Pertanyaan pertama:
Dalam Yohanes 16:33 dikatakan Krisus sudah mengalahkan dunia, tapi Mazmur 50:10-12 mengatakan bahwa bumi dan seisinya, dunia ini, adalah milik Allah. Apabila sudah memiliki dunia, mengapa masih harus mengalahkan dunia? Apakah di Yohanes maksudnya Krisus mengalahkan penguasa jahat atau iblis?
Response:
Istilah dunia dalam Alkitab ada banyak pengertian yang bisa berbeda-beda, bahkan di dalam Perjanjian Baru istilah kosmos bisa ada beberapa nuansa. Ada yang sifat netral, dalam arti kosmos itu mengacu kepada keseluruhan alam semesta ini. Ada juga dalam arti negatif, yang biasanya kita terjemahkan dengan keduniawian misalnya, mewakili segala sesuatu dalam alam semesta ini yang memberontak kepada Tuhan, baik itu roh jahat ataupun manusia; dalam hal ini, waktu kita mengatakan dunia, maksudnya adalah dalam pengertian dunia menjadi perwakilan segala sesuatu yang melawan surga. Kira-kira seperti itu. Jadi Saudara memang bisa mengatakan “dunia ini milik Allah” dalam pengertian netral tadi, bahwa alam semesta dengan segala isinya itu milik Allah.Tapi waktu Saudara mengatakan “Yesus mengalahkan dunia”, maka maksudnya adalah dunia dalam pengertian negatif tadi, segala sesuatu dalam alam semesta ini yang bekerja melawan kerajaan surga, melawan Allah. Jadi ini bukan dua hal yang sama, maka Saudara jangan main benturkan seperti itu, apalagi ini yang satu di PB, satu lagi di PL.
Kita harus mengerti setiap ayat Firman Tuhan dalam konteks yang tepat. Tidak bisa waktu Saudara menemukan kata yang sama, lalu Saudara merasa artinya pasti sama. Apalagi kata yang sama itu kata dalam bahasa Indonesia, sudah pasti bukan sesuai dengan kata bahasa aslinya. Kata bahasa aslinya pun bisa jadi punya pengertian-pengertian yang berbeda. Contohnya istilah ‘ikan’. Kalau kita di Jakarta tanya, “Ikan apa?”, orang akan menjawab ikan gurame atau ikan nila, dsb. Tapi kalau di Manado Saudara tanya, “Ikan apa?”, orang bisa menjawab kangkung, karena ikan di Manado artinya lauk. Bagi orang Betawi, lauk justru istilahnya adalah sayur; jadi di Betawi Saudara bisa tanya, “Sayurnya apa?” dan jawabannya ikan. Inilah bahasa. Bahasa itu tergantung konteks tempat penggunaan masing-masing. Jadi waktu kita meneliti Alkitab, juga sama.
Namun di sini actually saya ingin tarik satu hal yang lebih menarik untuk di-sharing-kan, yaitu kalau Saudara mau lihat ada ketegangan, sebenarnya ketegangannya apa? Ketegangannya ada di Yoh. 16:32-33. Di sini Tuhan Yesus memperingatkan: “Kamu akan dicerai-beraikan, kamu akan menderita penganiayaan”, tapi di tengah-tengah itu Dia mengatakan: “Aku sudah mengalahkan dunia. Aku mengatakan ini semua kepada kamu, supaya kamu punya damai sejahtera dalam Aku.” Saudara, kalau kita warga kerajaan tertentu, dan rajanya sudah menang perang, ekspektasi kita apa? Ekspektasi kita ‘kan damai. Jadi waktu Yesus mengalahkan dunia, Raja kita telah mengalahkan musuh-Nya, maka damai sejahtera yang harusnya masuk dalam kita –dan Yesus mengatakan itu, menang berarti damai. Tapi, dalam ayat yang sama Tuhan Yesus mengatakan kedamaian ini bukan berarti penganiayaan berhenti, bukan berarti tidak akan dicerai-beraikan, justru akan dicerai-beraikan. Ini ketegangan yang riil, Saudara, ketegangannya bukan antara pengertian “dunia” di Mazmur dan “dunia” di Yohanes. Kenapa ini menarik dan saya ingin sharing-kan? Karena satu-satunya cara Saudara bisa menyelesaikan ketegangan ini adalah dengan merelakan konsep kedamaian kita direvisi, di-update oleh Tuhan Yesus, bahwa ternyata bagi Tuhan Yesus damai sejahtera bukan berarti tidak ada penganiayaan. Inilah damai Kristiani. Ini ketegangan yang lebih penting untuk kita bahas.
Kemarin saya iseng nonton ulang film yang sudah 10 tahun lalu, “Interstellar”, film dari Christopher Nolan, salah satu film yang sangat terkenal. Film itu bercerita mengenai bumi terancam, maka manusianya harus cari planet lain dan pindah. Proyek untuk mencari planet lain menjadi rumah baru manusia itu, dinamakan Lazarus Project. Nah, yang menarik, waktu tokoh utamanya mendengar nama itu, Lazarus Project, dia mengatakan, “Kenapa Lu pakai nama itu?” Lalu pemimpin project-nya mengatakan, “Ya, supaya nama ini bisa menginspirasi pengharapan, makanya pakai nama Lazarus”. Si tokoh utama membalas dengan satu kalimat yang saya rasa orang banyak lewatkan, tapi ini kalimat yang penting buat kita; dia mengatakan: “Harapan… kebangkitan… Lu bilang Lazarus itu membawa pengharapan karena Lazarus bangkit dari kematian, tapi Lu lupa satu hal, Lazarus itu harus mati dulu, baru bisa bangkit.” Menarik, ya, karena inilah kita; kita ingin kebangkitan yang tanpa kematian. Kita ingin kemenangan yang damai sejahtera, yang tanpa pergumulan, tanpa kesulitan. Kalau saya harus mati dulu, baru bisa bangkit, itu pengharapan dari mana?? Kalau kita sakit, mengalami kanker dan sebagainya, kita mengatakan, “Damai sejahtera dari mana ini?? Kenapa saya sudah mengenal Tuhan begitu lama, saya masih tetap dirundung kanker? Kenapa saya masih tetap ada kesakitan dalam hidup saya? Ini damai sejahtera dari mana??” Inilah ketegangan, Saudara.
Ini ketegangan yang sedang mau direvisi oleh Yesus Kristus, makanya Tuhan mengatakan, “Kamu akan dicerai-beraikan. Tapi aku mengatakan semua ini supaya kamu beroleh damai sejahtera.” Jadi berarti damai sejahtera Tuhan Yesus itu lain, Saudara. Dan kalau Saudara pikir-pikir lagi, justru inilah pengharapan yang paling sejati; pengharapan yang ada ruang bagi kematian, pengharapan yang ada ruang bagi penderitaan, bagi penganiayaan. Kenapa? Karena kalau Saudara tetap bisa punya pengharapan melampaui kematian, itu berarti kematian pun tidak bisa dan tidak akan jadi kata terakhirnya. Itu sebabnya Paulus mengatakan, “Siapa yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penderitaan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, pedang? Aku yakin, hidup maupun maut tidak bisa memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam kasih Kristus Tuhan kita.”
Kita membaca Paulus mengatakan, “Maut di mana sengatmu, kubur di mana kuasamu?”; dan orang mengatakan kayak begini, itu baru ada kuasa bukan ketika dia terhindar dari maut/kubur, melainkan justru kalau dia telah mengalaminya tapi ternyata maut tidak ngefek. Di situlah Saudara, pengharapan yang sejati. Inilah kemenangan Kristus akan dunia, inilah kedamaian yang Yesus berikan kepada kita. Bukan karena Dia terhindar dari dunia, tapi justru karena Dia datang ke dunia, Dia masuk ke dunia, Dia menerima segala sesuatu yang rusak yang dunia bisa lempar kepada-Nya dengan skala yang paling berat, dan Dia beneran mati; and yet itu pun tidak bisa menghentikan Dia. Itulah artinya benar-benar menang. Melihat itu, baru kita benar-benar merasa damai sejahtera, baru kita merasa damai ini damai yang riil. Damai yang tidak ada penganiayaan, itu kayak Saudara cuma, “Nye.. nye.. nye.. nye… “ ke anjing yang sedang dirantai; begitu rantainya copot, Saudara langsung terbirit-birit. Itu damai palsu, Saudara.
Saya pernah lihat cici saya digigit anjingnya sendiri, dan dia mengelus anjingnya itu dengan moncong si anjing sedang menggigit tangannya dan membuatnya luka; sedangkan saya waktu digigit anjing yang sama, saya lempar anjing itu. Waktu itu anjing saya sakit, saya mau bawa dia ke dokter. Cici saya tidak berani menyetuh anjing itu karena begitu didekati langsung menggeram, anjing sakit memang kayak begitu. Jadi saya bilang, “Oh, saya berani”, dan saya angkat dia, karena ini anjing saya sendiri, mana mungkin dia gigit saya. Tapi ternyata dia gigit saya beneran, dan langsung saya lempar dia! Inilah kedamaian palsu, karena kedamaian seperti ini tidak ada ruang bagi penganiayaan, tidak ada ruang bagi percerai-beraian, tidak ada ruang bagi penderitaan. Namunyang heran, waktu saya ke dalam buru-buru cari obat, begitu saya keluar lagi, saya lihat cici saya dengan tangannya digigit, dia sedang mengelus anjing itu. Inilah keberanian yang sejati, ini damai sejahtera yang sejati, dan itu yang kita dapatkan dalam Kristus.
——————————————————————————————————
Pertanyaan kedua:
Siapakah Melkisedek itu, kenapa dikatakan “raja kebenaran; tidak berbapa dan tidak beribu”? (Ibrani 7:8-10).
Respons:
Saudara, respons saya adalah kita perlu ubah sedikit pertanyaannya, ya; identitas Melkisedek persisnya siapa, itu mungkin bukan hal yang paling penting di sini. Kalau kita datang ke Alkitab, kita harus tanya: tujuan penulis Alkitab dalam bagian itu apa? Ini kunci penafsiran yang bertanggung jawab.
Waktu kita membaca Ibrani 7 membicarakan Melkisedek tidak berbapa, tidak beribu, raja kebenaran, dsb., apakah tujuan penulis Ibrani tersebut adalah untuk membongkar identitas Melkisedek yang misterius? Ini yang Saudara perlu tanya, Saudara perlu kritis terhadap ini. Dan jawabannya sudah pasti kayaknya memang tidak, ya, karena kalau tujuannya untuk membongkar identitas Melkisedek, kita hari ini tidak akan lagi merasa itu misterius. Dengan demikian kita perlu bertanya bukan mengenai siapa identitas Melkisedek dari bagian itu; kita perlu bertanya apa tujuan Alkitab membicarakan Melkisedek dalam bagian itu. Inilah pertanyaan yang tepat. Dan kalau memang bukan tujuannya membongkar siapa Melkisedek, maka Saudara tidak usah cari-cari, itu tidak penting.
Lalu apa tujuan Alkitab membicarakan Melkisedek dalam Ibrani pasal 7 itu? Saudara lihat konteksnya, sebelum pasal 7 mengutip Melkisedek, penulis mengutip 3 kali di pasal 5:6, pasal 5:10, pasal 6:20 yaitu dari Mazmur 110:4,: “Engkau (maksudnya Mesias Israel) adalah imam untuk selama-lamanya menurut peraturan Melkisedek.” Inilah yang dikutip terus-terusan; dan Mazmur 110 itu membicarakan bukan terutama Melkisedek-nya, tapi Mesias Israel, bahwa Mesias Israel itu imam, dan keimamannya lain dengan keimaman Lewi, keimaman Mesias itu kekal selama-lamanya karena ini keimaman yang datang dari garis Melkisedek, bukan Lewi. Nah, berhubung penulis Ibrani percaya Mesias Israel adalah Yesus Kristus, jadi apa maksudnya? Tujuannya adalah membicarakan sesuatu mengenai identitas Mesias, melalui membicarakan Melkisedek. Bukan terbalik, ya. Misalnya waktu saya mengatakan “Pak Tong seperti singa”, adalah bodoh kalau Saudara lalu bertanya singa jenis apa, singa di kebun binatang mana, namanya singanya apa, umur singanya berapa, asal-muasal bapak ibunya dari mana. Itu salah kaprah, Saudara, saya tidak tertarik bicarakan singanya, saya sedang membicarakan Pak Tong menggunakan metafor singa.
Kembali ke bagian ini, Saudara harus punya tujuan yang jelas sesuai dengan apa yang menjadi tujuan Alkitab. Jangan main-main trivia Alkitab, Saudara; hal-hal yang Alkitab ngomong yang misterius, Saudara berkutat, sedangkan tujuan aslinya, Saudara tidak peduli. Ini bukan cara baca Alkitab yang tepat.
Sekarang kembali ke pertanyaannya; jadi apa maksudnya waktu dikatakan Mesias Israel itu imam selama-lamanya menurut garis Melkisedek? Di sini penulis Ibrani lalu melakukan apa yang semua orang Kristen harusnya lakukan ketika bingung dengan satu bagian Alkitab, yaitu membuka bagian Alkitab yang lain untuk bisa memberikan penerangan –Alkitab menafsir Alkitab, demikian kebiasaan orang reformed. Maka, di pasal 7 itu dia mengutip satu-satunya bagian lain dalam Alkitab Perjanjian Lama di mana Melkisedek dibicarakan, yaitu dari Kejadian 14. Lalu, setelah itu penulis Ibrani melanjutkan dengan menganalisa nama Melkisedek. Melki adalah dari kata melek, raja; sedek adalah righteousness; jadi Melkisedek adalah raja kebenaran. Lalu dia lanjutkan, Melkisedek adalah raja salem; salem itu shalom; jadi ini adalah raja kebenaran dan raja damai. Dia itu dobel raja.
Melkisedek itu raja, itu jadi poinnya. Kenapa ini penting? Karena yang jadi poin bagi orang-orang Yahudi adalah: somehow koq raja ini, Melkisedek ini, adalah juga seorang imam. Saudara tahu, dalam bangsa Ibrani pembagian tugas sangat jelas, raja cuma dari suku Yehuda, imam dari suku-suku Lewi, raja bukan imam, imam bukan raja. Saul itu, salah satu dosanya adalah dia coba-coba ambil tugas imam, mempersembahkan korban, tidak tunggu Nabi Samuel. Ini seperti kalau di negara kita, presiden tidak boleh ambil haknya DPR, DPR tidak boleh ambil haknya pengadilan, pengadilan tidak boleh ambil haknya presiden. Pembagian tugasnya jelas. Jadi bagaimana caranya bisa ada raja yang juga sekaligus imam; ini hal yang pertama Saudara.
Berikutnya, penulis melanjutkan di ayat 3, Melkisedek ini bukan cuma raja dan juga imam, Melkisedek ini tidak berbapak-ibu dan juga tidak bersisilah, tidak berawal, tidak berakhir. Membaca ini, kita sering kali pikir, ‘oh, jadi maksudnya karena tidak ada catatan silsilahnya, berarti Melkisedek tidak punya bapak dan tidak punya ibu, dia itu kekal sampai kekal, lalu kita ambil kesimpulan Melkisedek ini adalah pernyataan diri Allah sendiri, Dia adalah Kristofani di Perjalanan Lama, inkarnasi Kristus sebelum Yesus Kristus, kira-kira seperti itu. Dalam hal ini ada beberapa orang Kristen yang mengambil posisi seperti itu; tapi menurut saya kita tidak usah pergi sampai sejauh itu; kenapa? Karena kalau Saudara membaca dengan konteks yang tepat, poinnya adalah waktu Melkisedek itu muncul dalam cerita Abraham, dia dihadirkan sebagai imam dari Allah yang Mahatinggi. Ini kuncinya, keimaman Melkisedek itu tidak harus diberitahu datang dari mana; sedangkan kalau Saudara imam dalam garis Lewi, itu harus diberitahu dari garis siapa Saudara mendapatkan keimamanmu, seakan-akan almamatermu itu dari mana, siapa yang menjamin kredibilitasmu sebagai imam, karena tidak semua orang Lewi boleh jadi imam, harus dari keturunan Harun. Jadi kalau Saudara jadi seorang imam dalam garis keturunan Lewi, silsilahmu itu sangat penting, Saudara membuktikan kredibilitasmu untuk jadi imam, harus ada silsilah. Tapi waktu Melkisedek dihadirkan dalam kisah Abraham, dia dikatakan tidak berbapak, tidak beribu, tidak bersilsilah, hari awalnya ‘gak jelas, hari akhirnya juga ‘gak jelas. Berarti ini keimaman yang levelnya lain. Ini imam yang sah bukan karena turunan dari orangtua. Ini bukan juga keimaman yang bermula dengan kelahiran, atau pun berakhir jabatannya dalam kematian. Itulah poinnya.
Jadi waktu dikatakan Melkisedek itu tidak berbapak, tidak beribu, bukan soal umur Melkisedek yang sedang diusung-usung disini, melainkan jenis atau sifat keimamannya Melkisedek. Contohnya, let’s say ada seorang pendeta baru masuk ke GRII Kelapa Gading, lalu Saudara biasanya berasumsi pasti dia ini lulusan STT. Kita bisa menjamin seseorang jadi pendeta baik karena dia lulusan STT, ada kredibilitasnya –semacam silsilahnya. Tapi kemudian orang mengatakan, dia itu bukan lulusan STT, dia itu kayak Pak Tong, otodidak, belajar sendiri, dan belakangan STT memberikan pengakuan doktor honoris causa. Saudara, kalau orang ngomong kayak begini, kira-kira apa tujuannya? Tujuannya bukan ngomong soal dia tidak punya guru atau tidak punya ini dan itu, tujuannya adalah seperti tujuan penulis Ibrani, bahwa ini levelnya lain.
Levelnya Melkisedek lain dengan level imam Lewi. Itu sebabnya di ayat 8 dan 10 penulis Ibrani kembali menambahkan bahwa keimaman Melkisedek lebih tinggi lagi daripada keimaman Lewi; kenapa? Sekarang kita lihat ceritanya. Suku Lewi adalah suku yang harusnya menerima perpuluhannya Israel, dari sebelas suku Israel. Tapi dalam cerita Melkisedek dengan Abraham, apa yang terjadi? Melkisedek tidak memberi perpuluhan ke Abraham, justru Abraham yang memberi perpuluhan ke Melkisedek. Berarti apa? Di sini penulis Ibrani secara tidak langsung mengatakan, bahwa Lewi yang hari itu masih belum lahir, masih ada di dalam tubuh leluhurnya yaitu Abraham, Lewi lewat Abraham memberikan perpuluhan kepada Melkisedek. Inilah poinnya penulis Ibrani. Keimaman Lewi menerima perpuluhan dari Israel, tapi keimaman Melkisedek menerima perpuluhan dari Lewi. Jadi apa kesimpulannya? Keimaman Melkisedek itu satu, atau beberapa tingkatan, di atas keimaman Lewi; dan Mazmur 10 mengatakan Yesus Kristus adalah imam menurut garis ini. Melkisedek bukan dari garis Lewi. Jadi, poinnya penulis Ibrani mau mengatakan kepada orang Ibrani: orang Ibrani jangan takut kalau Yesus itu dikatakan meruntuhkan Bait Allah, Yesus itu seperti meng-update hukum Taurat dengan mengatakan: “Musa ngomong kayak gini, tapi Aku berkata kepadamu gini”, jangan bingung kalau Yesus mengaku-ngaku sebagai Raja tapi juga sebagai Imam; jangan kaget kalau lihat Kekristenan itu agama yang tidak ada kuilnya, tidak ada imamnya, karena semua anggotanya sekarang dianggap imam, priesthood of all believers. Ini semua adalah hal-hal yang membuat orang Ibrani (orang Yahudi) pada waktu itu gatel, karena dianggap melampaui/kebablasan menerobos batas-batas keimaman yang wajar pada hari itu. Itu sebabnya penulis Ibrani mengatakan, tidak masalah, karena Yesus itu imam menurut garis Melkisedek, bukan menurut garis Lewi, kamu jangan nilai Yesus berdasarkan standarnya Lewi, karena Dia standar keimamannya lain, Dia standar keimaman Melkisedek. Keimaman Yesus berarti selama-lamanya –seperti Melkisedek– bukan tergantung keturunan. Keimaman Yesus bisa digabungkan dengan jabatan raja –seperti Melkisedek. Keimaman Yesus itu lebih tinggi levelnya dibandingkan Lewi –seperti Melkisedek. Inilah tujuan penulis Ibrani. Bukan tertarik membicarakan Melkisedeknya, tapi mau mengangkat Yesus Kristus melalui bicara sedikit mengenai Melkisedek.
Sekarang Saudara sadar ini tujuannya; maka siapa Melkisedek, itu tidak penting. Ini sebabnya kita harus kembali ke Alkitab seperti ini. Saya beberapa kali dalam khotbah menekankan, waktu kita datang ke Alkitab, kita jangan perlakukan Alkitab seperti perlakukan smartphone. Kenapa kita senang dengan smartphone? Karena smartphone bisa untuk banyak tujuan, bisa untuk WA, SMS, internet, senter, untuk merekam suara, menelpon; dan juga sekarang ada app-nya. Bahkan kemampuan smartphone tidak didikte oleh pencipta smartphone, orang bisa tulis app apa saja. Itu sebabnya kita senang dengan smartphone, karena smartphone ini tidak dikunci dengan tujuan awal pencipta smartphone. Alkitab bukan smartphone, jangan perlakukan Alkitab sebagai smartphone. Alkitab ditulis untuk tujuan tertentu –tujuan Alkitab– dan kita tidak bisa sembarangan memakai Alkitab untuk memenuhi tujuan-tujuan kita. Kalau kita benar-benar menjadi orang yang back to the Bible, berarti Saudara harus belajar bukan cuma kembali ke isi Alkitab, tapi juga kepada tujuan Alkitab memberikan isinya.
Saudara tentu tahu banyak orang hari ini menyalahgunakan Alkitab, main comot-comot ayat demi memuaskan keinginan diri. Ambil ayat, copot sana sini, untuk membenarkan kerakusan mereka akan harta; pendeta ambil ayat-ayat sembarangan untuk menyuruh jemaat kasih uang sebanyak-banyaknya kepada mereka. Hal-hal seperti ini Saudara sensitif, Saudara mengatakan, “Tidak bisa kayak begitu, ayat-ayat harus ditafsir dengan tepat, tidak boleh sembarangan diambil untuk memenuhi keinginan manusia berdosa.” Tapi yang kita sayangkan, kita seringkali tidak sadar bahwa ketika kita datang kepada Alkitab, kita juga menggali-gali ayat itu untuk memuaskan keinginantahuan/curiosity kita. Inilah asal-muasal penasiran yang tidak bertanggung jawab. Saudara memang bukan pakai itu untuk merampok jemaat, tapi tetap saja sama saja esensinya, karena Saudara juga tidak bertanya terutama apa yang Alkitab jadikan tujuan. Saudara inginnya Alkitab menjawab tujuanmu, suatu keinginantahuan yang interesting tapi sebenarnya tidak berguna. ‘Siapa Melkisedek ya?’, itu yang banyak orang seneng.
Ini sebabnya saya mengatakan berkali-kali, datang ke Alkitab, harus berani buang tujuanmu. Waktu saya masuk STT saya ditanya oleh Pdt. Ivan Kristiono, “Kamu rasa mau jadi hamba Tuhan yang seperti apa? Ada yang inginnya jadi pengajar, ada yang inginnya menggembala, ada yang inginnya menginjili; kamu mau masuk STT dengan mimpi mau dipakai Tuhan seperti apa?” Saya mengatakan saya maunya kira-kira seperti ini; lalu Pdt. Ivan Kristiono mengatakan kalimat selanjutnya: “Kamu masuk STT harus berani buang mimpimu.” Saudara setuju tidak dengan ini? Karena bagaimana bisa dipakai Tuhan, kalau Saudara masuk STT untuk melayani kehendakmu, bukan untuk melayani kehendak Tuhan. Waktu kita belajar Alkitab juga sama, Saudara perlu berani membuang mimpimu waktu datang ke Alkitab. Itu sebabnya Yesus waktu melihat orang mencari Dia, pertanyaan pertama adalah: apa yang kamu cari? Itu pertanyaan menusuk Saudara, karena pertanyaan ini mengajak kita untuk merefleksikan sikap kita di hadapan Tuhan tepat atau tidak. Saya mencari Dia demi Dia, atau saya mau memanfaatkan Dia untuk mencari sesuatu yang lain. Maka setiap kali kita mau bertanya, coba Saudara tanyakan dulu ini melayani siapa, melayani curiosity saya, atau sesungguhnya ada something else yang memang Alkitab mau saya pelajari dari bagian ini.
Mungkin Saudara merasa Pak Jethro ini sensi banget, sih; Pak Billy juga, tuh, dulu sering banget marahin orang, bilang ‘jangan tanya melayani curiosity’; memangnya kenapa sih?? Saudara, karena pertanyaan-pertanyaan seperti ini membongkar arah hati kita, betapa kita sesungguhnya datang kepada Tuhan bukan untuk melayani kehendak Tuhan tapi melayani kehendak diri. Memang fenomenanya seperti remeh, urusan pertanyaan yang tidak tepat, tapi esensinya adalah Saudara mencari apa yang baik di matamu sendiri dan bukan di mata Allah. Tahukah Saudara, ini dosa siapa? Ini dosa manusia pertama, dosa awal yang melahirkan semua dosa-dosa yang lain. Hawa melihat buah itu baik kelihatannya, menarik di matanya; dan Saudara tahu itu beranak-pinaknya jadi apa?
Itu sebabnya tadi kita ganti pertanyaannya, bukan siapa Melkisedek, melainkan apa tujuan penulis menuliskan mengenai Melkisedek. Itulah yang perlu digali, yang perlu ditanya. Menarik? Mungkin tidak. Saya tidak peduli apa yang Saudara anggap menarik atau tidak, saya peduli apa yang Alkitab anggap penting; dan itu janji saya kepadamu sebagai pengkhotbahmu di tempat ini. Bukan untuk memberikan kepadamu apa yang kau mau, tapi berusaha untuk sebisa mungkin menggali apa yang Tuhan mau diberikan kepadamu. Pertanyaannya, Saudara sebagai orang Kristen, ini cukup bagimu atau tidak? Saya kadang suka mendengar orang mengatakan kepada saya, “Jeth, thank you khotbahnya, ya, anakku bilang pertanyaan dia selama ini terjawab oleh khotbahmu.” Of course, ini sesuatu hal yang baik, Saudara, tapi saya menantang, bagaimana dengan khotbah-khotbah yang lain yang tidak langsung berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaanmu? Saudara tetap ada kehausan untuk mendengarkan, merenungkan, atau Saudara kehilangan interest? Itu tantangannya, Saudara.
——————————————————————————————————
Pertanyaan ketiga:
Apa yang sudah, dan sedang, direncanakan GRII Kelapa Gading dalam bidang mandat budaya?
Response:
Ya, tergantung Saudara yang bertanya ini siapa; saya tidak tahu yang bertanya ini siapa, tapi kalau Saudara adalah jemaat di dalam GRII Kelapa Gading dan bertanya pertanyaan seperti ini, maka saya akan balas tanya, kamu sebagai anggota gereja ini, sebagai bagian dari jemaat Kelapa Gading, apa yang kamu rencanakan dengan mandat budaya dalam hidupmu? Itu jawabannya.
Saudara hati-hati dengan pertanyaan seperti ini, karena nuansa pertanyaannya jadi terlalu memisahkan antara gereja sebagai institusi dan Gereja yang organik, yaitu jemaatnya. Gereja bukanlah gedung, dan juga bukan institusi-institusinya, dan juga bukan staf-staf pastoralnya. Bukalah pintunya, lalu lihat ke dalamnya, Gereja adalah jemaatnya. Jadi kalau Saudara mau tanya apa yang direncanakan GRII Kelapa Gading mengenai ini dan itu, Saudara harus tanya dirimu, apa yang Tuhan berikan jadi tanggung jawabmu sebagai bagian dari Gereja ini. Banyak orang Kristen tanya, kalau Yesus sungguh menjadi Raja atas dunia ini, kenapa masih banyak kekacauan? Ini pertanyaan dan sikap ngawur, karena siapakah tubuh Kristus di dunia ini? Kita, ‘kan? Orang non-Kristen berhak tanya pertanyaan seperti itu, tapi orang Kristen sendiri tidak berhak tanya pertanyaan seperti itu; kenapa? Ya, karena dialah Gereja itu, dialah tangan Tuhan di atas dunia ini ‘kan, mana bisa tanya di mana Tuhan. Kamu itulah tangan Tuhan di atas dunia ini. Kalau tanya seperti itu, jadi seperti Pak Lurah datang ke gedung kelurahan lalu tanya, “Kenapa gedung ini berantakan, di mana lurahnya, kerja apa dia selama ini?” Orang akan pikir, Lurah ini sudah sinting.
Itulah sebabnya dalam menjawab pertanyaan ini saya mau mengkoreksi dulu sikap Saudara, jangan pernah datang ke Gereja dengan sense of entitlement. Saya capek menghadapi jemaat yang datang menuntut pelayanan gereja secara institusional demi dia —gereja selalu kurang cepat berespons, gereja selalu kurang cepat melayani jemaat, gereja kurang cepat melayani persoalannya jemaat, apa yang gereja sudah pikirkan mengenai mandat budaya, dst.– kurang cepat dan ini dan itu. Saya balik tanya, Saudara kalau diminta jadi pengurus koq lama sekali keputusannya, panjang sekali pergumulannya?? Saudara minta gereja melayani kedukaanmu, Saudara perlu tanya dirimu, seberapa cepat kamu mau berespons melayani kedukaan orang lain? Kalau Saudara merasa gereja kurang cepat melayanimu, mungkin itu karena kamu sendiri kurang cepat mau ikut serta dalam pelayanan. Kalau demikian, Saudara bagian dari Gereja atau bukan? Saudara pikir, karena selama ini Saudara bayar persembahan perpuluhan –Saudara kasih iuran– maka Saudara berhak dapat sekarang pelayanan.
Kalimat John F. Kennedy yang paling terkenal: “Jangan tanya apa yang negara bisa lakukan buatmu; tanya apa yang kamu bisa lakukan bagi negara”. Itu kalimat JFK yang paling terkenal, maka berarti orang merasa itu benar. Anehnya, itu kalimat dia berikan dalam konteks negara; dan orang bayar pajak ke negara –bayar pajaknya muaahalll— namun demikian tetap saja sikap bernegara yang beres adalah tidak boleh datang ke negara dengan sense of entitlement. Kalau begitu, apalagi di gereja! Di gereja, bukan kamu yang telah membeli darah Kristus dengan harga yang mahal, kamulah yang telah dibeli dengan darah Kristus yang mahal itu.
Kalau Saudara adalah orang Kristen, bagian dari jemaat di sini, perbaiki sikapmu. Jangan datang ke gereja dengan sikap seperti ini, sekarang dengan sikap yang tepat barulah Saudara bisa mulai melihat mandat budaya yang sedang dikerjakan oleh gereja dan GRII Kelapa Gading. Ketika Saudara mulai melihatnya secara lebih organik, maka berarti pelayanan mandat budaya GRII Kelapa Gading itu bukan cuma acara-acara budaya yang dilakukan oleh institusi gerejawi, melainkan semua tindakan kebudayaan yang dilakukan oleh jemaat organik gereja tersebut.
Saudara, ada satu hal yang sebenarnya spoiler buat retret kita, anyway hal ini sudah muncul di PA juga sebenarnya, sesuatu yang dalam retret nanti kita mau lakukan mirip seperti ini. Seorang penulis buku, Matthew Kaemingk, mengatakan, di gerejanya dulu ada sebuah peta dan tulisannya “God is on the move”, lalu di peta itu ada titik-titik di mana Tuhan on the move, Tuhan itu bergerak. Di mana, Saudara? Yaitu cuma di 4 titik: gedung gereja, dapur umum (dapur buat orang-orang miskin, shelter buat homeless people), semacam food bank, dan panti asuhan. Itu adalah pekerjaan-pekerjaan institusi gereja ‘kan, jadi ada 4 titik. Jadi “God is on the move” itu, di seluruh kota dalam peta besar itu, cuma di 4 titik tersebut.Kaemingk lalu mengusulkan: coba kita ganti sedikit, sekarang kita taruh petanya di depan ruang ibadah, lalu waktu orang masuk ke ruang ibadah, mereka diundang untuk ambil pin, mereka tancapkan di titik dalam peta yang adalah tempat-tempat mereka bekerja, studi, bermain/beraktifitas; dan semua jemaat diundang untuk melakukan hal itu. Ini sedikit spoiler buat kita karena dalam retret nanti kita mungkin mau coba lakukan hal ini, lalu begitu orang datang, dia tancap pin-nya, sampai banyak, dan waktu orang pulang nanti, peta tersebut dibawa ke depan, diperlihatkan, kemudian kita berdoa bersama-sama.
Jadi “God is on the move” di mana? Di semua titik tempat jemaat, bekerja, hidup, main, beraktifitas, berkuliah, studi. Itulah tempat Tuhan is on the move dalam kota ini. Sesederhana itulah pekerjaan mandat budaya, tidak kurang dari itu.
——————————————————————————————————
Pertanyaan keempat:
Apakah yang akan terjadi dalam afterlife? Apakah kami akan merasa bosan jika hidup abadi lebih dari seribu tahun? Dan, apakah tidak adil, karena Tuhan menciptakan kami sehingga kami harus merasakan hidup kekal itu dan tidak ada pilihan lain?
Response:
Ini juga pertanyaan yang sikapnya tidak beres. Saudara merasa seandainya hidup kekal itu membosankan —which is saya tidak percaya itu– maka Saudara berhak mengatakan Tuhan tidak adil karena tidak ada pilihan lain. Padahal Saudara sudah tulis di situ bahwa engkau itu ciptaan Tuhan; lalu tidak adilnya itu di mana? Paulus mengatakan dalam Roma 9, “Siapa kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah; dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya, mengapakah engkau membentuk aku demikian? Apakah tukang periuk tidak punya hak atas tanah liatnya untuk membuat dari gumpal yang sama, suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia, dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” Ini pertanyaan retorik, kita tahu jawabannya adalah tidak ada hak untuk itu.
Misalkan Saudara seorang programmer untuk bikin smart house. Ada program-program yang Saudara bikin untuk membuat ketika orang masuk ke rumahnya, lampu pelan-pelan menyala, musik mulai mengalun, bikin orang masuk merasa “wow”. Ada juga program-program lain yang Saudara buat untuk buang sampah, untuk flush toilet. Lalu apakah Sudara rasa ini tidak adil?? Mana bisa begitu, itu ‘kan ciptaanmu, Saudara berhak penuh atas semua itu. Sama halnya juga dengan Tuhan, kalau Tuhan mau membuatmu bosan ribuan tahun, itu haknya Tuhan. Kalau Tuhan mau menggunakanmu sebagai tempat flush toilet dalam kerajaan-Nya, itu hak Dia. Oleh karena itu, Saudara ada hak apa protes kepada Tuhan?? Jadi bereskan dulu sikapmu, sense of entitlement yang tidak ada dasarnya ini.
Respons saya yang berikutnya, apakah saya rasa hidup kekal itu membosankan? Tidak. Kenapa? Satu fenomena yang saya rasa paling aneh sekaligus keren sewaktu saya masih mengajar di SKC, adalah anak-anak SMA kalau kabur pacaran cari tempat sepi, salah satu tempat yang paling laku adalah tangga darurat. Ini aneh, apa yang menarik di tangga darurat? Koq, bisa tidak bosan di situ, bukankah tangga darurat itu tidak ada apa-apanya? Apa yang bisa bikin tidak bosan di situ? Jawabannya: karena yang menentukan bosan atau tidak bosan itu bukan tempatnya, melainkan Saudara di situ bersama siapa. Kalau Saudara di tempat yang paling bagus dan keren, dan Saudara di situ bersama orang yang paling engkau benci, itu jadi neraka. Sebaliknya, Saudara berada di tempat yang paling membosankan pun, kalau di situ bersama orang yang kau cintai dan yang mencintaimu, itu jadi surga. Jadi di dalam dunia saja sudah melihatnya seperti itu; kalau Saudara dalam dunia ini bertemu dengan orang yang begitu berpengetahuan, begitu cantik, begitu luas hati, begitu baik, dan dia mencintaimu, Saudara juga mencintainya, maka Saudara tidak bosan ‘kan. Di langit dan bumi yang baru itu, Tuhan akan pada akhirnya tinggal dengan kita. Tuhanlah sumber segala pengetahuan, segala keindahan, segala keluasan hati, segala kebaikan, itu semua berpusat pada diri-Nya, dan Dia mencintaimu, dan engkau mencintai Dia, maka ribuan tahun pun tidak akan bosan bersama Dia surga, sebab Tuhan yang seperti ini never cease to amaze. Jadi mungkin pertanyaan yang lebih Saudara harus tanyakan adalah, Saudara ini mengasihi Tuhanmu atau tidak? Itu yang mungkin pertanyaan yang lebih penting. Saudara seberapa aware-nya terhadap kasih Tuhan bagimu? Mungkin itulah problemnya, bukan soal kebosanannya.
——————————————————————————————————
Pertanyaan kelima:
Seberapa penting kita harus mempertahankan suatu tradisi gereja zaman lampau, mengingat generasi saat ini sudah sangat beda dan modern. Kita juga harus perlu peka akan kebutuhan jemat dan tantangan masa kini yang sangat dinamis.
Respons:
Saudara tanya kayak begini, berarti merasa gereja kita tradisional, ya.
Kemarin ini saya bertemu dengan Pendeta Heru waktu dia baru pulang dari Belanda. Kami mengobrol, dan Pak Heru cerita mengenai gereja reformed di Belanda itu kayak apa. Gereja reformed di Belanda tidak pakai lagu hymn kayak kita. Saudara pikir, pakai apa kalau tidak pakai hymn? Musik jedag-jedug? Tidak; mereka pakai Mazmur. Mereka pakai Mazmur, sementara permainan musik hanya minimal; bahkan menyanyi Mazmur-nya pun mazmur-mazmur yang sejujurnya tidak bakal bisa dinikmanti –karena memang tujuannya bermazmur di hadapan Tuhan. Ini menarik. Mereka itu bukan tidak tahu lagu hymn. Biasanya setelah selesai gereja di hari Minggu, keluarga-keluarga berkumpul di rumah, lalu mereka mulai menyanyi lagu hymn. Jadi mereka tahu lagu hymn, mereka hafal, mereka suka menyanyikan itu waktu ngumpul bersama keluarga; tapi di gereja tidak boleh, di gereja mereka menyanyikan Mazmur.
Nah, kadang-kadang gereja yang Pak Heru datangi, lagu terakhirnya untuk mengutus jemaat keluar itu pakai lagu hymn. Lalu apa yang terjadi waktu mereka pakai itu? Ada beberapa jemaat yang walk out, protes. Pak Heru pernah tanya, mereka itu beneran walk out, atau mungkin mau pulang cepat, merasa itu tidak perlu, dsb.; dan orang Belanda yang diajak ngomong bilang, “Pak Heru, di sini tidak ada yang kayak begitu. Orang Belanda datang di gereja sebelum ibadah dimulai, tepat waktu; begitu mulai, sudah tidak ada yang datang lagi. Dan, orang Belanda juga tidak ada yang pulang sebelum waktunya. Mereka disiplin sekali.” Pak Heru sendiri pernah malu sekali karena dia benar-benar yang terakhir datang, dan setelah itu tidak ada lagi yang datang. Jadi di Belanda sampai kayak begitu, Saudara; sampai-sampai kalau nyanyi pakai lagu hymn, orang bisa walk out protes karena harusnya dalam kebaktian pakai Mazmur, hymn adalah untuk di rumah.
Jadi waktu Saudara bertanya kita ini terkesan tradisional, berarti Saudara merasa ada yang tradisional, ada yang progresif. Hati-hati, Saudara, karena apa yang tradisional di kepalamu itu mungkin malah sangat progresif di mata orang lain, dan apa yang Saudara anggap progresif bisa jadi adalah simply tradisi lama, yang kita mungkin tidak kenal lalu tiba-tiba muncul lagi, maka kita pikir ini baru. Seperti misalnya kacamata anak-anak muda yang hitam-hitam itu frame-nya, generasi saya lihat itu ketawa dalam hati, ini ‘kan kacamata generasi emak gua, sedangkan waktu jaman kami maunya yang clear frame-nya, yang frameless, dsb., tapi sekarang model itu muncul lagi. Itulah fashion; fashion selalu mengulang.
Apa yang Saudara anggap baru, progresif, happening, ngetrend, bisa jadi cuma tradisi zaman dulu, maka hati-hati waktu Saudara menempatkan dirimu jadi tolak ukur antara apa yang tradisional dan progresif, karena urusan tradisi-progresif ini relatif, tidak sebegitu mutlaknya. Dan, kalau kita tidak sadar akan hal ini lalu kita memaksakan, memutlakan penggaris tolok ukur kita antara apa yang tradisional dengan apa yang progresif, maka berarti Saudara itulah yang justru sangat tradisionalis. Kenapa? Karena Saudara sedang ngotot sama tradisimu, tradisi menentukan apa yang tradisional dan apa yang progresif –yang juga suatu tradisi. Waktu Saudara tidak keluar dari ini, ya berarti Saudara tradisionalis. Itu sebabnya sebenarnya tidak ada orang yang tidak tradisionalis, karena waktu Saudara mengatakan tradisi yang mana progresif, itu dilihatnya dari sudut pandang tradisi tertentu; Saudara tidak bisa mengatakan sesuatu itu inovatif, kecuali Saudara melihat itu dari backdrop tradisi tertentu. Misalnya, kita mengatakan mobil EV itu progresif, inovasi, adalah karena society kita secara umum tradisinya pakai mobil bahan bakar. Nanti 50 tahun lagi, kalau semua orang sudah pakai mobil EV, orang tidak melihat itu sebagai progresif lagi, orang tidak melihat itu sebagai inovasi lagi. Jangan-jangan zaman itu yang progresif kembali lagi mobil dengan mesin bakar karena misalnya mereka bisa menemukan mesin bakar tertentu yang lebih efisien, lebih green, atau whatever. Apa yang inovatif, itu relatif, itu ditentukan dari mana Saudara memandang. Jadi hati-hati dengan ini.
Namun respons berikutnya, kalau Saudara misalnya memikirkan mengenai tradisi gereja, apa yang tradisional dan apa yang progresif, coba Saudara lihat apa yang sedang happening, yang trending, di antara anak-anak muda Kristen di Eropa belakangan ini. Belakangan ini mulai ada fenomena yang aneh di negara-negara barat yang post- Christian di Eropa, yaitu orang-orang mudanya –dengan jumlah yang tidak sedikit– mulai curious dengan gereja. Mereka mulai mencari gereja. Mereka mulai datang ke gereja. Tidak berhenti di situ, gereja-gereja apa yang ternyata jadi tujuan anak-anak muda ini? Saudara mungkin pikir gereja yang musiknya jedak-jeduk. Tidak, Saudara. Justru anak-anak muda ini mulai banyak yang tertarik kepada gereja-gereja yang ritualistik, Gereja Katolik, Gereja Anglikan, Gereja Eastern Ortodox, dan sebagainya. Ini gereja-gereja yang kita cap tradisional, gereja-gereja yang waktu kita masuk langsung terasa banget ini gereja, dengan atapnya yang tinggi, ruangan gaung, sampai-sampai kita tidak berani ngomong kenceng-kenceng, begitu teduh. Itulah yang populer sekarang, yang orang muda makin bertambah banyak datang ke gereja-gereja seperti itu.
Saudara, waktu saya share ini ke pengurusan kita, salah satu pengurus kita bahkan point out hal yang mirip juga terjadi dalam adat. Banyak anak-anak zaman sekarang di Indonesia malah lebih curious, ingin tahu heritage/warisan budaya mereka, lebih daripada para orangtua mereka. Belum lama ini saya juga melihat artikel yang membahas tren musik di Spotify, bahwa ternyata di Spotify ada semacam gerakan anak-anak muda yang senang mendengarkan musik klasik lewat Spotify; dan jumlah mereka kian bertambah. Inilah zaman kita, ini riil.
Saudara bicara soal kebutuhan jaman, saya jadi mau tanya, apa itu kebutuhan zaman ini, Saudara, kalau ternyata begitu banyak orang –anak-anak muda– yang malah mencarinya ke arah tersebut? Bisa jadi, salah satu kebutuhan di zaman ini justru adalah untuk kembali kepada apa yang seringkali dilihat sebagai tradisional itu. Mungkin itulah kebutuhan zaman sekarang. Saudara pernah coba pikirkan itu? Itu sebabnya salah seorang teolog yang saya sering jadikan acuan, James Smith, mengatakan: “The future of the church is ancient”; hari depan Gereja itu malah Saudara akan temukannya di masa lampau. Kenapa? Karena ini zaman postmodern. Dalam zaman postmodern, segala sesuatu dipertanyakan, segala sesuatu diragukan, maka justru muncul kebutuhan untuk mempunyai akar yang kuat, yang bisa dipegang. Saudara lihat, di zaman postmodern yang semua orang bisa jadi apa saja dan siapa saja, malah ada kebutuhan untuk mencari tahu sebenarnya saya ini terlahir dalam keluarga yang akarnya kayak apa. Dalam kehidupan Gereja mungkin ada hal yang mirip; pada zaman di mana banyak sekali gereja membuang liturgi, malah akhirnya anak-anak muda di Eropa mulai kembali ke gereja-gereja yang liturgical, yang punya high liturgy, karena ternyata ada bolong yang perlu diisi hal itu. Ini situasi riil dalam dunia kita pada hari ini.
Apakah kita harus mempertahankan tradisi? Saya akan katakan tidak harus; khususnya saya akan sangat mengatakan bahwa mempertahankan tradisi for the sake of tradition, itu salah kaprah. Lagipula kita ini Gereja reformasional, Gereja yang semper reformanda, maka sebagai gereja reformasional pasti sedikit banyak akan selalu kritis terhadap tradisi, bahwa tradisi harus senantiasa dilihat lewat kacamata Alkitab, yang alkitabiah kita pertahankan, yang tidak alkitabiah kita buang. Itulah gereja reformasional. Kita tidak mempertahankan tradisi for the sake of mempertahankan tradisi.
Di sisi yang lain, kalau Saudara simply memenuhi kebutuhan zaman sekarang, itu demi apa? Kalau demi ikut-ikutan, demi stay relevant, itu pun sama saja jeleknya. Contohnya, Saudara mau jualan, Saudara bikin brand. Saudara tentunya tahu bahwa brand harus ada identitas sendiri, kalau Saudara cuma ikut-ikutan tok, itu tidak bakal bertahan. Orang bikin MIXUE, dan terkenal, lalu Saudara bikin lagi yang tiruan, BIXUE, DIXUE, CIXUE, atau apalah, ya, tidak bakal bertahan lamalah franchise-franchise tiruan kayak begitu. Itu sebabnya Gereja yang reformasional juga akan kritis terhadap segala jenis angin baru, karena kita tidak mempertahankan tradisi for the sake of tradisi, namun kita juga tidak mau change for the sake of change. Change kita ada arahnya, back to the bible, dan ini yang kita perjuangkan. Kita bukan hidup di masa lampau, tapi kita juga bukan ikut-ikutan trend masa kini. Kita mengikut siapa? Kita mengikut Kristus. Nah, ini easier said than done, of course, ya, tapi ini jalan yang kita pilih sebagai Gereja reformasional.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading