Kita akan meneruskan pembahasan Kitab Kisah Para Rasul; hari ini kita akan membahas Kis. 2:41-47, tapi sebelumnya saya ingin mengingatkan akan pembahasan yang kemarin, dari ayat 37-40.
Pada bagian terakhir kemarin, kita sudah melihat bahwa orang-orang yang mendengar khotbah Petrus di Bait Suci pada Hari Pentakosta itu, berespons; respons mereka adalah dukacita, hati mereka tersayat, tertusuk, sakit hati. Ini respons yang normal kalau kita ingat apa yang mereka kerjakan sebelumnya, yaitu mereka mendukung pembunuhan Yesus; seperti halnya kamu begitu berkomitmen pada suatu gerakan, pada suatu keputusan bersama –dalam hal ini menganggap seseorang sebagai musuh bersama yang mengancam kehidupan orang Israel– dan kamu membunuh dia, yang dalam hal ini membunuh Yesus. Mungkin bukan dengan pisau yang diayunkan ke tubuh Yesus, tapi dengan persetujuan, pilihan (vote) kamu; kamu membuat dunia ini bergerak sedikit lebih ke kanan atau sedikit lebih ke kiri, sedikit lebih maju atau sedikit lebih mundur, dengan vote (pilihan) kamu, dengan suara kamu yang kecil itu, yang mengatakan, “Salibkan Dia!” Di antara mereka, saya kira cukup banyak orang yang hadir sewaktu Yesus disidang, sewaktu Pontius Pilatus mengatakan, “Tidak ada kesalahan apapun kudapati pada Orang ini yang pantas untuk hukuman mati”, tetapi kamu bersama-sama dengan tua-tua Israel berteriak, “Salibkan Dia!” Dan ketika Pilatus, orang kafir itu menawarkan solusi/kompromi yang kedua: “Walaupun aku tidak mendapati alasan legal untuk menghukum mati Orang ini, namun katakanlah kamu benar dengan teriakmu itu, okelah Orang ini bersalah, okelah Orang ini dihukum mati, tapi ‘kan ada tradisi pada tiap-tiap Hari Paskah kamu bermurah hati melepaskan satu orang dari hukuman mati. Di sini ada Yesus Barabas, ada Yesus dari Nazaret; Yesus dari Barabas sudah terbukti membunuh banyak orang, Yesus dari Nazaret tidak terbukti apa-apa. Jadi apa katamu?” Mereka berteriak-teriak lagi, “Lepaskan Yesus Barabas, salibkan Yesus dari Nazaret!”
Mereka melakukannya dengan sengaja, mereka melakukannya karena mencintai Tuhan, mereka melakukannya karena hati mereka berkobar-kobar demi Tuhan, terbakar karena cinta kepada Tuhan, maka mereka menganggap Manusia Yesus dari Nazaret harus mati demi menyelamatkan seluruh Israel. “Lebih baik satu orang mati,” kata Kayafas, “dan seluruh umat boleh dilepaskan dari bencana pemusnahan berhubung Romawi menganggap kita berbahaya, oleh sebab Yesus ini sepertinya ingin mendirikan Kerajaan Israel, sementara tidak boleh ada kerajaan dalam kerajaan.” Tidak boleh ada kerajaan dalam Kekaisaran Romawi yang kamu lebih setia kepada raja tersebut dibandingkan Kaisar; tetapi Yesus ini sepertinya mengobarkan sentimen purba akan pengharapan mesianik, di mana Tuhan sungguh-sungguh menjadi Raja di atas Kaisar. Ini tidak boleh terjadi, bahaya sekali. Itu sebabnya pemimpin Agama Yahudi mengatakan Yesus harus dilenyapkan dengan berbagai cara. Hanya saja ada cara-cara yang lebih beresiko, misalnya kalau terang-terangan menangkap lalu membunuh Yesus pada saat orang banyak berkumpul, itu riskan sekali, karena kelompok radikalis ini pendukungnya banyak sekali. Mereka pun jadinya menangkap Yesus malam-malam, menyidang Dia secara rahasia, mengajukan saksi-saksi untuk meneguhkan bahwa Yesus memang bersalah menghujat Bait Suci dan agama mereka, dan terakhirnya mereka melimpahkan darah-Nya supaya di-administrasi-kan oleh orang Romawi, orang tidak bersunat –pekerjaan kotor, biar orang yang bukan kita, yang melakukan. Mereka pakai tangan orang lain, dalam hal ini Pontius Pilatus.
Pilatus tentu tahu itu. Pilatus bukan anak kemarin sore dalam politik, dia tahu, “Urusan agama begini, tidak usah pakai tangan Romawi, tidak usah suruh saya, kamu urus sendiri.” Tapi Pilatus didesak dari berbagai sisi, sampai pada satu titik mereka mengatakan, “Kalau begitu kamu bukan kawan Kaisar” –sebuah ancaman bahwa kami bisa mengadukan kamu kepada kepada Kaisar– dan Pilatus menyerah. Dia mencuci tangannya, “Ya sudah, saya tidak bersalah, lho; saya tahu ini pembunuhan ekstra-yudisial, saya tahu tidak ada pasal apapun yang membenarkan Yesus di-eksekusi. Saya tidak bersalah, biar kamu yang menanggungnya.” Dan, mereka berteriak-teriak, “Biar kami dan anak-anak kami!” kalimat yang nantinya bergema juga, “Bagi engkau dan anak-anakmu janji itu”.
“Bagi kami dan anak-anak kami kiranya darah Orang itu tertumpah atas kami; kamilah yang menanggungnya!” Ketika mereka mengatakan itu, saya kira mereka mengatakannya dengan kesadaran agamawi yang sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh atas cinta kepada Tuhan, atas komitmen kepada kebenaran, mereka membunuh Yesus, sebab mereka sungguh-sungguh yakin Yesus memang berbahaya bagi Agama Yahudi. Tidak sembarangan lho, orang membunuh orang lain meski pakai tangan orang lain, pasti ada alasan yang mereka lihat betul-betul bahwa Yesus ini harus dilenyapkan, dengan segala keprihatinan. Mereka bukan happy-happy membunuh Yesus, namun ini sesuatu yang perlu dilakukan. Kalau tidak perlu, tidak genting, tidak penting betul, tapi cuma karena happy-happy, cuma karena iseng, tidak mungkinlah membunuh orang sekaliber Yesus, karena riskan sekali tindakan politis ini. Para tua-tua Yahudi tahu, “Kalau kita tidak melenyapkan Yesus, lama-lama Romawi akan melenyapkan kita. Romawi akan mendetekasi ada bahaya makar di antara orang-orang Yahudi, dan kita akan digiling habis oleh mesin perang Romawi. Jadi kita harus melenyapkan Yesus. Pilihan yang berat, pahit, tapi hal yang perlu; salibkan Dia.”
Namun Petrus berhasil meyakinkan mereka di Hari Pentakosta itu, bukan hanya dengan kata-kata tapi dengan tanda-tanda ajaib yang mereka dengar sendiri. Dengan kuping mereka, mereka mendengar karya Allah, yang untuk pertama kali diberitakan dalam bahasa ibu mereka. Mukjizat Pentakosta adalah mendengar kabar mengenai karya Allah yang agung, khususnya karya penyelamatan Allah atas mereka, tapi untuk pertama kalinyalah dalam bahasa ibu mereka. Mereka mendengar untuk pertama kalinya, seolah-olah ibu mereka yang berkisah soal tindakan penyelamatan Allah –tapi kali ini di dalam Yesus. Di situ kemudian Petrus menjelaskan bahwa itu bukan karena orang-orang tersebut mabuk, melainkan bahwa ini semua terjadi karena nubuatan yang sudah Allah beritakan ratusan tahun sebelumnya melalui Nabi Yoel digenapi, nubuatan melalui Mazmur yang dibikin oleh Daud juga digenapi –digenapi di dalam Yesus. Petrus merangkai semua itu dalam argumennya sampai sangat meyakinkan –dan mereka percaya. Ini elemen pertama, mereka percaya akan berita Injil itu. Lalu apa konskwensinya?
Konsekwensi mereka percaya adalah mereka sakit hati, mereka tertusuk, tersayat hatinya. Ketika kita percaya, apa yang kita alami? Waktu kita di gereja, atau mendengar Podcast, atau menonton YouTube, atau apapun lainnya, dan kita tersentuh –atau merasa tersentuh oleh Roh Kudus– mungkin kita mengalami yang tidak sama dengan mereka, yaitu ini: “Saya mendapati diri saya selama ini benar; yang saya anggap benar selama ini, ya, memang sudah benar, baik-baik saja, diri saya ini ternyata benar, lho, dan di-afirmasi.” Mungkin selama ini Saudara menganggap, “Selama ini saya berjumpa dengan orang-orang yang tidak meng-afirmasi saya, yang membuat saya meragukan diri sendiri; saya rasa bukan saya yang salah, dia yang salah, tapi koq dari perkataan dia sepertinya saya yang salah”, lalu kemudian waktu mendengar yang Saudara anggap kabar Injil yang menyentuh hati itu, Saudara lalu mengalami, “O, ternyata saya benar koq, selama ini, saya baik-baik saja, tidak ada yang salah dengan saya”, dan Saudara menganggap itu sebagai ‘saya disentuh oleh Tuhan, ini pekerjaan Tuhan, terpujilah Allah’. Bisa jadi demikian. Namun ketika murid-murid yang pertama dari kalangan orang Yahudi ini, 3000 orang ini, mendengarkan khotbah Petrus hari itu, mereka mengalami yang sebaliknya. Mereka mengalami ini: “Ternyata selama ini kita salah. Yang kita anggap mencintai Tuhan ternyata membunuh Tuhan, yang kita anggap menyelamatkan agama kita ternyata melindungi berhala kita; berhala kita adalah penyembahan Allah di Bait Suci Yerusalem. Apa yang salah dengan itu?? Bukankah Musa menyuruh itu, dan kita melakukannya persis seperti Hukum Musa —menurut kita?” Namun Petrus, dengan didukung peristiwa yang terjadi di Hari Pentakosta itu, dan juga kesaksian Roh Kudus di dalam batin mereka –sebagaimana dikatakan Calvin bahwa kesaksian Roh Kudus di dalam batin itu penting– meyakinkan mereka bahwa mereka salah. “Celaka kita, kita salah!” –hati mereka tersayat.
Waktu hati tersayat, bisa ada dua kemungkinan tindakan sebagai follow up-nya. Tindakan yang pertama, seperti 3000 orang ini, mereka bertanya kepada Petrus, “Jadi kami harus bagaimana ini?” Atau tindakan yang kedua, yaitu kerumunan orang-orang yang melempari Stefanus dengan batu sampai mati; hati mereka juga tersayat, lalu mereka menutup telinga mereka, tidak mau mendengar perkataan kesaksian Stefanus akan datangnya Kerajaan Allah –yang membuat mereka makin tersayat hatinya– dan mereka melempari Stefanus sampai mati. Namun orang-orang dalam Kisah Para Rasul 2 ini tidak demikian, mereka hatinya tersayat, dan mereka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?” Petrus lalu berkata, “Bertobatlah” —as easy as that. “Bertobatlah, berbaliklah dari jalanmu yang lama, dan berilah dirimu dibaptis. Bagimulah janji itu dan bagi anak-anakmu” –janji akan datangnya Kerajaan Allah. Mereka kemudian berbalik, mereka bertobat.
Mereka bertobat, berarti mereka tidak lagi menganggap proyek “mendirikan Kerajaan Allah di Bait Suci Yerusalem” adalah sepenting itu sampai harus membunuh Yesus; dan bahkan tindakan tersebut sebetulnya melawan Tuhan. Mereka bertobat, mereka sekarang mangakui itu. Bertobat berarti menyampahkan apa yang dulu mereka anggap mulia sekali –sebagaimana Paulus katakan. Paulus mengatakan dalam Surat Korintus, “Kalau mereka menyombong, saya juga bisa menyombong. Saya ini orang Benyamin asli, orang Israel, disunat pada hari ke-8. Saya ini dalam menjalankan Taurat tidak bercela. Dalam hal tradisi, saya paling setia membela Taurat. Tapi sekarang saya menganggap semua itu tahi” –kata yang keras dipakai Paulus dalam bahasa Yunani –kenapa? “Karena saya menemukan Yesus –atau lebih tepatnya ditemukan oleh Yesus– dan sekarang saya mengenal Yesus dan kuasa kebangkitan-Nya. Itulah segalanya, itulah arti hidup saya sekarang”, demikian kata Paulus. Inilah namanya bertobat, repent.
Kita tahu, Paulus juga memberi diri dibaptis. Tiga ribu orang ini juga memberi diri mereka dibaptis. Jadi, bukan cuma secara privat/individual mereka berubah arah hidup, tapi mereka mendeklarasikannya di depan semua orang. Mereka bukan dibaptis secara rahasia. Mereka dibaptis di hadapan umum, dan semua orang lihat. Dengan demikian, orang Yahudi yang memusuhi Kristen, sekarang memusuhi mereka; orang Yahudi yang menganggap Yesus musuh negara, sekarang melihat, “Lho koq, orang sejenis Yesus jadi tidak cuma satu; kita matikan satu, tumbuh 3000.” Mereka menyadari “penyakit” Yesus menyebar seperti TBC, seperti Covid, cepat sekali menyebarnya. Pada hari itu ada 3000 orang secara publik mengaku bahwa Kerajaan Allah memang datang di dalam Yesus, memang Yesus adalah Kristus (Mesias), dan mereka memberikan public statement dengan memberi diri dibaptis “dalam Nama Yesus”. Dibaptis bukanlah hal yang istimewa-istimewa banget karena semua orang Yahudi juga dibaptis, dalam arti secara ritual menyucikan diri dari berbagai hal yang membuat mereka tidak layak menghadap Tuhan. Itu sebabnya waktu Yohanes membaptis orang, itu normal saja, bukan penemuan baru. Tapi masalahnya, dibaptis dalam nama siapa, ini yang penting. Mereka dibaptis dalam nama Yesus; lalu Petrus mengatakan, “Sekarang, bagi kamu dan bagi anak-anakmu … .”
Dulu mereka sendiri bilang, “Biarlah darah Orang ini, murka Tuhan, tertumpah atas kami kalau kami salah, “ lalu setelah mendengar khotbah Petrus, mereka bilang, “Celaka, memang kita telah membunuh Putra Tuhan, kita telah membunuh Mesias yang kita tunggu-tunggu –karena Dia tidak mengambil rupa seperti yang kami suka, bukan seperti jendral perang yang gagah– celaka kami; lalu bagaimana?” Petrus mengatakan, “Beri dirimu dibaptis, maka sekarang bagi kamu dan bagi anak-anakmu janji Tuhan itu, warisan Tuhan itu, yang ada di dalam Mesias.”
Hari ini kita juga akan membaptis beberapa kawan kita dan anak-anak mereka, dan kita perlu mendoakan mereka. Baptisan yang kita lakukan adalah Baptisan Anak (Paedobaptism). Dalam hal ini kita tahu ada alternatifnya, sebagaimana Gereja-gereja Baptis dsb. yang melakukan Credobaptism. Credobaptism didasarkan pada creed (pengakuan) dari orang yang dibaptis; sedangkan Paedobaptism, baptisan yang dilakukan pada anak-anak kecil –lebih tepatnya pada bayi atau “anak umur 8 hari” seperti Israel– dasarnya bukan creed-based, melainkan gene-based atau family-based. Kata ‘gene’ merupakan dasar dari istilah ‘genealogy’ (silsilah); kita membaptis berdasarkan silsilah, dalam arti “bayi ini anaknya siapa, lahir dalam keluarga siapa”. Ini mirip seperti praktik “sunat” dalam tubuh umat Tuhan yang lama; sunat juga bukan creed-based tapi gene-based, dalam arti “kamu itu termasuk dalam rumahnya siapa” (orang-orang dalam rumah Abraham disunat –yang laki-laki). Mengapa? Karena kovenan; karena, “Janji itu adalah bagi kamu dan bagi anak-anakmu. “ Petrus menegaskan itu, bahwa kamu dibaptis, dan janji itu adalah bagi kamu dan anak-anakmu. Jadi, Baptisan Anak ada dasar Alkitabnya.
Lalu dalam ayat 41-47, kita melihat sebuah praktik yang kita ingin cepat-cepat lewatkan; kenapa? Karena kita orang Indonesia; dan di Indonesia ini masih berlaku TAP MPRS sekian yang tidak boleh mengajarkan Marxisme dan dialektika materialisme, Leninisme, Maoisme –dan kita khawatir bagian ini terlihat seperti komunisme lalu kita skip. Namun saya kira itu anakronistik, itu tidak tepat secara sejarah; kalau kita mengatakan ini komunisme, ya terbalik, karena Karl Marz lahir abad ke-19, dia tulis The Communist Manifesto tahun 1848 bersama dengan Engels, yang tentunya jauh setelah Lukas menulis ini di abad-abad pertama. Mungkin saja orang Komunis punya praktik yang mirip dengan ini, tapi kalau dikatakan ini komunis tentu salah. Dalam hal ini mungkin lebih tepat kalau istilahnya sosialisme. Ada beda antara sosialisme dan komunisme, sosialisme adalah regulasi tersentral pada modus-modus produksi (seperti negara-negara Skandinavia, Perancis, Jerman), sementara komunisme tersentral pada modus-modus produksi dan konsumsi (seperti Uni Soviet, Korea Utara, Kuba, negara-negara satelit Uni Soviet dalam zaman perang dingin). Di Indonesia, sistem koperasi kita pelajari dari negara-negara Skandinavia, dan koperasi tentu mempraktikkan sociare dalam arti to shared atau combine resources, kita berbagi dalam kehidupan masyarakat. Jadi dalam hal ini saya pikir sosialisme itu no big deal, itu perdebatan teori ekonomi, tidak ada urusannya dengan political ideology yang berbahaya.
Kembali ke pembahasan kita, ini adalah primitive socialism, yang berakar bukan kepada para pemikir sosialis abad 19, para utopis seperti Robert Owen, atau orang-orang seperti Saint-Simon, melainkan berakar pada Taurat, khususnya pada perintah mengenai Sabat, perintah mengenai tahun-tahun Yobel, dan perintah mengenai bagaimana harus berlaku terhadap orang-orang asing, yang lemah, yang tidak punya tanah, misalnya sebagaimana diatur dalam Keluaran 16:12-21 dan 23:10-13. Ini adalah sejenis shared-economy atau shared-life, yang saya kira memang seharusnya umat Tuhan mempraktikkan dan seharusnya Bait Suci menjadi tempat meng-administrasi-kannya. Tetapi Bait Suci pada zaman Yesus ternyata menjadi tempat di mana yang paling lemah justru diekspoitasi, diabaikan, diinjak-injak, atau sekalian dihisap; penguasa Bait Suci berselingkuh dengan penguasa di Kaisarea, mereka menjadi antek-antek Romawi, demikian kira-kira gambaran Lukas. Dalam hal ini, yang dikerjakan Roh Tuhan dalam datangnya Kerajaan Allah adalah mengembalikan, merenovasi umat Tuhan, sehingga mereka melakukan yang seharusnya mereka lakukan dan selama ini tidak pernah mereka lakukan. Musa memerintahkan itu kepada orang-orang Israel, tapi pernahkan orang Israel melakukannya?? Musa memerintahkan supaya mereka menerapkan Sabat; dan dalam Sabat terjadi apa?
Kita akan coba melihatnya, supaya kita mengerti dan jangan lagi membandingkan Kisah Para Rasul 2:41-47 dengan Communist Manifesto-nya Engels dan Marx, tapi baiklah kita bandingkan dengan yang lebih tepat, Keluaran 16:12-21. Ayat 12: “Aku telah mendengar sungut-sungut orang Israel; katakanlah kepada mereka: Pada waktu senja kamu akan makan daging dan pada waktu pagi kamu akan kenyang makan roti; maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, Allahmu” –makan daging, yaitu burung puyuh datang; roti adalah manna. Dinamai “manna” karena artinya “ini apa?” –perkataan mereka ketika melihat manna; mereka tidak tahu ini apa, tidak penting untuk mengerti sepenuhnya ini apa, tapi itu mengenyangkan, itu adalah roti yang diberikan Tuhan kepadamu menjadi makananmu. Ayat 16-17: “Beginilah perintah TUHAN: Pungutlah itu, tiap-tiap orang menurut keperluannya; masing-masing kamu boleh mengambil untuk seisi kemahnya, segomer seorang, menurut jumlah jiwa.” Demikianlah diperbuat orang Israel; mereka mengumpulkan, ada yang banyak, ada yang sedikit —yang rajin, yang kuat, yang anaknya banyak, mengumpulkan banyak. Ayat 18a: Ketika mereka menakarnya dengan gomer, maka orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. Sama rata atau tidak? Tidak. Jadi saya kira “sama rata sama rasa” itu distorsi dalam pemahaman sosialisme; tidak pernah ada doktrin seperti itu, bahkan dalam sosialisme. Ayat 18b: Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya. Jadi prinsipnya, dari tiap orang seturut kemampuan, bagi tiap orang seturut keperluan; dan ini berakar pada Perjanjian Lama (kalau Saudara tertarik, Saudara bisa membaca tulisan-tulisan Erich Fromm, seorang pemikir dari Frankfurt School, dalam dia membahas mengenai sisi-sisi humanis dari gerakan kiri; dan Saudara bisa memahami akar-akar Yudaisme dalam gerakan sosialisme yang ada di dunia ini).
Selanjutnya Musa mengatakan, “Tidak boleh ya, ditinggal sampai pagi” (ayat 19). Mereka tidak mendengarkan Musa. Mereka kumpulkan banyak-banyak, lalu tidak dimakan, ditumpuk sampai pagi, entah apa rencana mereka. Lalu terjadi apa? Berulat dan berbau busuk. Musa menjadi marah kepada mereka. Pada hari yang keenam, mereka mengumpulkan dua kali lipat banyaknya, dua gomer untuk tiap orang; kenapa? Karena besoknya adalah Hari Sabat, hari perhentian bagi Tuhan, mereka tidak boleh bekerja; dan yang ditinggalkan sampai besok itu tidak berulat, mereka bisa makan. Ayat 25-29 kata Musa, “Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk TUHAN, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang. Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari itu.” Tetapi ketika pada hari ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya. Sebab itu TUHAN berfirman kepada Musa: “Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintah-Ku dan hukum-Ku? Perhatikanlah, TUHAN telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari … “. Jadi ngapain pada hari ketujuh mereka masih mau memungut lagi?? Hari keenam sudah dapat double portion, lalu hari ketujuh masih mau pungut lagi; itu kenapa?? Jawabannya simpel: karena keserakahan (greed). Greed is not good, demikian di dalam Taurat. Dan kenapa Tuhan memberikannya demikian? Sebab hari ketujuh didedikasikan untuk mereka beristirahat.
Di dalam pasal 23, Saudara akan melihat ketetapan yang lain; dan ini digenapi dalam praktik orang-orang Israel yang baru –maksudnya orang percaya, orang Kristen. Ayat 10-11: “Enam tahun lamanya engkau menabur di tanahmu dan mengumpulkan hasilnya –di bagian tadi enam hari, sekarang enam tahun–, tetapi pada tahun ketujuh haruslah engkau membiarkannya —sebagaimana hari ketujuh engkau membiarkannya– dan meninggalkannya begitu saja, supaya orang miskin di antara bangsamu dapat makan, dan apa yang ditinggalkan mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan. Demikian juga kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu.” Jadi, ada yang tidak punya tanah, tidak punya means of production di tengah-tengah mereka, dan mereka ini perlu makan juga; mereka bisa mengemis dengan membantai harga diri mereka, tapi tidak harus begitu, karena mereka punya hak juga. Hak mereka adalah: pada tahun ketujuhorang miskin di antara bangsamu dapat makan dengan menggarap lahanmu, atau memungut sisa-sisa panenmu.Dan, ketika mereka sudah selesai makan, mereka masih meninggalkan sesuatu –menandai bahwa Tuhan memberi dengan berlimpah-limpah– untuk dimakan siapa? Bukan manusia, tapi untuk dimakan binatang hutan! Buat kita, binatang hutan mungkin tidak ada artinya, perifer, tapi Tuhan mencintai mereka.
Ayat 12: “Enam harilah lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, tetapi pada hari ketujuh haruslah engkau berhenti …”. Ini menarik, bagi kita orang modern, yang enam hari itu kita harus bekerja, hari ketujuh boleh beristirahat –boleh juga sih, kerja, namanya workaholic, sedikit dicengirin tapi dikagumi juga– supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja dan supaya anak budakmu perempuan dan orang asing melepaskan lelah; tapi dalam ketetapan Musa adalah kebalikannya, enam hari kamu boleh bekerja (you may work), karena bekerja bukanlah perbudakan, mereka bekerja bukan sebagai budak. Itu sebabnya orang Kristen diberi perintah oleh Paulus: “Bekerjalah bukan di hadapan tuanmu saja, bukan untuk menyenangkan mereka, bekerjalah seperti untuk Tuhan; dan tuanmu itu fellow, yang kau kasihi, yang engkau tidak layani secara kurang karena dia sesama orang percaya melainkan bahkan lebih, sebagai saudaramu yang kekasih.” Artinya apa? Bahwa pekerjaan tidaklah menjadi tuan, lalu kita hamba; pekerjaan adalah menjadi keleluasaan, kegembiraan —you may. Seperti juga dikatakan Helmut Thielicke, seoramg theolog Lutheran-Evangelical di dalam masa-masa pemerintahan Hitler dan sesudahnya, bahwa kehidupan Kristen tidaklah berada di bawah bayang-bayang belenggu “keharusan” –harus begini, harus begitu– tapi di bawah daya tarik magnet “engkau bisa, engkau boleh, engkau silakan melakukan”. Jadi, “you may work”, itu adalah kemerdekaan, kegembiraan kita. Dan, pada hari ketujuh engkau harus berhenti (you must stop). Bukan supaya kamu bisa happy-happy, menikmati hasil kerjamu, memancing di atas yacht kamu itu, tetapi “supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja”; bahkan bukan supaya pekerja-pekerjamu –mesin produksimu itu–tidak mogok, tidak protes, tidak menuntut kenaikan upah, tapi supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja. Baru kemudian, “supaya anak budakmu —bukan cuma budak tapi anak budakmu– perempuan dan orang asing melepaskan lelah.” Jadi bukan cuma supaya mereka tidak protes, tapi supaya hidupmu itu manusiawi, supaya engkau menjadi umat-Ku dan Aku Allahmu.
Ayat 13: “Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu haruslah kamu berawas-awas; nama allah lain janganlah kamu panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu.” Tadi dikatakan, “supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja dan supaya anak budakmu perempuan dan orang asing melepaskan lelah”, dan ayat 13 ini menjadi petunjuk tujuannya supaya apa. Bukan supaya perusahaan makin efisien, bukan supaya perusahaan tidak hancur karena overheat, tapi supaya “nama allah lain janganlah kamu panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu.”Apa relevansi ayat ini? Ngapain ayat ini ditempel di sini, apa Musa pikun dan ngelatur? Bukan. Tapi karena keserakahan (greed) adalah idolatery. Keserakahan itu pada akhirnya membuat kita tertindas oleh kesuksesan dan kebanggaan kita sendiri, kita tidak bisa berkata “tidak” untuk “lebih”, dan kita membaptisnya dengan anggapan Tuhan menghendakinya. Ya, ya, tuhanmu mungkin menghendakinya, tapi tuhanmu bukan Tuhan. Berhalamu menghendakinya, karena kamu tiada arti bagi berhalamu. Tapi Tuhan kita adalah Tuhan yang memanggil kita keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, untuk menghidupi hidup sebagai umat yang merdeka –merdeka dari penyembahan berhala.
Berawas-awaslah dengan penyembahan berhala; dan fast forward sekian ribu tahun setelah perintah ini diberikan kepada Musa, orang Israel tidak pernah mematuhinya. Orang Israel sepanjang zaman –baik zaman Hakim-hakim, Saul, Daud, Salomo– melanggarnya berulang kali. Israel itu umat yang gagal di hadapan Tuhan, tapi Tuhan tidak putus asa, Tuhan terus bermimpi kapan Israel ini menaati perintah-Ku, mendengar perkataan-Ku. Dan, Tuhan berjanji bahwa pada akhirnya –setelah Tuhan menghukum mereka habis-habisan dalam pembuangan– suatu hari kelak Aku akan melahirkan mereka kembali, reborn. Isarel, umat yang tegar tengkuk itu, bisa reborn; kapan itu terjadi? Pada Hari Pentakosta itu, ketika mereka mendengar Tuhan berkata-kata ke dalam hati mereka, membujuk hati mereka hingga mereka sampai pada kesadaran “kita salah! kita sudah membunuh Tuhan”, hati mereka tersayat, lalu mereka tanya kepada Petrus, “Jadi bagaimana dong?” Berbaliklah, tinggalkan jalan hidupmu yang lama, tuhanmu yang lama, datanglah kepada Yesus, berikan dirimu dibaptis –dibaptis berarti masuk ke dalam persekutuan dengan Yesus, dalam penderitaan-Nya, dalam kematian-Nya, dalam kebangkitan-Nya –bagi kamu dan bagi anak-anakmu janji itu.
Mereka kemudian menghidupinya. Mereka menerima perkataan Petrus, dibaptis, dan pada hari itu jumlah mereka bertambah 3000 jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Jadi bukan rasul-rasul menghendaki keanggotaan, lalu selesai, “Hore! KK gereja bertambah 3000!” Tadinya menurut angka yang kita hitung dari saksi-saksi kebangkitan ada 500, lalu ada sekian puluh orang sisanya (kira-kira 530 anggota gereja-mula-mula), lalu sekarang bertambah 3000, berarti pertambahannya saja 6 kali lipat, sesuatu yang fenomenal. Pada hari itu, gereja ketambahan sebegitu banyak; dan rasul-rasul tidak sekadar, “Ya sudah, selesai, pokoknya mereka sudah jadi anggota sini, sudah Kristen, tidak lagi anggota sinagoge, jadi sudah lega” –tidak demikian. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, mereka bertekun dalam memecahkan roti, mereka bertekun dalam doa.
Tiga hal ini –dalam pengajaran, persekutuan, doa– adalah hal-hal yang mereka lakukan, sedikit banyak masih dalam liturgi yang lama. Jam doa mereka adalah jam doa yang disesuaikan dengan jam doa orang Yahudi pada umumnya. Ketika mereka bersekutu, selain di rumah masing-masing untuk memecahkan roti, mereka juga bersekutu pada hari-hari raya orang Yahudi, mereka juga bersekutu di sinagoge-sinagoge –karena mereka anggota sinagoge-sinagoge. Jadi, masih ada kontinuasi –dalam hal-hal yang masih bisa dikompromikan– dengan akar mereka. Dikatakan dalam Kis. 2:46, ‘Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah’; inilah buktinya mereka masih mengikuti liturgi tersebut. Tiap hari orang Yahudi berdoa sekian kali; dan mereka mengikuti itu. Tapi mereka juga memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati –sebagai umat Israel yang baru, sebagai umat perjanjian yang baru– sambil memuji Allah.
Ayat 47: ‘Dan mereka disukai semua orang.’ Mereka menarik bagi semua orang, tanpa berusaha untuk menarik, karena kalau orang Kristen jadi orang Kristen, maka orang Kristen menghidupi sesuatu yang dunia ini tidak punya tapi sangat butuh dan sebetulnya sangat kepingin namun karena berkali-kali gagal lalu akhirnya mereka tidak berani percaya dan selalu menganggap, “Ah, kalau kayak begitu, pasti palsulah” –maksudnya tidak ada yang sungguh-sungguh tulus dan baik. Namun orang Kristen sungguh-sungguh tulus dan baik. Beberapa orang yang sinis suka mengatakan, “Lihat tuh, orang-orang di Facebook atau Instagram kalau pajang foto bersama keluarganya, kelihatan bahagia, tapi itu cuma kedok sajalah, aslinya tidak begitu, aslinya penuh air mata; makin tidak bahagia pernikahannya, makin sering dia pajang foto dengan keluarganya!” Di satu sisi mungkin ada benarnya, tapi kalau kita bilang “semuanya”, hampir pasti itu keliru. Kalau kita bikin pernyataan secara logis “semua kambing berkaki empat”, itu dengan gampang dipatahkan lewat menunjukkan satu kambing yang kakinya bukan empat tapi tiga karena cacat dari lahir. Jadi, pernyataan-pernyataan universal baik afirmatif maupun negatif –“semua bla, bla, bla…”–hampir pasti keliru. Orang yang mengatakan, “Semua foto kayak begitu, karena tidak ada-lah keluarga yang bahagia”, itu lebih mewakili orang yang berkomentar ketimbang realitasnya. Realitasnya, tentu saja ada orang-orang yang berbahagia, tentu saja ada orang-orang yang tulus, tentu saja ada orang-orang yang sungguh-sungguh hatinya diisi dengan Tuhan –dan, perkumpulan orang-orang itu menarik. Saya berharap kita sedang menyelenggarakan itu, kita sedang menghidupi itu, karena kita ‘kan pasang merek itu, “Gereja”. Dan saya percaya, kita bisa menjalani itu, menjadi orang-orang yang memuji Allah; dan kita menghadirkan sesuatu yang dunia tidak bisa hadirkan dengan biaya berapapun, dengan kejeniusan berapapun, dengan koneksi berapapun.
Kita tahu, di dunia ini orang rata-rata tidak mampulah beli rumah sendiri, beli kesehatan yang bagus, beli pendidikan yang bagus –lebih banyak yang tidak mampu daripada yang mampu. Tapi orang-orang yang mampu beli, mereka sudah kehabisan akal mau beli apa lagi, sehingga kita tidak perlu kkhawatir untuk berjualan sesuatu, semahal apapun pasti ada yang mau beli, asalkan itu sesuatu yang dibutuhkan. Tapi pertanyaannya, mampu tidak kita menghadirkan? Orang dengan kejeniusannya, koneksinya, kreatifitasnya, bisa menghadirkan restoran yang kemudian ramai dikunjungi –meski ramainya cuma di awal saja–karena pada dasarnya orang mau bayar berapapun untuk pengalaman baru, misalnya pengalaman makan; atau mungkin bagi beberapa orang yang hopefully bukan Kristen, atau mungkin orang-orang ateis, pengalaman badani yang lebih gelap. Tapi faktanya, berapapun resources yang kita punya, kita tidak bisa menghadirkan pengalaman ini: berjalan bersama Tuhan, hidup yang dipenuhi Tuhan, mengalami hati yang penuh dengan ucapan syukur. Kita tidak bisa menghadirkan itu dengan duit, dengan kehebatan berencana/strategi, dengan kepintaran otak, dengan keberanian, atau apapun lainnya; saksinya apa? Dunia ini.
Dunia menghadirkan pengalaman-pengalaman. Kamu pergi ke Dubai, ke Abu Dhabi, ke tempat-tempat di mana orang bisa memiliki/mengalami apapun yang duit bisa beli, tapi setelah semua itu, akhirnya cuma hype doang, kalau sudah mengalami, ya sudah, “cuma gitu doang”. Sedangkan mengalami Tuhan, mengucap syukur yang tidak habis-habis, dipenuhi Tuhan –dan kabar baiknya, “gratis”, sola gratia, karena memang tidak bisa dibeli dengan apapun, Tuhan memberikannya dengan cuma-cuma. Tapi apakah kita dan anak-anak kita menghidupinya? Menghidupi masyarakat Ilahi itu, societas Dei itu, orang-orang yang hatinya dipenuhi oleh Kristus; dan kita bersekutu dengan Kristus, ada unio cum Christo, sehingga kita menjadi masyarakat Allah. Apakah kita menghidupi itu, sementara kita dikenyangkan oleh tubuh dan darah-Nya?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading