Jika kita berbicara berkenaan dengan keselamatan dalam spiritualitas Injili, maka kita hampir tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang kematian. Kita berbicara bahwa kematian Yesus telah mengalahkan kematian sehingga setelah kematian badan kita, maka kita tidak lagi menerima hukuman kebinasaan (kematian) kekal. Jika kita menilik sedikit lebih serius kita akan mendapati bahwa urusan keselamatan telah menjadi salah satu subjek yang paling menonjol dalam tradisi Injili. Kita sangat diperlengkapi untuk mengerti untuk apa Yesus mati, dan pada gilirannya kita juga sangat diarahkan untuk mengerti kemana setelah kita mati nanti.
Dalam praksis hidup keseharian agaknya cukup lazim jika kita sering mengaitkan hal-hal yang terjadi dalam hidup kita dengan kematian Yesus, dalam doa kita juga lebih sering merenungkan tentang kematian Yesus. Besar kemungkinann kita merenungkan tentang penyaliban Yesus jauh lebih sering ketimbang misalnya Yesus berjalan diatas air; dan dalam doa kita lebih lazim berkata Bapa terima kasih Engkau telah memberikan Putera tunggal-Mu mati diatas kayu salib ketimbang Bapa terima kasih untuk kuasa Yesus yang dinyatakan ketika Dia mengusir setan. Kita orang Injili sangat dipersiapkan untuk menghadapi kematian, namun sayangnya spiritualitas yang berat sebelah seperti ini tidak mempersiapkan kita secara cukup untuk menghadapi hidup. Kita dalam warisan besar pembacaan Luther tentang iman sangat meyakini tentang doktrin pembenaran oleh anugerah melalui iman (justification by grace through faith) di dalam Kristus Yesus yang mati menebus dosa kita.
Penekanan selanjutnya diberikan bahwa kita diselamatkan adalah hanya melalui iman saja dan BUKAN oleh perbuatan baik. Adapun iman kita adalah iman yang berpusat pada kematian Yesus yang bersifat menebus. Kita banyak merenungkan tentang kematian Yesus, dan sayangnya dengan agak timpang kita kurang merenungkan tentang hidup-Nya; kita bisa menjawab pertanyaan “untuk apa Yesus mati”, namun kita cenderung bingung ketika pertanyaannya adalah “untuk apa sekian lama Yesus hidup”. Demikian juga kita tahu dengan jelas kemana kita setelah mati, namun kita jarang bertanya kemana arah hidup kita. Tidak heran dalam cara berpikir demikian, perbuatan baik kurang memiliki tempat dalam kerohanian kita. Namun faktanya kita masih diberikan hidup oleh Allah sehingga kita tetap mau tidak mau perlu menggumulkan bagaimana semestinya kita hidup. Umumnya kita mengambil langkah yang khas orang timur, yaitu tidak terlalu ekstrim kiri atau kanan. Kita tidak sepanjang waktu merenungkan tentang hidup suci (seperti Luther dalam kehidupan biaranya), toh kita tahu bahwa kita tidak diselamatkan melalui perbuatan baik; namun disisi yang lain kita juga tidak hidup sejahat-jahatnya agar tidak memalukan.
Namun demikian bukan berarti dalam skema seperti ini kita tidak memiliki tempat yang pas untuk perbuatan baik. Setidaknya kita bisa catat dua hal penting yang berkaitan langsung dengan perbuatan baik. Pertama, perbuatan baik adalah ucapan syukur yang wajar bagi kita yang menerima keselamatan. Terkhusus dalam budaya Timur kita yang memiliki warna sungkan yang cukup kental; berbuat baik karena ucapan syukur memiliki tempat yang cukup baik. Dalam hidup sehari-hari; jika kita merasa seseorang menolong kita, maka kita rasa cukup wajar bila kita mulai merasa hutang budi, kita merasa harus membalasnya dengan ucapan terima kasih kita dalam berbagai bentuk. Suatu hari orang yang menolong kita tersebut mengadakan jamuan pesta, kita diundang, sebenarnya kita malas datang; namun karena sungkan, karena kita merasa sudah berhutang budi, maka kita datang juga.
Demikian juga kita dengan Allah; berbuat baik??? Mungkin bukan pilihan yang paling menyenangkan, agak membosankan mungkin, agak menekan mungkin; namun yah sudahlah Allah sudah baik menebus kita tentu kita ingin juga bersyukur kepada-Nya. Kedua, secara teologis ketika Allah menyelamatkan kita, Dia menjadikan kita anak-anak-Nya. Maka like Father like son sudah semestinya jika perbuatan kita semestinya mirip dengan Allah yang adalah Bapa kita; jadi kita harus berbuat baik. Sekali lagi; musti pelayanan rajin, beribadah tepat waktu, rajin ikut persekutuan doa, menjalankan bisnis dengan bersih, menahan diri dari bergosip, menghindarkan diri dari menekan orang lemah dsb. itu semua bukan pilihan paling keren dan menyenangkan mungkin; namun kita tetap menjalankannya karena kita adalah anak-anak Allah. Keduanya; baik dalam skema ucapan syukur ataupun dalam skema kemiripan dengan Allah sebagai anak-anak-Nya, umumnya kita memiliki satu aplikasi yang mirip; yaitu berjuang, sangkal diri, pikul salib, melaksanakan kehendak Allah.
Bagian Injil yang kita baca membawa sebuah pendekatan yang berbeda dengan dua pandangan diatas (berbeda tidak berarti berbenturan). Tuhan Yesus mengadakan pembedaan tentang orang bijak dan orang bodoh; yaitu mereka yang membangun rumah diatas batu dan diatas pasir. Keduanya menjadi perumpamaan bagi orang yang mendengar dan melakukan atau disisi sebaliknya sudah mendengar namun tidak melakukannya. Pertama kita perlu mengerti apa yang dimaksudkan dengan hujan, banjir, angin (25, 27). Mungkin cukup mudah kita mengaitkan masa hujan, banjir, angin tersebut dengan masa-masa sulit dalam hidup. Masa PHK, masa resesi ekonomi, kesulitan dalam rumah tangga dsb.
Namun jika kita perhatikan konteks perkataan ini dengan lebih dekat kita akan melihat bahwa perumpamaan ini mengarah kepada masalah akhir zaman; atau dalam tema yang ktia bicarakan, hal ini berbicara tentang keselamatan kita. Kita bisa melihat dari kesinambungan tema dari perikop sebelumnya tentang “pintu yang menuju pada kebinasaan dan pada kehidupan” (7:13-14), “pohon yang dibuang dalam api” (7:19), “penolakan Tuhan Yesus di akhir zaman” (7:23), semuanya mengacu pada akhir zaman dan berkaitan dengan urusan keselamatan. Demikian juga dengan bagian yang kita baca; namun yang unik dalam bagian ini kita melihat bahwa permasalahan keselamatan sangat erat dikaitkan dengan perbuatan baik. Mereka yang mendirikan rumah diatas batu adalah mereka yang melakukan perkataan Tuhan Yesus, dalam kata lain menjalankan hukum Allah. Pembacaan sekilas akan seperti sangat berbenturan dengan doktrin Injili kita yang sangat dasar tentang keselamatan yang bukan melalui perbuatan baik namun melalui iman. Kita kesulitan membacanya secara demikian; urusan keselamatan selama ini dalam budaya Injili lebih sering kita sorot dari teologi Paulus khususnya yang diresepsi dalam jalur pergumulan abad pertengahan, Martin Luther terkhusus. Disini kita sering membuat pemisahan yang cukup tegas antara anugerah dan perbuatan baik. Namun jika kita memperayai Matius sebagai Injil yang berotoritas, kita juga perlu melihat urusan keselamatan dalam skema khusus Injil Matius, dan bagaimana perbuatan baik ditempatkan dalam skema ini.
Pertama kita mengingat bahwa perikop ini masuk dalam “khotbah di bukit” (Matius 5-7). Khotbah di bukit merupakan satu blok pengajaran pertama dari lima blok pengajaran besar (1. Khotbah di bukit, 2. Perutusan, 3. Perumpamaan, 4. Pengajaran tentang komunitas, 5. Khotbah tentang akhir zaman) dalam Injil ini. Pertama kita melihat susunan Injil yang dibagi dalam lima blok pengajaran ini. Bagi orang Yahudi pendengar Injil Matius ini, mereka akan cukup mudah mengasosiasikan lima blok pengajaran dengan Pentateukh (lima kitab Musa – Kejadian-Ulangan). Keterkaitan Yesus dan Musa dalam Injil ini memang cukup mudah kita lihat; dalam bagian awal Injil ini kita melihat usaha Herodes membunuh Yesus melalui pembunuhan anak-anak, mengingatkan kita akan usaha Firaun membunuh Musa melalui pembunuhan anak-anak juga. Selain itu kita melihat bagaimana Yesus menyingkir ke Mesir, setelah kembali Dia melalui air (pembaptisan) berada di padang gurun selama 40 hari dan mengalami pencobaan (bandingkan dengan 40 tahun padang gurun Musa bersama bangsa Israel), setelah itu Yesus naik ke gunung dan memberikan khotbah (hal ini bisa kita perbandingkan dengan Musa yang naik keatas gunung untuk memberikan mereka hukum Taurat). Sekali lagi dalam hal ini kita perlu jelas, pertama-tama bahwa urusan hukum dan pengajaran Yesus; melakukan perkataan-Ku bisa diperbandingkan dengan mengikuti hukum Taurat dalam Perjanjian Lama.
Mendengar pengajaran Yesus yang disejajarkan dengan Taurat kita mungkin mulai muram; lagi-lagi peraturan, urusan boleh tidak boleh; perintah dan larangan. Itu mungkin yang melintas dibenak kita ketika kita berbicara tentang hukum. Namun apa yang dipikirkan para pembaca mula-mula Injil Matius (serta umat Israel pada masa Musa) sangatlah berbeda. Pembacaan hukum dalam kitab Keluaran 24 diikuti dengan pesta besar. Ketika Musa selesai membacakan berbagai perintah dan hukum Allah; rakyat Israel serentak berkata kami akan menaatinya, selanjutnya kejadian ini diikuti dengan peristiwa pengurbanan binatang serta pemercikan darah dan diakhiri dengan makan-makan. Pembacaan hukum, pencurahan dan pemercikan darah, teriakan ketaatan, merupakan sebuah upacara ikat janji yang mengikat hubungan khusus antara TUHAN Allah sebagai Allah Israel dan Israel sebagai umat-Nya.
Salah satu peristiwa modern yang mungkin paling mewakili upacara ini adalah pernikahan. Pernikahan adalah ikat janji, dan pada umumnya dilakukan dalam segala nuansa berbahagia, pesta dsb. Dalam pernikahan ada pembacaan janji nikah (hukum perkawinan tentang kesetiaan), ada tukar cincin dan tumpang tangan pendeta yang melambangkan bahwa upacara pengikatan kedua mempelai sebagai dua orang yang kini menjadi satu, yang kini menjalin hubungan yang demikian dalam. Setelah itu pada umumnya diikuti dengan pesta. Perjanjian (dengan pembacaan Taurat di dalamnya) diberikan dalam nuansa yang sakral namun juga berbahagia; sangat berbeda dengan cara baca kita saat ini tentang Taurat yang sangat mengikat dan memberatkan. Hal ini sama sekali tidak menjadikan umat Israel menjalankan Taurat demikian mudah dan tanpa pergumulan. Sama halnya dengan pernikahan; bukan berarti menjaga kesetiaan bisa berlangsung sama sekali tanpa pergumulan; mungkin ada masa-masa dimana komitmen kita harus diuji, kita bergumul untuk setia; namun tetap pernikahan bukanlah sebuah ikatan yang dipaksakan, pada dasarnya semestinya pernikahan (dengan janji didalamnya) merupakan upacara yang membahagiakan, serta membebaskan, membebaskan kita untuk bisa mengenal secara lebih dalam dan intim orang yang sangat kita kasihi dan mengasihi kita.
Dalam perjalanan sejarah Israel kita melihat bahwa Israel telah gagal dalam menaati janji yang mereka ucapkan. Maka ikat janji Allah dengan Israel menjadi porak poranda; seperti halnya dengan orang yang berselingkuh dalam pernikahan yang mengakibatkan pernikahan menjadi porak poranda; Israel telah berulang kali berselingkuh dengan allah-allah asing. Hal tersebut membuat hubungan ikat janji Allah dengan umat Israel menjadi batal; Israel gagal menjadi umat Allah yang setia, maka Allah tidak lagi memanggil mereka umat-Nya. Dalam kitab Hosea gambaran ini sangat jelas ketika Allah menyuruh Hosea memberi nama anaknya Lo Ami (bukan umat) sebagai perlambang betapa Israel telah diceraikan dari hubungan mereka dengan Allah. Dalam hal ini Taurat sudah tidak lagi menjadi ikatan bagi mereka. Seperti halnya kita tidak akan cemburu dengan seorang perempuan yang pergi dan tidur dengan suaminya; karena jelas dia bukan istri kita. Seseorang tidak perlu setia terhadap orang yang bukan pasangannya (dalam hubungan suami istri). Demikian juga; Allah seperti sudah tidak mempedulikan apakah Israel memandang Taurat dengan serius atau tidak; sejak nabi yang terakhir dalam Perjanjian Lama; Allah sudah tidak mengirimkan kembali nabi bagi bangsa Israel. Allah seperti sudah tidak peduli lagi pada ketaatan Israel tentang Taurat, mengapa??? Karena mereka bukan umat lagi. Namun bangsa Israel mendapati bahwa Allah adalah Allah yang demikian mengasihi mereka; mereka percaya seperti yang dikatakan dalam banyak kitab para nabi bahwa suatu hari Allah akan kembali mengasihi mereka, akan kembali berfirman kepada mereka, akan kembali mengikat janji dengan mereka. Dengan latar cerita sedemikian kita melihat bahwa melakukan hukum Taurat bukanlah urusan terutama tentang penyangkalan diri kelas tinggi; perintah melakukan Taurat berarti Allah kembali mempedulikan mereka, memandang mereka sebagai umat-Nya.
Dalam skema seperti ini coba kita bayangkan apa yang terjadi ketika Tuhan Yesus mengucapkan perumpamaan ini. Berbicara membangun rumah diatas batu; mungkin mereka akan membayangkan sekitar 100 mil dari tempat mereka ada sebuah bangunan megah yang sedang dibangun bukan sekedar diatas batu; namun dibangun didalam sebuah kota yang ada diatas bukit. Itu adalah bait suci Yerusalem; bangunan termegah yang sedang terus dibangun pada waktu itu. Cukup wajar jika orang berpikir bahwa tindakan penyelamatan, tindakan pemulihan, pencurahan belas kasihan Allah akan mengalir dari bait suci Yerusalem. Namun ternyata tidak; dalam blok pengajaran terakhir Injil Matius justru disebutkan bahwa bait suci Yerusalem akan dirobohkan. Yang mengejutkan adalah ketika Tuhan Yesus mengkreditkan pembangunan rumah diatas batu, yaitu orang-orang bijak; bukanlah mereka yang berfokus kepada segala macam urusan bait suci; namun mereka yang melakukan perkataan Tuhan Yesus. Mereka yang berharap suatu hari Tuhan akan kembali berbelas kasihan terhadap mereka kini mendengarkan sebuah tantangan yang membebaskan; adakah mereka mendengar dan melakukan perkataan Yesus.
Dengan kisah sedemikian maka kita melihat bahwa urusan khotbah di bukit (termasuk perikop yang kita baca) tidak semestinya kita pandang sebagai sebuah aturan mengikat yang memberatkan. Benar Yesus berkata tentang melakukan perintah, benar skema pembicaraan-Nya adalah khotbah di bukit, benar kita bisa mengkreditkannya sebagai sebuah hukum. Namun sekali lagi hukum jika dipandang dalam cerita demikian semestinya kita pandang sebagai hukum yang membebaskan. Khotbah di bukit, sangat tepat jika tidak kita sikapi sebagai serentetan peraturan; namun khotbah disini lebih mirip dengan sebuah kabar, kabar yang baik, kabar bahagia. Allah kembali memperhitungkan kita sebagai umatnya sehingga kita kembali dituntut untuk taat kepadanya. Kita boleh menyebutnya sebagai kabar baik (Injil) di bukit. Kabar baik ini memang bukan tanpa peraturan, namun peraturannya tetap berada dalam skema kabar baik.
Coba kita bayangkan seorang anak kecil yang sangat sulit mengikuti perintah orang tuanya; anak ini sulit ketika diperintahkan untuk makan, untuk mandi, singkatnya anak ini sulit sekali mengikuti perintah orang tuanya. Suatu hari anak ini datang dan meminta ayahnya membelikannya sepeda; namun ayahnya menolak; anak tersebut harus menunggu sampai hari ulang tahunnya. Ketika harinya tiba ayah tersebut berkata kepada anaknya, nak lekas makan, lekas mandi, lekas naik ke mobil; papa akan membelikan kami sepeda di toko X. Ketika mendengar perintah tersebut anak tersebut melonjak kegirangan, dia bergegas untuk makan dan mandi dan bersiap ke mobil ayahnya. Perkataan ayahnya benar-benar memiliki unsur perintah (perintah untuk makan, mandi dsb), namun ditelinga si anak, perintah tersebut lebih berupa kabar baik ketimbang peraturan yang menekan. Demikian juga para pembaca Injil Matius ini; mereka mendapati ada perintah untuk melakukan perkataan Yesus, namun hal ini masuk dalam format kabar baik. Perintah Allah untuk mereka berbuat baik adalah sebuah pengumuman penting bahwa Allah kembali mau menjadi Allah mereka, kembali mau memandang mereka sebagai umat-Nya. dengan cara pandang demikian semestinya perbuatan baik kita pandang sebagai satu hal yang sangat membahagiakan, perintah Allah untuk berbuat baik merupakan penanda unik bahwa Allah kembali memandang kita sebagai umat-Nya. seperti cincin yang melingkar di jari manis kita, perbuatan baik menjadi perlambang bahwa kita kini kembali dimiliki sebagai umat kesayangan-Nya.
Sebuah paralel negatif bisa kita lihat dalam Yehezkiel 36:31. Ketika Israel diselamatkan Allah, diampuni dan diberikan hati yang baru; mereka akan menjadi mual akan kelakuan mereka yang berdosa. Sikap sedemikian sedikit asing dalam tradisi Injili kita. Seringkali cara pandang kita adalah bahwa dosa itu fun namun salah. Jadi meski menyenangkan, kita perlu untuk menyangkal diri kita dari dosa. Berbuat baik mungkin tidak enak, namun itu benar; sehingga kita perlu untuk sekali lagi menyangkal diri untuk melakukannya. Kita mengagumi orang yang sangat banyak menyangkal dirinya seperti itu; orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan gereja, orang yang berusaha hidup lurus dsb. Kita tepuk tangan, angkat topi dan memuji mereka dengan satu kata: hebat!!! Hebat karena sukses menyangkali dirinya sendiri. Kita tidak sering memuji orang yang menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dengan kata “hebat”. Berbuat baik identik menyangkal diri; demikian juga menghindarkan diri dari berbuat dosa adalah tindakan yang identik penyangkalan diri. Mungkin banyak dari kita masih bisa bercerita dengan kebanggaan yang besar tentang dosa-dosa yang pernah kita buat, kita masih bisa bangga karena kita dahulu adalah preman yang sangat ditakuti di daerah tertentu; dan kita sekarang menyangkal diri untuk tidak lagi berbuat kekerasan. Namun sekali lagi Injil Matius mengajak kita untuk melihat pengikutan Yesus, perbuatan baik bukan hanya dalam pola penyangkalan diri hebat. Perbuatan baik justru identik dengan kabar baik, perbuatan baik identik dengan orang yang bersenang-senang, sebaliknya perbuatan dosa adalah malu besar. Tidak heran LAI mencatat undangan pembebasan Yesus dari kuk yang berat dalam ajakan Juruselamatnya menyatakan marilah kamu semua yang letih lesu dan beebeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu dan hal tersebut diikuti dengan pikullah kuk yang kupasang… sebab kuk yang Kupasang enak dan beban-Ku ringan. Biarlah kitapun dibentuk Tuhan, mendekati dan mensyukuri keselamatan kita; dengan perbuatan baik sebagai ajakan yang membebaskan dan membahagiakan.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (KK)
Baca: Matius 7:24-27