yang Allah sedang bawa ke dunia ini”. Bukankah ini good news? Saudara, inilah good news-nya: ketika kita bisa mengenali pekerjaan Tuhan dalam hal-hal yang reguler, hal-hal yang biasa, itu penghiburan yang sangat besar bagi orang Kristen.
Contoh pertama tadi adalah tentang bagaimana kita melihat dunia melalui pekerjaan, hal-hal yang kita anggap remeh, biasa, tapi ketika kita melihat Tuhan lewat hal-hal tersebut, itulah justru penghiburannya. Contoh yang berikutnya, dari dunia kerohanian.
Dalam dunia kerohanian juga sama, kita punya problem yang mirip. Kita menemukan bahwa hidup pertobatan kita itu terus-menerus. Kita menemukan bahwa hidup bertobat itu jatuh bangun. Kita menemukan bahwa kita sering kali bergumul dengan dosa yang itu-itu lagi, yang sama lagi, yang bertobat lalu gagal lagi, bertobat lalu gagal lagi, bertobat lalu gagal lagi.Dan kita merasa capek, kenapa kita harus senatiasa balik ke poin tersebut. Kalau Saudara menghadapi orang curhat kepadamu problem seperti ini, Saudara mau mengatakan apa kepada dia?? Susah ‘kan. Pertama, sudah pasti karena kita juga punya pengalaman yang sama dan kita tidak punya jawabannya, tapi juga karena pada dasarnya orang-orang seperti ini bukan tidak mau bertobat, masalahnya adalah sudah sekian kali bertobat, dan tetap saja jatuh bangun terus. Lama-lama jadi capek. Kita semua merasa seperti ini ‘kan –paling tidak kita pernah merasa seperti ini karena memang lama-lama kita sudah tidak peduli lagi. Jadi, coba kita telusuri problem yang universal ini, di mana ujungnya.
Kita capek dengan jatuh bangun kita, kita jadi sampai meragukan keaslian pertobatan kita. Kalau saya sungguh-sungguh bertobat, kenapa saya harus senatiasa jatuh bangun?? Kenapa saya sampai rasanya muak akan hal ini, dan bahkan rasa muak saya punya rasa muak? Dan di sini kita mulai sadar bahwa kita merasa seperti ini, karena kita punya konsep mengenai pertobatan, bahwa pertobatan harusnya extraordinary, pertobatan harusnya sekali untuk selamanya, harusnya orang bertobat itu cuma untuk masa-masa tertentu saja. Kembali ke reformasi, Luther tidak setuju dengan hal tersebut. Dalam 95 tesis yang dia pakukan di tembok itu, tesis yang paling awal adalah “All life is repentance”, pertobatan itu keseluruhan hidup sepanjang hidup.
Salah kaprah banyak orang Kristen adalah begini: kalau kita mengandaikan hidup manusia seperti gelombang, ada turun dan ada naik, maka pertobatan konotasinya dekat dengan saat-saat di bawah, itu momen-momen yang jelek dalam hidup kita. Lalu orang-orang Kristen yang baik itu kayak apa? Itulah mereka yang senantiasa di atas, yang berjalan dalam ketaatan, selalu bersukacita dalam Tuhan. Ini gambaran yang ngawur, Saudara, bukan gambaran Kristiani.
Dalam Lukas pasal 7, ada satu kisah mengenai Yesus makan di rumah orang Farisi bernama Simon. Simon ini orangnya lumayan, sebagai orang Farisi dia tidak serta-merta judging Yesus meskipun sebagai orang Farisi dia pasti pernah mendengar Yesus ini mengakunya nabi, bahkan mengakunya Anak Allah, tapi kerjanya nongkrong bersama orang-orang berdosa. Simon mengundang Yesus ke rumahnya untuk makan; berarti Simon tidak menerima begitu saja kabar yang orang-orang katakan. Dia mau lihat sendiri. Dia orang yang tidak gampang ikut arus. Lumayan, ya. Lalu saat Yesus dijamu, tiba-tiba datang seorang wanita yang katanya reputasinya jelek, kemungkinan besar berarti dia seorang pelacur. Wanita ini membawa buli-buli parfum lalu membasuh kaki Yesus dengan air mata, menyekanya dengan rambutnya, mencium kaki tersebut dan meminyakinya dengan parfum tadi. Simon lalu berpikir, kalau Yesus ini beneran nabi, mana mungkin Dia tidak tahu wanita ini orang berdosa; dan mungkin lama-lama pikirannya berkembang, jangan-jangan Yesus memang tahu dan Dia suka nempel-nempel dengan orang berdosa kayak begini. Yesus lalu bercerita kepada Simon, suatu perumpamaan singkat. Yesus mengatakan, ada dua orang yang berutang kepada seorang tuan; yang satu berutang 50, dan satunya lagi utang 500. Mereka sama-sama tidak sanggup membayar, jadi mereka diampuni oleh tuan tersebut. Lalu Yesus tanya kepada Simon, “Yang mana lebih bersyukur, yang mana yang lebih mengasihi tuan itu? Simon menjawab, “Kayaknya sih yang diampuni lebih banyak, yang utang 500.” Yesus mengatakan, “Betul”. Lalu Yesus melanjutkan: “Wanita itu sadar dosanya banyak, maka dia bersyukur sampai sedemikian rupa. Kamu tidak bersyukur seperti dia, kenapa, yaitu karena kamu anggap dosamu sendikit.”
Apa yang terjadi di sini, Saudara? Ini bukan sedang membanding-bandingkan kesucian/ kekudusan moral, bahwa Simon lebih bermoral sedangkan wanita ini pelacur maka mampuslah dia. Tapi juga bukan sebaliknya. Tuhan Yesus tidak mengatakan, “Wanita ini lebih bermoral daripada kamu, karena dia jujur; kamu orang Farisi, munafik, dasar pharisaistic!” Tidak demikian juga; bukan itu poinnya. Poinnya adalah: Yesus mengatakan wanita ini punya banyak kasih dan sukacita terhadap Kristus karena pertobatannya lebih dalam, dia lebih sadar ukuran dan besar jumlah utangnya. Dan, karena kesadaran itu semakin dalam, maka kasih dan sukacitanya pun semakin kuat. Berbeda sekali dengan Simon. Simon adalah gambaran Saudara dan saya, yang menganggap pertobatan itu sesekali saja, itu buat momen-momen yang jelek, momen-momen kita di bawah. Ya, saya ini kalau mau jadi orang yang cukup baik, sebagai orang Kristen sebisa mungkin saya jaga-lah hidup saya; jadi berarti pertobatan itu ‘kan sekali-sekali saja, mungkin kalau dibikin rutin ya, awal Januarilah saya minta ampun kepada Tuhan, lalu mungkin juga waktu Jumat Agung. Itulah kita. Kita seperti Simon, yang menganggap pertobatan berkonotasi negatif, pertobatan itu untuk masa-masa yang jelek. Itu sebabnya perempuan tadi, sukacitanya dan thanksgiving-nya jauh di atas Simon, simply karena dia sadar dosanya lebih besar. Orang lebih mengasihi Tuhan, justru karena dia lebih menyadari dosanya. Orang lebih mengasihi Tuhan, tergantung dari seberapa dalam dan seberapa sering pertobatan tersebut.
Tadi kita mengatakan, harusnya kalau saya orang Kristen baik-baik, saya ‘gak perlu bertobat banyak-banyak, saya ‘gak sampai merasa muak, saya ‘gak sampai merasa muak sampai-sampai rasa muak itupun punya rasa muak. Tapi Saudara lihat sekarang gambarannya lain. Sadarkah Saudara bahwa rasa muak itu justru mungkin sekali adalah tanda kehadiran Roh Kudus dalam hidupmu? Kalau tidak karena ini, bagaimana mungkin Saudara bisa menyadari sedalam-dalamnya dosamu?? Bagaimana Saudara bisa dibawa sampai ke state di mana Saudara merasa helpless di hadapan Tuhan kalau bukan dari jatuh bangun berkali-kali sampai muak? Kalau bukan dari sini, dari mana?? Kalau engkau cuma bertobat sesekali tok, bagaimana mungkin engkau bisa bersukacita di hadapan Tuhan?
Omong-omong, orang berdosa yang tidak mendapat karunia, dia bukan tidak bisa sadar dirinya salah; orang berdosa yang tidak dapat karunia pun bahkan bisa malu karena dosanya. Tapi saya percaya satu hal, orang berdosa yang tidak dapat karunia, dia tidak bisa sungguh-sungguh muak dengan dosanya itu. Mereka selalu punya rasionalisasi, selalu punya justification/pembenaran di balik dosa tersebut. Ya, narkoba memang jelek, saya juga tahu, tapi siapa sih yang tidak narkoba-an kalau mereka mengalami nasib seperti saya??
Di Melbourne dulu, pernah kami sedang berkumpul di sekolah dengan murid-murid yang lain, orang bule semua. Kami berbicara banyak, dan ada satu teman cerita dia pernah bikin semacam hangout party di rumahnya. Di situ ada seorang wanita yang dari kecil hidupnya sheltered, baik-baik, jadi orang gereja baik-baik. Lalu wanita ini menemukan di halaman belakang, teman-temannya sedang pakai narkoba, dan dia kaget. Lalu si teman yang hosting hangout party tadi mengatakan, “Lu santai sajalah, kita tahu koq itu salah, kita bukan tidak tahu; tapi saya tidak akan men-judge orang yang memakai seperti itu, karena siapa sih yang tahu penderitaan berat yang mereka alami sehingga mereka harus menlampiaskannya pada narkoba??” Itulah, Saudara; orang berdosa yang tidak dapat karunia selalu punya justification.
Seorang ibu yang sadis terhadap anaknya, mungkin bisa sadar dia salah, tapi mungkin dia akan mengatakan, “Siapa sih yang tidak bakal gebukin anaknya kayak saya, kalau dia punya suami yang kayak suami saya itu” –selalu ada rasionalisaasi, selalu ada pembenaran. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan dalam Yohanes 16, pekerjaan Roh Kudus salah satunya adalah meyakinkan manusia akan dosa-dosanya –itu pekerjaan Roh Kudus. Meyakinkan manusia akan dosa-dosanya, itu berarti membuat kita sadar ‘ini benar-benar dosa saya, saya sudah tidak ada celah untuk membela diri lagi, saya benar-benar muak, saya benar-benar hancur, saya tidak tahu musti ke mana lagi, saya tidak bisa membela sama sekali diri saya ini’. Kalau itu yang terjadi, itulah pekerjaan Roh Kudus, menurut Tuhan Yesus.
Pekerjaan Roh Kudus bukan cuma pengampunan. Pekerjaan Roh Kudus bukan cuma kehidupan yang diubahkan. Pekerjaan Roh Kudus mulai dari kesadaran, keyakinan, conviction yang ada dalam hati kita akan dosa kita. Dan, dari mana hal itu datang? Tidak tahu ini terlalu berani atau tidak, tapi saya akan mengatakan: kalau Saudara bertobat cuma sekali seumur hidup, yaitu pada saat awal tok, saya tidak terlalu yakin Saudara bisa sampai dalam pengenalan diri seperti ini. Paling tidak, Luther tidak akan setuju dengan Saudara, karena dia mengatakan, “All life is repentance”. Pertobatan yang sejati itu tidak datang di awal, pertobatan yang sejati itu datang bertahun-tahun, lewat pertobatan-pertobatan yang rutin, yang ordinary, yang jatuh bangun.
Kita menolak untuk bertobat karena kita tidak melihat tangan Tuhan dalam jatuh bangunnya kita. Kita menolak karena dalam konsep pikiran kita, yang namanya pekerjaan Tuhan adalah yang spektakuler!! Sekali jadi, life changing, radikal! Sedangkan kalau yang seperti saya alami terus-menerus kayak begini, jatuh bangun, itu pasti bukan tangan Tuhan, itu cuma saya muak dengan rasa muakku sendiri. Ibu Vikaris Diana Ruth pernah mengatakan, “Lu coba lihat di Alkitab, Jeth, Petrus itu jatuh bangun, Yudas cuma jatuh, tapi tidak ada kategori orang yang bangun doang atau cuma jatuh sekali dan tidak pernah jatuh lagi. Yang jatuh satu kali itu Yudas, itu saja, sesanya jatuh bangun.”
Kalau Saudara menolak untuk melihat pekerjaan Tuhan dalam hal yang ordinary seperti ini, maka status kita sebagai ‘pendosa sekaligus orang yang diselamatkan’ (simul iustus et peccator) itu akan jadi kutukan yang unbearable. Tapi kalau kita kembali ke Alkitab, Alkitab melihat Tuhan bukan cuma dalam terciptanya matahari, bukan cuma dalam dentuman pertama reaksi nuklir dalam matahari kita, tapi juga naik turunnya matahari selama ribuan tahun. Alkitab melihat Tuhan bukan cuma ketika Laut Teberau terbelah, tapi juga ketika hujan turun bagi orang benar dan orang fasik. Bukankah ini penghiburan yang sangat besar?
Bukankah ini the good news, bahwa Tuhan tidak menyelamatkanmu dari pertobatan, Tuhan menyelamatkanmu melalui pertobatan. Tuhan tidak menyelamatkanmu dari perasaan bersalah, Tuhan menyelamatkanmu melalui perasaan bersalah. Tuhan tidak menyelamatkanmu dari pengalaman jatuh bangun, Tuhan mengerjakan keselamatan-Nya melalui pengalaman jatuh bangun. Dengan demikian kegagalan kita bukanlah bahwa kita jatuh bangun, kegagalan kita adalah ketika kita menolak untuk jatuh bangun. Inilah Kekristenan.
Jadi, mari kita jangan lagi berdoa, “Tuhan, tolong supaya kami tidak terjebak pada rutinitas; Tuhan tolong supaya ini tidak jadi rutinitas belaka”. Mari kita mulai berdoa, “Tuhan, tolong supaya kami bisa melihat kemuliaan-Mu dan melihat tangan-Mu dalam rutinitas kami.” Sikap seperti ini yang saya percaya bisa cepat atau lambat membuat dari mulut kita muncul kalimat seperti pemazmur, “Pujilah Tuhan, hai jiwaku.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading