Di depan mimbar ini ada 4 lilin, kita sudah mulai mengingat-ingat masa Advent, yang setiap tahun dikenang orang Kristen secara ritualistik untuk menantikan Natal.
Kita, orang Kristen, seperti juga umat Tuhan dalam Perjanjian Lama, merayakan penantian. Kita punya mentalitas yang berbeda dengan zaman modern. Zaman modern tidak suka menunggu, tidak ada perayaan untuk menunggu, menunggu merupakan sesuatu yang negatif, boleh tidak ada, malah harusnya tidak ada, karena orang Modern membuang Tuhan; dan kalau Tuhan sudah diibuang, kita bisa berharap kepada siapa selain diri sendiri. Menunggu adalah satu aktfitas yang eksentrik, dalam arti pusatnya (sentrum-nya) bukan diri kita tapi di luar diri kita –sebagai lawan dari konsentrik yang pusatnya di tengah. Roda, merupakan lingkaran konsentrik, sedangkan kita punya struktur eksentrik –demikian kata David Kelsey— sebab pusat kita bukan dalam diri kita melainkan dalam sesuatu yang lain, dalam hal ini tentunya di dalam diri Tuhan yang menciptakan jagat raya ini. Menunggu, adalah bagian dari ritual yang menanamkan dalam diri kita suatu pengalaman dan kesadaran, bahwa kita bukan awal dan akhir dari segalanya, dan juga bukan alasan dari segalanya. Paulus mengatakan dalam Roma 11:36, “Segala sesuatu dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia.” Segala sesuatu bukan dari kita, oleh kita, dan bagi kita. Segala sesuatu adalah dari yang bukan kita –yaitu Tuhan– oleh yang bukan kita –yaitu oleh Tuhan– dan bagi yang bukan kita –yaitu bagi Tuhan. Itulah artinya eksentrik, lawan dari konsentrik.
Menunggu, sudah jelas eksentrik. Saudara mungkin pernah mengalaminya sewaktu menunggu orang datang di bandara, nungguin orang datang. Datang, dalam bahasa yang dekat dengan hari-hari yang kita rayakan empat minggu ini adalah advent. Misalnya, the advent of Modern Era, the advent of bla bla bla, artinya datangnya suatu masa tersebut; advent artinya arrived, datang, nyampe. Ketika kita ada di bandara, mau jemput orang, kita nungguin teman kita nyampe, nungguin pesawatnya nyampe; lalu waktu kamu nungguin pesawatnya nyampe, kamu bisa bikin lebih cepat atau tidak? Bisa tidak kamu menelpon pilotnya, “Hei, ngebut dong, sudah telat nih, gua sudah lama nunggu, cepetan dong!” lalu pilotnya tancap gas lebih cepat? Tentu tidak bisa. Waktu Saudara menunggu, ya hanya bisa bersabar, paling banter memantau, mirip dengan menunggu yang dilakukan umat Tuhan. Umat Tuhan waktu menunggu, paling bisa hanya melihat tanda-tanda, kapan ya, Tuhan berbuat sesuatu menghentikan ketidakadilan ini, kapan ya, Tuhan membereskan segala ketimpangan ini, kapan ya, pertolongan Tuhan datang. Namun menunggu juga bukan sepenuhnya pasif. Waktu kamu menunggu, tentu tidak bisa sambil menunggu sambil tidak menunggu, kamu sambil menunggu harus menunggu, walaupun kamu tidak bisa berbuat sesuatu untuk mempercepat datangnya hal yang kamu tunggu. Waktu kamu menunggu, kamu juga ada bagian/porsinya. Apa porsinya? Yaitu: kamu siap (ready). Jadi menunggu mengandung dua elemen; pertama, pasif, dalam pengertian kamu tidak berinisiatif, kamu tidak bisa mempercepat proses; kedua, kamu juga harus terbuka, harus siap, harus ada pada tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat dengan sikap yang tepat. Contoh: menunggu temanmu datang di bandara, lalu kamu menunggunya d tempat yang salah, temanmu datang di bandara Cengkareng tapi kamu menununggu di Halim, maka ada gunanya tidak? Tidak, karena menunggunya di tempat yang salah. Menunggu di waktu yang salah, misalnya temanmu datang tanggal 12, tapi kamu menunggunya tanggal 11 atau tanggal 20, tidak ada gunanya. Jadi, tempatnya tepat, waktunya tepat, dan sikapnya juga tepat. Kamu menunggu sambil larut dengan game yang kamu mainkan, tidak memperhatikan gate kedatangannya –kamu tidak punya sikap hati yang tepat– maka juga percuma. Jadi, pertama, menunggu itu eksentrik, dalam arti kamu tidak bisa mengendalikan; dan yang kedua, kamu bukan tidak berbagian, kamu berbagian.
Narasi Perjanjian Lama dan Baru bisa dirangkum dalam 5 babak; babak ke-1 adalah Penciptaan (Kejadian 1 dan 2), babak ke-2 adalah Kejatuhan (Kejadian 3), babak ke-3 adalah Israel (seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam era Yesus), babak ke-4 adalah babak Yesus (sejak Yesus lahir sampai naik ke surga), babak ke-5 adalah babak Gereja (setelah Yesus naik ke surga). Setelah Yesus naik ke surga, dicatat satu kali saja Yesus menampakkan diri. Itu pun bukan menampakkan diri dalam rupa berjalan-jalan bersama Paulus, makan ikan goreng bersama dengan Apolos; Yesus hanya menampakkan diri dalam rupa terang dan suara, dan itu pun hanya kepada sebagian orang, karena babaknya sudah berganti, sekarang babak Gereja. Babak Gereja diawali dengan apa? Babak Gereja tidak diawali dengan mereka retreat, lalu menyusun program untuk aksi, menyusun blue print program untuk mengubah dunia ini, mengubah cara hidup manusia, mengubah kebudayaan, membereskan semua yang salah dalam zaman itu –tidak demikian– melainkan mereka mulai dengan menunggu, kayak kita. Itu sebabnya “menunggu” ini di-ritualkan, seperti Masa Advent yang 4 kali itu, supaya kita jangan lupa bahwa kerja kita di sini sebagian adalah menunggu, walaupun itu tidak berarti pasif sama sekali, melainkan pasif dan siap. Itu yang pertama.
Hari ini kita akan membahas Pentakosta. Pentakosta dalah suatu respons Tuhan terhadap “menunggu”-nya mereka. Waktu Yesus naik ke surga, salam perpisahannya selain, “Pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku, baptislah mereka, dan ajarlah mereka”, Yesus juga mengatakan, “Tunggulah di Yerusalem –jangan pergi dari sana dulu, jangan buru-buru bergerak, tunggu dulu– sampai datang kuasa dari tempat yang tinggi, sampai Roh dicurahkan ke atasmu, karena itu yang dijanjikan Tuhan.” Jadi dimulai dengan menunggu. Dan, mereka tidak diberitahu misalnya, “Tunggu ya, sampai 10 hari”; mereka juga tidak diberitahu, “Tunggu ya, Hari Pentakosta akan dicurahkan”. Mereka hanya disuruh menunggu; tidak seperti menunggu pesawat yang ada jadwalnya, tapi seperti menunggu listrik nyala yang entah jam berapa. Menunggu listrik nyala, itu seperti menunggu datangnya Yesus kembali, tidak ada tanggal dan jam-nya; kita mengatakan, “Maranatha, segeralah!” tapi tidak tahu kapan. Menunggu di mana, jelas di Yerusalem. Menunggu apa, juga cukup jelas, bahwa Tuhan somehow akan mengerjakan sesuatu. Tetapi kapan, itu tidak jelas; bahkan itulah pertanyaan mereka, “Kapankah Tuhan, Engkau memulihkan Kerajaan Israel?” lalu Yesus mengatakan sesuatu dan Dia naik ke surga. Yang Yesus katakan, “Masa dan harinya kamu tiidak tahu, hanya Bapa yang tahu, Anak pun tidak tahu. Tetapi kamu akan menerima kuasa.” Jadi pertanyaan mereka “kapan”, dijawab oleh Tuhan dengan “kamu”.
Kapan Kerajaan Israel dipulihkan, saya kira sudah orang suarakan sejak zaman Salomo, karena zaman Salomo itu enak bagi mereka yang dekat dengan kerajaan, enak bagi mereka yang berkuasa, kurang enak bagi mereka yang dikuasai. Lebih-lebih zaman Ahab dan juga zaman Omri, enak bagi yang berkuasa, kurang enak bagi yang tidak berkuasa. Ini mirip seperti kota-kota kita. Ada kota-kota yang enak buat pejalan kaki, enak juga buat yang naik mobil, enak juga buat yang naik public transport, enak juga bagi burung-burung, enak juga bagi anjing dan kucing, enak bagi segala makhluk. Ada kota yang enak, jalanannya besar-besar seperti kota utopis di negara-negara komunis zaman dulu (yang masih tersisa sampai di zaman modern selain di kota-kota di Eropa Timur tapi juga Ashgabat, kota baru, ibukota dari Turkmenistan), kota-kota ini enak bagi yang naik mobil, tapi kurang enak bagi pejalan kaki. Jadi, enak bagi sebagian orang, tidak enak bagi sebagian yang lain; dan sudah pasti sama sekali tidak enak bagi yang tidak setuju terhadap penguasa. Tetapi Kerajaan Allah adalah kerajaan yang ada kehidupan bagi semuanya; dan khususnya ada kehidupan bagi yang biasanya tidak ada kehidupan, tidak ada masa depan, tidak ada kebahagiaan. Sebuah kota yang bagus, bukan dihitung dari seberapa enak hidup mereka yang paling dekat dengan kekuasaan, melainkan bagaimana kehidupan dari mereka yang paling berlawanan dengan kekuasaan –atau lebih tepatnya semua orang. Jadi, bukan diukur dari mereka yang naik Maybach berapa enak jalannya karena tidak macet, tapi berapa enak hidupnya mereka yang jalan kaki –harusnya begitu.
Itulah yang ditunggu dan ditagih murid-murid, “Kapan, Tuhan, Kerajaan Israel pulih? Sebentar lagi gelagatnya Kamu akan pergi; koq, tidak pulih??” Lalu Yesus naik ke surga –kalau dalam film Risen, digambarkan jet blast ke surga, menyisakan debu dan cahaya. Dan, Yesus-nya hilang, naik ke surga. Lho?? Israel belum pulih, koq, pergi? Kerja belum selesai –seperti Chairil Anwar katakana– koq sudah pergi? Tapi Yesus bukan tidak menjawab; Yesus menjawab, “Engkau akan menerima kuasa.” Artinya apa? Artinya, engkau adalah bagian dari solusinya, seperti juga engkau bagiian dari problemnya. Jadi, waktu mereka tanya “kapan”, asumsinya yang kerja semuanya Tuhan; tapi Tuhan bilang, “Kamu jangan tanya ‘kapan’, Tuhan tahu kapan, tapi kamu akan berbagian, kamu akan melihat dan mengalaminya, kalau kamu menunggu” –dan itulah yang mereka lakukan. Itu cukup menghibur mereka. Mereka tidak tanya lagi ‘kapan’, mereka terima Yesus pergi, dan mereka kembali ke Yerusalem dengan sukacita, datang lagi ke kamar yang mungkin masih ada sisa uang sewanya, di lantai atas sebuah rumah di Yerusalem. Mereka berkumpul di situ; dan pada suatu hari Pentakosta, terjadilah ini semua.
Hari Pentakosta bukan hari pencurahan Roh Kudus; Roh Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta. Ini sama seperti ulang tahun adalah merayakan hari kelahiranmu, tapi kamu bukan lahir pada hari ulang tahunmu seolah-olah hari ulang tahun sudah ada lalu kamu lahir di waktu tersebut. Demikian juga Pentakosta. Pentakosta adalah perayaan yang sudah berlangsung ratusan tahun dirayakan orang Israel, bahkan mungkin ribuan tahun, sejak Musa; perayaan tersebut terus-menerus mereka ulang tiap tahun. Dan, pada suatu hari Pentakosta, di suatu rumah, di Yerusalem, kira-kira tahun 30 sesudah Masehi, turunlah yang dijanjikan oleh Tuhan, yaitu peristiwa yang kita baca dalam catatan Lukas.
Kita akan melihat dulu apa yang dirayakan dalam hari Pentakosta yang dirayakan orang Yahudi. Perayaan itu diisebut Feast of Weeks, perayaan-perayaan seminggu, dan yang dirayakan adalah pembaruan Perjanjian Allah dengan Nuh (Noahic Covenant) dan Perjanjian Allah dengan Musa (Mosaic Covenant). Perjanjian dengan Nuh, memuat janji apa? Setelah air bah surut dan Tuhan mencium bau persembahan Nuh, Dia senang hatinya, lalu Dia mendeklarasikan suatu janji. Janji Tuhan ini berkenaan dengan nyawa, keselamatan, kehidupan. Tuhan bilang, “Akan terus-menerus ada kehidupan, akan terus-menerus musim berganti musim.” Mengenai “terus ada kehidupan”. Ini dijaga oleh 2 hal: pertama, bencana alam yang katastrofis tidak akan terjadi lagi; kedua, secara historis –bukan cuma faktor alam tapi juga faktor sejarah/ulah manusia–manusia sekarang diikat dengan suatu janji yang dulu tidak diberikan. Tuhan tidak memberi peringatan dan janji kepada Adam, “Adam, jangan membunuh ya, awas lho, nyawa manusia kalau darahnya kamu tumpahkan, Aku akan menuntut dari padamu”, bahkan Tuhan juga tidak mendirikan janji itu setelah darah Habel tertumpah ke tanah oleh Kain. Janji itu baru diberikan setelah kejahatan memuncak, memenuhi seluruh dunia, lalu Tuhan memusnahkan semuanya kecuali keluarga Nuh dan beberapa hewan. Barulah di situ Tuhan memperbarui perjanjian-Nya, dengan memperingatkan kepada setiap manusia, “Kalau kamu menumpahkan darah manusia lain akan Kutuntut tanggung jawabmu, karena Aku yang memiliki kehidupan.” Dan menariknya, menurut Abraham Kuyper –dan Saudara juga bisa lihat di dalam Alkitab– Tuhan juga menuntutnya dari hewan. Jadi dalam Noahic Covenant, Tuhan bukan cuma mengikat janji-Nya dengan manusia tapi juga mengikat janjii kepada hewan-hewan, kepada segenap kehidupan dan segenap jagat raya ini; Noahic Covenant itu argueably adalah pembaruan dari Perjanjian Kerja –beberapa theolog Reformed percaya hal itu. Dan kemudian, ini sesuatu yang tentu saja dilanggar oleh manusia. Nuh sendiri mabuk-mabukan, lalu terjadi kekerasan antara anak-anak dan keturunan Nuh sendiri, dan seterusnya, dan seterusnya, ternyata keadaan tidak lebih baik.
Singkat cerita, Tuhan kemudian mengikat janji dengan satu bangsa yang kecil. Jadi, proyek internasional sudah gagal, sekarang mulai dengan proyek nasional saja, yang kecil lokal; yang global sudah kayaknya hopeless, balik lagi sekarang tribal saja, lokal, familial. Memang pendulumnya biasa begitu. Kita lihat proyek “perdamaian dunia” zamannya Immanuel Kant –“mendirikan liga bangsa-bangsa”, kata Immanuel Kant– dan kemudian memang terjadi, Woodrow Wilson mendirikan Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian jadi PBB setelah gagal mencegah Perang Dunia. Tapi proyek internasional/global kayaknya terlalu besar, lalu mereka kembali mengerut, “Sudahlah, kita urusi diri kita dan keluarga kita saja, kita dan bangsa kita saja; kalau tiap keluarga baik, tiap bangsa baik, nanti seluruh dunia juga baik. Kita mulai dari yang kecil, kita bereskan ranjang kita di pagi hari, kita bereskan kamar kita biar tidak acak-acakan, kita bereskan rumah kita, dan kita mulai mengubah dunia dari situ” –mulai dari membenahi diri sendiri, membenahi rumah sendiri, kira-kira begitu. Jadi, dari global kepada lokal; dan yang lokal ini sukses tidak? Gagal lagi. Menjadi Tuhan memang musti panjang sabar, membereskan dari global, gagal, membereskan dari lokal, juga tidak kalah gagal; Israel menjadi bangsa yang malah lebih jahat daripada bangsa-bangsa lain –demikian dikatakan Tuhan dalam Perjanjian Lama. Pada puncaknya, bahkan ketika Tuhan mengirimkan Mesias, mereka membunuh-Nya; dan apakah itu sesuatu yang membuat Tuhan putus asa? Ternyata tidak.
Mereka menunggu kapan Kerajaan Israel dipulihkan, mereka menunggu di Yerusalem dan berharap kepada Tuhan pada suatu Hari Pentakosta, hari yang mengingatkan mereka akan pembaruan perjanjian dengan Nuh dan dengan Musa, yang mewakili global dan lokal –dua proyek gagal itu. Mereka terus berharap, dan tiap tahun merayakan pembaruan perjanjian itu. Mereka terus menantikan. Itu sebabnya ada alasan untuk mereka mengatakan, “Kapankah Engkau memulihkan Kerajaan Israel?” Mereka tidak putus harapan, entah lewat cara internasional/global, atau cara nasional/tribal, yang penting kehidupan ini menjadi lebih baik, pulihnya shalom antara manusia dengan Tuhan, manusia dan sesamanya, manusia dengan tanah dan lingkungan, dan hidup bisa berkembang. Tetapi jawaban Tuhan adalah: pertama, kamu harus menunggu; kedua, kamu akan terlibat (Tuhan akan melibatkan kamu). Lalu terjadi apa?
Masih pada Hari Pentakosta itu, sesuatu yang seperti nyala api menghinggapi masing-masing dari mereka, lalu terdengar suara angin, lalu mereka mulai berbicara, mempersaksikan pekerjaan Allah yang besar dengan –yang dipertengkarkan berbagai denominasi gereja hari ini—mulai melakukan aktifitas yang disebut glossolalia. Apa artinya glossolalia? Setidaknya ada 3 tafsiran. Tafsiran yang pertama, glossolalia diartikan sebagai kryptolaleo, bicara suatu bahasa misterius yang tidak dipahami siapapun; dan ini didukung oleh perkataan Paulus, bahwa orang yang berbicara bahasa roh, dia berbicara yang hanya dimengerti oleh dirinya dan Tuhan –atau mungkin Tuhan saja. Yang kedua, glossolalia diartikan sebagai xenolaleo, yaitu orang tersebut berbicara bahasa asing yang dimengerti sebagian orang asing, namun tidak dimengerti orang yang tidak paham bahasa tersebut. Atau juga, tafsiran ketiga, yang nanti akan saya jelaskan.
Kita akan melihat dulu fenomena ini dari tafsiran jenis yang pertama, kryptolaleo. Tafsiran ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sebagian orang mengatakan orang-orang yang ber-glossolalia itu sedang mabuk oleh anggur manis. Kenapa dituduhnya mabuk oleh anggur manis, kenapa bukan dituduh mereka buang waktu saya, atau berisik, atau mengganggu ketertiban umum? Jawabannya pasti ada urusan dengan aktifitas glossolaleo itu. Kira-kira apa miripnya orang berbahasa roh dan mabuk? Ini membuat kita bisa meraba-raba logika mereka yang mengatakan glossolalia adalah kryptolaleo (berbicara bahasa yang tidak dimengerti siapapun kecuali Tuhan), yaitu bahwa orang akan disangka mabuk kalau memenuhi beberapa syarat. Syarat pertama, dia bertingkah laku yang tak dapat dimengerti, irasionil kelakukannya, misalnya nyanyi-nyanyi mempermalukan dirinya; yang kedua, dia biasanya tidak begitu, dia biasanya pemalu tapi koq sekarang nyanyi-nyanyi, menyapa-nyapa orang, sok akrab –maka kita bilang ini orang mabuk. Jadi mabuk ditandai dengan perilaku yang tidak normal. Orang-orang di kisah ini seperti perilakunya tidak normal, dan yang tidak normal itu orang tidak bisa mengerti, tidak bisa menjelaskan, maka orang lalu bilang mereka bicara kryptolaleo. Namun tafsiran ini saya kira sangat lemah, karena kenyataannya ada yang mengerti. Jadi kalau dibilang ini fenomena kryptolaleo, bagaimana bisa menjelaskan ayat 8 yang mengatakan, banyak orang mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, bahasa tempat kita dilahirkan –yang artinya mereka mengerti.
Itu sebabnya tafsiran yang kedua, ini adalah xenolaleo. Itu ibaratnya saya tiba-tiba bisa bicara bahasa Rusia, bahasa Korea, lalu orang bingung, “Lho koq, si Jadi bisa ngomong bahasa Rusia, bahasa Korea, padahal tidak pernah belajar??” maka itu disebut bahasa roh (xenolaleo). Namun kita melihat ini sesuatu yang bukan sepenuhnya demikian juga, karena kalau kita perhatikan, mereka itu bukan tidak mengerti bahasa bersama. Ingat, mereka berada di Yerusalem untuk satu urusan tertentu, yaitu merayakan Pentakosta, merayakan feast of weeks itu. Mereka datang dari tempat jauh –dari Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir, Libia, Kirene, Roma, Kreta, bahkan Arab– ke Yerusalem. Orang tidak datang dari tempat yang jauh sekadar random, lagi jalan-jalan, dsb., tapi memang ada urusannnya, urusan yang serius bagi mereka. Kalau kamu datang ke suatu perayaan Natal 1000 km dari sini dengan berjalan kaki, itu tidak mungkin cuma kebetulan lewat, tidak mungkin tidak ada alasannya, pasti sengaja, pasti ada urusannya. Ini menandai bahwa mereka serius dengan agamanya, mereka serius dengan pembaruan perjanjian, mereka orang Yahudi yang serius. Tapi waktu mereka datang –dan datangnya bukan sekadar jadi turis– kira-kira mereka mengerti atau tidak di Bait Suci itu bahasa perkataan-perkataannya, khotbahnya, nyanyiannya? Pasti mengerti. Kalau mereka serius dengan hal tersebut, pasti setidaknya mereka baca Alkitab di rumah di kampungnya. Dalam hal ini mungkin mereka pakai Bahasa Aramaic atau Bahasa Yunani Koine, karena tempat-tempat yang tadi disebut adalah daerah-daerah dalam Kekaisaran Romawi; dan di seluruh Kekaisaran Romawi, orang-orang elit kekuasaan bicara Bahasa Latin, orang-orang pada umumnya bicara Bahasa Yunani, dan lebih luas lagi Bahasa Yunani Pasar (Yunani Koine), sementara yang di daerah Yudea setidaknya mengerti Bahasa Aramaic. Jadi ada bahasa bersamanya. Ibaratnya kamu datang ke reuni marga tertentu Tionghoa, lalu berkumpullah di kota itu –misalnya Singapura– orang-orang Tionghoa dari Brasil, Argentina, Zimbabwe, Vladivostok, Hongkong, dsb., lalu apakah orang-orang ini sama sekali tidak saling mengerti? Tentu tidak demikian; mereka akan mengerti, setidaknya mengerti Bahasa Inggris –sama seperti di kisah ini mereka setidaknya mengerti Bahasa Yunani Koine. Jadi, kalau dikatakan ini mukjizat xenolaleo, dalam pengertian bahwa tanpanya mereka tidak saling mengerti, sebagaimana beberapa penafsir mengatakan ini seperti pembalikan peristiwa Menara Babel –yang dalam peristiwa Menara Babel, mereka punya bahasa bersama, Tuhan datang, lalu mereka tercerai-berai, sedangkan yang di sini mereka tidak saling mengerti, Tuhan datang, lalu mereka saling mengerti– hal tersebut ada benarnya tapi kurang tepat. Kurang tepatnya di mana? Kalau dipahami sebagai pembalikan Menara Babel –yang di situ mereka tidak saling mengertinya sedemikian rupa sampai konflik— kurang tepatnya adalah karena mereka mengerti juga koq, satu sama lain, hanya saja mereka mengerti bukan lewat bahasa ibu.
Mereka bisa saling mengerti lewat Bahasa Yunani Koine atau Bahasa Aramaic; dan itu kemungkinan bukan bahasa ibu orang-orang Yahudi yang sudah tersebar ke Partia, atau Media, atau Elam, atau Mesopotamia, dst. Jadi, padanannya, yang terjadi di sini bukan kamu dengar saya bicara Bahasa Rusia, melainkan mungkin seperti kamu dengar saya bicara Bahasa Jawa atau dialek Konghu atau apapun yang dekat dengan hati kamu. Kira-kira begitu. Jadi ini adalah mukjizat dalam pengertian mereka mendengar pekerjaan-pekerjaan besar yang dilakukan Tuhan, dalam bahasa ibu mereka; bukan dalam bahasa yang mereka sekarang mengerti dan tadinya tidak mengerti, tapi dalam bahasa ibu, yang tanpa itu pun mereka juga mengerti tapi mengertinya di kepala, seperti orang zaman Soekarno mengerti Bahasa Indonesia. Itu sebabnya dalam Deklarasi Sumpah Pemuda, waktu salah satu perwakilan disuruh pidato, dia minta maaf tidak bisa pidato pakai Bahasa Indonesia –lucu juga, ya– dan dia pidato pakai Bahasa Belanda. Maklumlah, waktu itu Bahasa Indonesia masih muda sekali, masih jadi bahasa yang menyasar otak (kognitif), seperti juuga kalau kamu mengajar di sekolah Internasional, biasanya lebih susah marah di kelas, karena marah dalam Bahasa Inggris rasanya lebih susah. Begitulah kira-kira. Bahasa ibu, itu menyasar emosi, afeksi, speak to your heart; dan inilah sesuatu yang terjadi di Hari Pentakosta itu, terjadi ketika Roh Kudus bekerja dalam diri yang bicara maupun yang mendengar, dalam diri para saksi maupun orang-orang yang bersentuhan dengan diri para saksi. Mereka mendengar Tuhan bicara dalam hati mereka. Itulah mukjizatnya. Itulah pekerjaannya. Dan, itu adalah permulaan dari riwayat Gereja.
Gereja, riwayatnya dan pekerjaannya adalah menjadi saksi, menjadi martir. Martir bukanlah orang yang mati setelah dipaksa-paksa menyangkal iman –meski benar juga– tapi martir dalam arti paling intinya adalah menjadi saksi; dan saksi adalah membagikan/mepersaksikan apa yang dia alami, dan di-back up dengan kehidupan, gaya hidup, pilihan-pilihan hidupnya. Kekristenan pada abad-abad awal dipahami bukan sebagai kepercayaan. Kita sekarang, kalau di KTP ada tulisan “agama: Kristen”, tapi Kristen bukanla agama dalam pengertian yang mula-mula; agama merupakan produk Enlightenment (Aufklärung). Pada masa Aufklärung, mereka bikin separasi antara kehidupan sekuler dengan kehidupan agama, seolah-olah seluruh dunia bisa dibagi sedemikian. Lalu orang-orang India dikatakan agamanya Hindu, karena mereka itu orang-orang Hindustan, orang-orang dari Sungai Indus; padahal itu nomenklatur yang lucu banget karena penduduk di sekitar Sungai Indus agamanya buaaanyak bangettt, tapi lalu semua ditaruh dalam satu payung “Hindu”. Ini mirip seperti kamu disebut Kristen, lalu Mormon juga disebut Kristen, Saksi Yehova juga Kristen, penganut Arianisme juga Kristen, Unitarian juga Kristen, Katolik juga Kristen, lalu kamu mulai keberatan, “Lho, koq, saya sama dengan Saksi Yehova, sama-sama Kristen katanya??” Kira-kira begitulah kalau kamu menyebut orang India agamanya Hindu, karena itu payung yang terlalu lebar untuk mungkin ratusan ribu agama di bawahnya. Intinya, kenapa bisa begitu, adalah karena orang-orang kolonialis yang pergi ke India itu punya satu kategori di otak mereka bahwa ada satu aspek kehidupan dalam hidup manusia yang namanya agama. Tetapi orang Kristen mula-mula tidak punya KTP yang bertuliskan agamamu apa, melainkan pilihan hidupmu apa, jalan hidupmu apa; mereka dikenal sebagai “pengikut Jalan itu” (“the folowers of the Way”).Jadi, Kristen di benak orang-orang tersebut bukan urusan kita mempraktekkan ritual tertentu –kalau kawin caranya bagaimana, kalau berdoa bunyinya bagaimana—melainkan kita ini hidupnya seperti apa. Ada satu istilah yang agak redundant kalau dikenakan kepada Kristen, yaitu “lived religion” kita apa, agama yang dihidupi itu apa –tapi ini istilah yang redundant karena Kristen adalah yang kamu hidupi. Kalau kamu bilang, “Agama saya sih Kristen, tapi saya menghidupinya agama mamon,” berarti yang disebut pertama bukan agama –atau mungkin memang benar agamamu– tapi jangan sebut Kristen, karena Kristen bukan agama, Kristen adalah jalan hidup. Seperti misalnya jalan hidup anak-anak punk, punk adalah jalan hidup. Anarki, itu jalan hidup. Konsumeris, itu jalan hidup. Sosialis, itu jalan hidup. Dan, Kristen itu jalan hidup; seperti juga kalau kita bandingkan diri kita dengan komunitas yang lain, Islam itu jalan hidup. Tapi bagi beberapa orang, Kristen itu agama –agama saja– sementara jalan hidupnya bisa lain sesuai piliha masing-masing. Namun Gereja-mula-mula tidak begitu, mereka menyadari betul bahwa Kristen adalah jalan hidup, pengikut Jalan Kristus. Kalau kamu adalah pengikut Jalan Kristus, kamu akan mempersaksikan sesuatu, yaitu Tuhan bekerja melalui hidupmu, dan itu akan menyentuh orang-orang yang ada di sekeliling kamu, dan itu adalah sesuatu yang membuat kamu dan kita semua memuji Tuhan dengan lebih banyak, bersyukur dengan lebih banyak.
Selanjutnya, Petrus menjelaskan mengapa mereka ini bukan sedang mabuk; ada 3 argumennya yang akan kita lihat. Argumen yang pertama, dari common sense; “Mabuk bagaimana, Mas, wong baru jam 9??” Orang Yahudi pada masa itu tidak sarapan, mereka tidak makan jam 9 pagi, apalagi minum-minum anggur itu aneh sekali. Jadi waktu dikatakan mereka mabuk, padahal hari baru belum pukul 9, itu tuduhan yang lucu, tuduhan yang terlalu terrburu-buru. Demikian pembelaan Petrus yang pertama.
Pembelaan Petrus yang kedua, dari nubuatan Yoel. Di sini kutipan Petrus diambil dari Septuaginta; dan Septuaginta lebih ada variasi dibandingkan Tanakh (Septuaginta adalah terjemahan Yunani dari Alkitab Ibrani). Misalnya tulisan Yoel, ada versi Ibraninya dengan tulisan Ibrani, dan versinya sedikit beda dengan Yoel yang sudah diterjemahkan dalam terjemahan Yunani (mirip seperti Alkitab kita, terjemahan Indonesia, yang kalau dibandingkan Bahasa Ibraninya pasti ada beda-beda sedikit). Salah satu bedanya, kalau versi Tanakh diterjemahkannya demikian: (Yoel 2:28-32) “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, …”, sedangkan versi Septuaginta: “Pada hari-hari terakhir … “ –lebih kontekstualisasi kepada bahwa ini adalah tanda dari akhir zaman, ‘jadi kalau kamu melihat Roh Allah dicurahkan kepada semua orang, artinya akhir zaman sudah mau tiba’. Demikianlah versi Septuaginta yang lebih eksplisit, yang dikutip oleh Petrus. Mengapa Petrus mengutip ini? Kemungkinan besar, sama seperti dalam banyak tempat kutipan Perjanjian Lama di Perjanjian Baru adalah dari Septuaginta, itu mempersaksikan bahwa mereka kebanyakan sudah tidak bisa Bahasa Ibrani, atau kalaupun bisa, hanya para spesialis yaitu ahli-ahli Taurat. Kenapa? Karena mereka kalah; kebudayaan mereka kalah, kebudayaan dominannya adalah Romawi, bahasa dominan dan culture berpikirnya Romawi dan Yunani, jadi mereka membaca kitab sucinya pun pakai bahasa asing yang sekarang jadi bahasa ibu. Di sini saya ingin melihat satu poin, yaitu bahwa hal itu tidak buruk, itu adalah masa depan kita. Jadi kita tidak perlu bersikap xenophobic, primordial, seolah-olah jadi kehilangan jati diri kalau kita kehilangan kebanggaan otentisitas kita di masa lampau. Itu tidak perlu karena ketika Tuhan bekerja di atas dunia ini, Dia menerjemahkan pekerjaan-Nya itu ke dalam hal yang sehari-hari; dan yang sehari-hari bagi mereka waktu itu, di dalam pemeliharaan dan pemerintahan Tuhan yang tidak pernah tidur itu, happened to be adalah kebudayaan Romawi-Yunani –maka Alkitab ditulis dalam Bahasa Romawi-Yunani, dan itulah yang dikutip oleh Petrus.
Hal itu kemudian dipakai Petrus untuk mendukung suatu argumentasi, waktu mereka melihat orang-orang ini bernubuat padahal mereka bukan siapa-siapa –karena dikatakan para saksi, “Padahal mereka ini orang-orang Galilea!”– bahwa ini menandai dua hal. Hal yang pertama, orang Galilea koq, bicara bahasa daerahnya orang Kirene, Libya, Arab, Kreta, Pontus, Kapadokia?? —mukjizat ‘koq, kamu bisa ngomong pakai bahasa ibu saya’. Hal yang kedua, orang Galilea adalah orang-orang yang tidak terhormat, karena mereka dianggap bukan Yerusalem dan juga bukan Roma. Orang Galilea dianggap orang-orang kompromis bagi orang Yerusalem, Yudea, karena mereka biasa bergaul dengan bangsa-bangsa asing, dan dari dialeknya pun terdengar mereka ini orang Galilea, orang yang kurang terhormat. Tapi orang-orang yang tidak dihormati oleh agama maupun oleh yang berkuasa dalam masyarakat mereka inilah, yang dipakai Tuhan mempersaksikan pekerjaan-pekerjaan besar Tuhan, untuk menyasar hati, emosi, dan afeksi, dari semua orang, baik yang powerful maupun tidak.
Argumen yang ketiga, Petrus mengutip Mazmur. Dalam Mazmur 16:8-11 itu, Daud dikatakan oleh Petrus, bernubuat mengenai kebangkitan Mesias. Dalam konteks aslinya Mazmur tersebut, Daud sedang minta tolong kepada Tuhan, dia dalam bahaya, tapi dia kemudiian tidak takut karena Tuhan ada di pihak dia, karena Tuhan bisa membangkitkan orang mati. Tetapi, Petrus menafsirkannya jadi seperti ini: karena Daud toh mati, jadi kalau kita katakan nubuatannya terpenuhi dengan Daud dibela Tuhan sehingga tidak mati, kenyataannya Daud mati, kuburannya masih ada sampai hari ini; kalau Musa masih mending, kuburannya tidak ditemukan, tapi Daud mati, kuburannya kita lihat koq; lalu kenapa Daud mengatakan demikian dalam Mazmur 16, jawabannya adalah karena dia nabi, dia bisa melihat ke depan, dan dia mempersaksikan tentang kebangkitan Mesias, Yesus dari Nazaret yang kamu salibkan itu. Demikian punch line dari Petrus, bahwa Yesus yang kamu salibkan, Dialah Mesias yang dibangkitkan Allah seturut dengan nubuatan Daud. Dan, kalau mereka mendengar “Daud”, itu seperti kalau masa-masa Pemilu orang sebut-sebut “Soekarno”, yang mendadak jadi ayah dari semua kandidat politik –kira-kira begitu. Daud adalah dinasti yang dianggap paling sukses, paling bagus, paling diberkati Tuhan, man after God’s heart, walaupun tangannya tidak bersih tapi berdarah-darah juga namun dia berkenan di hati Tuhan, maka semua orang mengacu kepada Daud. Kemudian dikatakan, pewaris takhta Daud itu, akan diberikan tanda bahwa dialah mesias. Apa tandanya? Yaitu Dia akan dibangkitkan dari antara orang mati –dan itulah Saudara-saudara, yang kamu saksikan hari ini.
Mereka menyaksikan, mendengar dengan telinga mereka, melihat dengan mata mereka, dua tanda. Tanda yang pertama: tanda yang diberikan oleh Yoel, bahwa orang-orang biasa, bukan imam, bukan nabi, bukan raja, tapi dipenuhi Roh. Tanda yang kedua: Yesus, atau Seseorang, dibangkitkan dari antara kematian dan tidak melihat kebinasaan, dan diangkat ke surga –dan “kami saksinya bahwa Yesus dibangkitkan dan Yesus naik ke surga”, dan tidak ada orang lain seperti itu. “Lho, Pak, Lazarus ‘kan dibangkitkan?” Ya, tapi tidak naik ke surga; Lazarus mati lagi. “Lho, Pak, yang di zamannya Elisa dan Elia ‘kan juga dibangkitkan?” Memang benar “dibangkitkan” bukanlah sesuatu yang pertama kali terjadi, namun “kebangkitan” (ressurection) adalah kali pertama yang terjadi, karena yang sebelumnya adalah revivification, sedangkan Yesus tidak sekadar revivification.
Apa bedanya revivification dengan ressurection? Revivification adalah sekadar dari mati, jantungnya berhenti, lalu hidup lagi. Itu dokter juga bisa lakukan; dan itu bisa terjadi. Seorang kawan saya cerita, dia punya papa sudah mati, sudah ditangis-tangisin, tiba-tiba hari kedua atau ketiga bangun, dan semua orang bubar! Sudah begitu, masih hidup sampai 10 atau 20 tahun kemudian. Luar biasa. Mungkin juga kedokteran zaman dulu waktu periksa-periksa, disangka sudah mati, dimasukkan peti, ternyata masih hidup. Itu namanya revivification —bahkan mungkin papanya tadi tidak mati, cuma sekarat saja. Tetapi Yesus ressurection. Apa bedanya? Ressurection berarti pakai tubuh yang baru, tubuh yang tidak binasa. Ini masa depan kita, yang belum terjadi, tapi sudah terjadi pada Satu Orang; belum terjadi pada kita, tapi sudah terjadi pada Yesus, sebagai yang sulung dari yang dibangkitkan –bukan yang sulung dari yang dihidupkan kembali dalam arti revivification, melainkan dalam arti ressurection.
Jadi, dua poin data ini menyimpulkan apa? Menyimpulkan: “Kalian semua keliru waktu kalian menyalibkan Yesus dari Nazaret; yang kalian salibkan adalah Mesias, Tuhan, jadi kalian sudah membunuh Tuhan.” Mereka lalu panik, mereka tersayat hatinya, seperti waktu orang mendengar khotbah Stefanus dikatakan “mereka tertusuk hatinya” (terjemahan TB 1974 “terharu”). Mereka sangat tergerak hatinya, “Lalu kita harus bagaimana?? Kita sudah salah semua dong, lalu kita bagaimana??” Petrus menjawab, “Ya, berbaliklah —gitu aja koq repot.” Ini sama saja kalau orang bilang, “Pak, pekerjaan saya koq, kayak begini Pak, jadi saya ya terlibat korupsi sebetulnya, tapi duit saya sekarang sudah berseri-seri sampai saya sudah berhenti hitung sejak 10 tahun lalu, banyak banget. Tapi saya ini ‘kan ya salah, Pak, lalu bagaimana??” Gampang saja, “Berhentilah berbuat jahat, mulailah berbuat baik”, itu saja. Bertobatlah, berbaliklah dari jalanmu yang lama, rengkuhlah jalanmu yang baru, karena Tuhan cuma satu; dan Dia bukan kuasa politikmu, bukan duitmu, bukan sehatmu, bukan populermu —bukan yang lain. Tuhan cuma satu; dan barangkali kamu sudah membunuh Dia. Jadi bagaimana? “Ya, berbaliklah dari situ, “kata Petrus, “Dan berilah dirimu dibaptis.”
Berikan dirimu dibaptis, berarti seal off kesetiaan yang baru, seperti orang menceraikan sesuatu yang lama dan mengikat janji dengan sesuatu yang baru, memutuskan hubungan dengan sesuatu yang lama, dan memulai suatu hubungan yang baru dengan menandatangai kontrak. Seperti itulah yang harus dilakukan, dengan Baptisan. Dan, karena Baptisan itulah beberapa orang mati terbunuh, karena Baptisan itulah beberapa orang diusir dari komunitas orang-orang Yahudi, karena Baptisan itulah Paulus mengalami rangkaian “nasib sial”, dia harus meninggalkan karier dia yang lama sebagai orang Farisi dari keturunan Benyamin, sebagai seorang Zelot yang punya masa depan dan identitas yang cukup mapan. Dia harus tinggalakan itu semua. Itulah yag diusulkan Petrus, “Bertobatlah, berikan dirimu dibaptis, karena kamu selama ini sudah salah, karena kamu turut membunuh Mesias dan Tuhan.” Orang-orang yang datang ke Yerusalem itu, ya, sebetulnya dia-dia saja; komunitas Yahudi diaspora itu, ya, dia-dia saja. Mereka memenuhi Yerusalem di hari perayaan, lalu pergi lagi ke kota masing-masing, dan di hari perayaan nantinya datang lagi; jadi orangnya ya, itu-itu saja sebenarnya, cukup banyak jumlahnya. Orang-orang itu, merekalah yang berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia! –kami memilih Barabas, salibkan Yesus.” Dan kata Petrus, “Berbaliklah dari sikap itu, terimalah kenyataan bahwa Yesus dari Nazaret adalah Mesias dan Tuhan, maka hidupilah hari-harimu dengan mengacu pada kenyataan itu, yang meng-orientasikan dirimu dan pengharapanmu.” Dan, apa yang kamu tungguin?
Saya menutup dengan ini: tadi saya beri contoh, kalau kamu nungguin pesawat temanmu datang, kamu harus punya kesiapan, tapi harus menerima bahwa kamu tidak mengendalikan. Jadi sekarang kamu nungguin apa? Jangan bilang, “Nungguin khotbahnya selesai”, ya, tapi nungguin apa? Mungkin “nungguin giliran saya menang”, “nungguin kapan ya, saya jadi the next Elon Musk”, “nungguin kapan ya, giliran saya terkenal, kapan musuh saya mengakui saya, kapan Bapak saya mengakui saya, kapan… “ –apapun yang kamu sebutkan. Mungkin itulah yang kamu tungguin; dan saya ajak kamu bertanya, worth it atau tidak, sih, nungguin itu seumur hidupmu, mengharapkan itu seumur hidupmu? Atau, kamu seharusnya menantikan datangnya Kerajaan Allah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading