Khotbah hari ini pada dasarnya mencoba menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dan sangat penting, yaitu: apa sebenarnya yang disebut sebagai keselamatan? Saudara mungkin merasa ini hal yang dasar banget dan kita sudah tahu, tapi justru itulah yang seringkali paling mudah untuk kita salah mengerti –karena kita pikir kita sudah tahu. Saya, waktu periode awal menyetir mobil, saya careful sekali, namun banyak kesalahan; sudah berhati-hati pun tetap banyak kesalahan –itu tahun pertama. Di tahun kedua, saya lebih berhati-hati, dan kesalahannya mulai berkurang, mulai lebih terbiasa bawa mobil. Tahun ketiga, mulai lebih nyaman, terbiasa nyetir; dan apa yang terjadi? Yang terjadi adalah careless, dan akhirnya sempat nabrak. Waktu saya dengan malu-malu mengaku kepada orangtua, saya ingat mama saya tidak kaget, dia cuma komentar, “Ya, memang biasanya kalau kita sudah nyaman nyetir, itulah momen kita nabrak”. Ini sama halnya dengan teologi, dengan kerohanian kita. Dari waktu ke waktu, ada perlunya kita revisit hal-hal yang dasar, seperti juga tentang ‘apa itu keselamatan’. Lagipula, kita Ecclesia reformata; kita tidak sekadar reloading hal-hal yang kita sudah tahu sejak dulu, ini mungkin justru kesempatan untuk kita bukan cuma diingatkan dan disegarkan tapi juga diperbarui dan diperdalam –direformasi. Saudara tidak bisa reformasi–Saudara tidak bisa di gereja reformed –kalau Saudara tidak sering-sering back to basic; kalau Saudara tidak pernah back to basic, Saudara tidak pernah direformasi, karena reformasi adalah kembali lagi ke awal, coba membereskan lagi pondasinya, dsb. Jadi ini satu hal yang perlu dilakukan.
Kita mau membicarakan “keselamatan”, dan pendekatannya saya pikir bisa kita mulai dari hal ini: apa fungsi dan tujuan hukum Tuhan dalam keselamatan manusia. Kita akan coba masuk pembahasannya dari sini, karena hari ini banyak orang modern –termasuk banyak dari kita di gereja– punya problem dengan hukum-hukum Tuhan. Kita seringkali punya pemikiran yang terlalu simplistis, terlalu reduktif, terhadap hukum Tuhan. Tentu kita bukan tipe aliran yang maunya cuma spiritualitas dalam arti ‘I am spiritual but not religious’, tidak ada hukum, tidak ada obligasi, tidak ada kewajiban, sekarepe dewek imannya, dsb., tapi sering kali kita jatuh ke ekstrim yang lain, kita masih memperlakukan atau melihat hukum-hukum Tuhan seperti agama-agama dunia melihat hukum Tuhan, dengan berpikir bahwa dalam Kekristenan hukum adalah hal yang utama, bahwa menjaga hukum Tuhan adalah priorotas tertinggi kita, bahwa seluruh keagamaan kita urusannya tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Mungkin Saudara tidak merasa kayak begitu, ‘saya ‘gak merasa jadi orang Farisi yang terlalu fokus pada hukum itu, saya orangnya bahkan mungkin tidak terlalu taat pada hukum’, tetapi lihat, di antara saudara-saudara kalau tanya ke pendeta biasanya pertanyaannya tidak jauh dari urusan tersebut, ‘kalau saya jadi orang Kristen, ini boleh ‘gak sih? itu boleh ‘gak sih?’ –pertanyaannya selalu ujungnya ke sana. Kalau Saudara melihatnya seperti itu, jelas sekali cara Saudara memandang Kekristenan adalah soal boleh dan tidak boleh. Bahkan setelah pembahasan ini pun, mungkin ada yang bilang, “O, begitu ya, Pak; jadi berarti tanya ‘boleh/tidak boleh’ itu ‘gak boleh?” –balik ke situ lagi. Saudara lihat, sering kali bahkan kita tidak ada alternatif melihat Kekristenan itu seperti apa. Kita perlu melihat kepada Alkitab, bagaimana Alkitab mengerti akan tujuan pemberian hukum Tuhan, apa alasan hukum Tuhan diberikan kepada kita –dan kita akan menemukan bahwa ternyata jauh lebih limpah, jauh lebih kompleks, jauh lebih multi-aspek dibandingkan yang selama ini kita pikir. Itu sebabnya saya ingin mulai pembahasannya dari sini; dan itu sebabnya kita bukan akan melihat hukum Tuhan itu sendiri (pasal 20 sampai 24) tapi kita membaca dari Keluaran 19, karena ini prolog-nya, bagian pembukaannya, bagian yang memberitahu kita apa tujuannya hukum-hukum itu diberikan. Kita akan menelusurinya, dan dari situ coba menyimpulkan apa sebenarnya keselamatan orang Kristen.
Ada 3 tujuan yang saya ingin gali dari bagian ini; tapi sebelumnya, kita akan mulai dari hal yang amat sangat mendasar, yaitu apa yang bukan tujuan hukum itu diberikan. Ini hal yang basic, dan kita tetap perlu mulai dari sini. Di ayat 4 dan 5, Saudara coba lihat apa yang primer dan apa yang sekunder, apa yang datang lebih dulu dan apa yang datang berikutnya. Yang lebih dulu adalah: Allah membawa mereka ke atas sayap rajawali dan menyelamatkan mereka –Allah menyelamatkan mereka dulu. Di bagian ini orang Israel ada kontribusi apa terhadap penyelamatan mereka? Tidak ada. Mereka tidak dikatakan “kamu berjuang”, mereka bahkan tidak dikatakan “kamu berjalan keluar dari Mesir” –meskipun kita tahu mereka berjalan keluar pakai kakinya sendiri– yang kita lihat gambarannya adalah mereka dibawa, diangkut keluar. Poinnya apa? Yaitu untuk menyatakan bahwa di dalam penyelamatan ini, mereka tidak ada kontribusi apapun. Ini hal yang pertama, yang primer. Tuhan mengatakan, ‘Aku telah menyelamatkanmu, Aku telah membawamu, Aku telah menerimamu, sekarang taat’. Inilah caranya Alkitab berbicara, ‘Aku menerimamu secara total, oleh karena itu taat’.
Jelas sekali di Alkitab, bahwa modus operandi Tuhan lain sekali dengan dunia; Tuhan tidak memberikan hukum, baru membebaskan orang, tapi Tuhan membebaskan orang terlebih dulu, baru Ia memberikan hukum kepada mereka. Saudara lihat sejak awal, apapun tujuan hukum Tuhan itu, yang pasti bukan untuk menyelamatkanmu. Tujuan hukum Tuhan bukan untuk membawamu ke surga –atau apapun yang mirip seperti itu. Tujuan diberikannya hukum Tuhan, tidak pernah untuk membuat Tuhan jadi mengasihimu; tujuan diberikannya hukum Tuhan, tidak pernah untuk membuat Tuhan jadi memberkatimu. Seluruh agama dunia dan arah hati manusia –termasuk kita di ruangan ini– selalu bicaranya lain; kita selalu mengatakan ‘taat dulu, hidup baik dulu, baru kita bisa diterima dan diberkati’. Inilah sebabnya kita selalu tanyanya ‘ini boleh ‘gak, itu boleh ‘gak’, dsb., karena kita pikir begitulah jalannya di dalam Tuhan, kita pikir ‘saya musti benar dulu dalam hal ini, baru nanti saya bisa mendapatkan sesuatu dari Tuhan’, dst. Dan, setiap kali kita mendengar bahwa kita sudah diterima dulu baru kemudian disuruh taat, kita lalu keluar pertanyaan ini: “Jadi ngapain ya, kita taat, kalau kayak begitu??” Saudara lihat, bahwa kita bertanya pertanyaan seperti ini, bahwa tidak terhindar adanya pertanyaan ini di dalam Gereja, pertanyaan ‘kalau saya sudah diterima lebih dulu baru disuruh taat, ngapain saya taat’, itu menunjukkan sebenarnya dalam lubuk hati kita yang terdalam kita tidak ngeh bagaimana cara Tuhan bekerja. Ada sesuatu yang sangat counter intuitive, non sense, tidak masuk akal di dalam ‘anugerah’, bagi hati manusia –dan inilah sebabnya anugerah itu amazing. Saudara sudah lihat apa yang primer dan apa yang sekunder, mereka dibebaskan dulu dan baru mereka disuruh taat. Mereka bukan diberikan hukum, baru mereka dibebaskan; mereka diberikan hukum, justru karena mereka telah dibebaskan. Kalau begitu, apa tujuan hukum Tuhan diberikan?
Ada 3 alasan yang kita bisa lihat dari bagian ini. PERTAMA, kita melihat dari lanjutan ayat 5: “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku –jika kamu sungguh-sungguh menaati hukum-Ku– maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi.” Saudara lihat 2 kalimat ini bersama-sama: ‘kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa (you will be My treasured possession)’, tapi berikutnya: ‘sebab Akulah yang empunya seluruh bumi’. Inilah yang pertama-tama diberitakan mengenai tujuannya Sepuluh Hukum dan semua hukum-hukum Tuhan yang lain diberikan. Ketaatan, akan membuat Saudara dan saya menjadi harta kesayangan Tuhan.
Sekali lagi, ketaatan tidak menyelamatkan kita –itu sudah jelas– tapi perhatikan di sini, ketaatan juga tidak membuat kita jadi milik Tuhan, karena lihat Tuhan mengatakan, ‘kamu akan jadi harta kesayangan-Ku, tapi Akulah yang empunya seluruh bumi –jadi termasuk kamu adalah punya-Ku sejak dulu; kalau kamu taat, kamu akan jadi treasured possession; kamu bukan jadi milik-Ku karena taat, kamu sudah jadi milik-Ku sejak kapan-kapan’. Istilah bahasa Ibrani segulah (treasure) di sini bukan dalam arti harta karun seperti orang miskin yang tidak punya apa-apa lalu tiba-tiba jadi punya harta banyak; istilah segulah ini biasa dipakai untuk barang kepemilikan raja yang spesial/khusus. Zaman dulu yang namanya raja berarti memiliki segala sesuatu. Kalau Saudara jadi raja, berarti Saudara memiliki seluruh tanah dalam daerah kekuasaanmu, sementara orang lain cuma pinjam; Saudara memiliki seluruh jalan-jalan dalam negaramu, demikian juga bangunan-bangunan –dan sisi gelapnya, bahkan rakyat pun adalah milik raja sehingga tidak masalah kalau raja mau membunuh atau membuang mereka. Jadi, menjadi milik seorang raja, itu ‘gak ada spesial-spesialnya, karena segala sesuatu memang milik raja, raja adalah empunya segala sesuatu. Itu sebabnya istilah segulah di sini mengacu pada sesuatu yang spesial, bukan sekadar jadi milik tapi ada sesuatu yang lebih; ini mengacu pada perbendaharaan sang raja yang khusus, yang disimpan di kamar, yang menjadi delight bagi sang raja. Analoginya seperti ini: ketika Saudara mulai jatuh cinta dengan seseorang, kalau relasinya beres maka ada sesuatu yang mulai terjadi, Saudara akan mulai mengamati pasanganmu, mencari tahu apa yang menyukakan (delightful) baginya –Saudara pada dasarnya akan berusaha mencari tahu kehendak hatinya, keinginan hatinya, hasrat hatinya yang terdalam. Memang Saudara tidak pakai bahasa ‘kehendak’, tapi pada dasarnya Saudara kemudian berusaha untuk menaati kehendak hati orang tersebut. Ini bukan cuma urusan orang tersebut ingin barang apa lalu kita berikan, tapi bahwa ketika Saudara mulai mengasihi seseorang maka Saudara mulai peka dan cari tahu mengenai hal-hal seperti misalnya nada bicara apa yang menyenangkan hatinya, gaya bahasanya yang seperti apa, mendekatinya pakai cara apa, tidak boleh pakai cara ini, tidak boleh pakai cara yang itu –ada ‘gak bolehnya. Ini urusan kehendak hati dia yang Saudara ingin laksanakan –Saudara ingin taati. Yang menarik, dalam semua ini kita tidak penah rasa terpaksa; inilah namanya relasi kasih/cinta. Jadi, kalau kita tarik kesimpulan, ini berarti dalam relasi cinta yang sejati, itu bukan tanpa hukum dan ketaatan. Kita tidak melihatnya seperti itu, kita juga tidak pakai istilah seperti itu, karena buat kita yang namanya hukum dan ketaatan itu main paksa. Tetapi kalau kita melihat analogi tadi, sebenarnya dalam relasi cinta yang sejati ada hukumnya, ada ketaatannya, yang tidak ada adalah keterpaksaannya. Dengan demikian, ketaatan dan cinta, hukum dan kasih, sebenarnya tidak berseberangan –tidak se-berseberangan yang kita pikir. Jadi, jangan berpikir tentang hukum secara terlalu simplistis. Inilah justru tandanya suatu relasi adalah relasi cinta yang sejati, yaitu ketika kita menjadikan hasrat hati orang tersebut sebagai hukum yang kita taati –hukum yang kita taati secara tanpa paksaan. Kenapa bisa tanpa paksaan? Karena kita menemukan kebahagiaan dan kenikmatan kita yang tertinggi di dalam kebahagiaan dan kenikmatan orang tersebut. Dia happy, barulah kita happy. Kita tidak bisa cuma happy ketika kita sendiri yang happy, kita baru happy ketika dia happy, dia sukacita baru kita bisa sukacita, semakin mereka itu delighted semakin itu mengisi delight-nya kita. Berdasarkan konsep seperti ini, kita coba melihat kembali ke bagian pembahasan kita.
Sewaktu Tuhan mengatakan, ‘taatilah Aku maka kamu akan jadi My treasured possession’, ini tekanannya bukanlah ‘Aku akan menerimamu, Aku akan menyayangimu’; bukan itu, karena Dia sudah melakukan itu. Kalau mengintip sedikit ke pasal 20, Saudara menemukan bahwa waktu Tuhan bicara Sepuluh Hukum, Dia tidak langsung bikin daftar 1, 2, 3, 4, dst.; Dia mulai dengan mengatakan, “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Kenapa Tuhan harus mengatakannya ini dulu baru setelah itu ‘jangan ada Allah lain di hadapanmu, jangan membuat bagmu patung … dst.’ ? Di sini coba Saudara ingat, kenapa Tuhan membawa mereka keluar dari Mesir, apa ceritanya? Di awal-awal kitab Keluaran Saudara lihat apa yang membuat Tuhan Allah mengeluarkan mereka dari Mesir, yaitu dikatakan bahwa orang Israel menjerit dan Tuhan mendengar jeritan hati mereka yang terdalam, mereka menangis dalam penindasan serta perbudakan lalu Tuhan mencari dan menyelamatkan mereka. Tuhan telah memberikan kepada bangsa Israel hasrat hati mereka; dan Tuhan melakukan ini karena Dia sukacita ketika Israel sukacita –meski Dia tidak harus melakukannya. Jadi sekarang, setelah Israel dibebaskan dari Mesir, Tuhan hanya mengatakan begini: ‘Oke, Aku sudah memberikan kepadamu hasrat hatimu yang terdalam, sekarang Aku akan memberitahu kepdamu hasrat hati-Ku yang terdalam, apa yang Aku delight. Aku delight dalam kesetiaan, maka jangan ada Allah lain di hadapan-Ku. Aku delight dalam kejujuran, maka jangan bersaksi dusta. Aku delight dalam integritas, maka jangan mencuri … dsb.’ Jadi, ‘Aku delight dalam keadilan, Aku delight dalam cinta, Aku delight dalam … dst.’, itulah Sepuluh Hukum dan hukum-hukum berikutnya berbicara mengenainya, mengenai apa yang delightful bagi Tuhan. Tuhan mengatakan seperti ini karena Tuhan meminta mereka melakukan apa yang Dia telah lakukan lebih dahulu; ‘Aku telah menemukan kebahagiaan-Ku dalam kebahagiaanmu, sekarang jadikan kebahagiaan-Ku sebagai kebahagiaanmu’, itulah artinya menjadi treasured. ‘Aku sudah mencintaimu, sekarang cintailah Aku; Aku sudah mencari dan mendengar hasrat hatimu, sekarang dengarkanlah hasrat hati-Ku, taatilah kehendak hati-Ku’; tapi sekali lagi, bukan taat karena paksaan melainkan karena Allah telah “menaati” kehendak hati mereka terlebih dahulu. Saudara, itulah sebabnya hal yang paling utama dalam pemberian hukum sesungguhnya adalah untuk membuat kita menjadi pasangan pernikahan dari Allah Pencipta alam semesta. Ini radikal; siapa yang menggunakan hukum untuk tujuan seperti ini?? Ada dimensi seperti ini dalam pemberian Sepuluh Hukum. Itulah hal yang pertama.
KEDUA. Yang kita perlu lihat juga adalah sebagaimana dikatakan di ayat 6, ‘kalau kamu taat, kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus’. Untuk mengerti ini, kita perlu mundur ke ayat 2: ‘Setelah mereka berangkat dari Rafidim, tibalah mereka di padang gurun Sinai, lalu mereka berkemah di padang gurun; orang Israel berkemah di sana di depan gunung itu.’ Ini satu catatan yang mungkin kita lewati begitu saja karena kita berrpikir dengan kacamata modern bahwa ini cuma urusan lokasi, urusan geografis; tapi sebenarnya tidak, karena berkemah di hadapan gunung adalah satu gambaran yang punya makna dalam zaman kuno.
Dalam perkembangan sejarah dan arkeologi, kita tahu bahwa settlement-settlement yang paling awal adanya di daerah sekitar Mesopotamia. Kita tahu daerah-daerah tersebut menjadi tempat-tempat kebudayaan manusia yang paling pertama karena di sana kita temukan kota-kota yang pertama. Yang menarik, gambaran kota-kota paling awal dalam sejarah dunia itu biasanya bukan didirikan di lembah yang di bawah, tapi di atas bukit atau gunung; atau kalau gunungnya terlalu terjal, mereka akan bikin kota di sisinya, menghadap gunung atau mengelilingi gunung tersebut. Mengapa mereka bikin kota di tempat yang tinggi, yang mungkin kita pikir jadi susah. Memang benar, ini susah untuk kita bawa gerobak dsb., tapi juga susah untuk musuh karena ini higher ground, sehingga lebih aman dibandingkan di lembah. Tetapi hal ini bukan cuma untuk alasan militer, ada alasan spiritual; ini adalah karena pada zaman dulu yang namanya bukit, gunung, dan tempat-tempat tinggi, dianggap sebagai tempat para dewa-dewi. Dalam mitologi Yunani, para dewa-dewi bertakhtanya di Gunung Olympus; dalam sejarah Israel, penyembahan Baal dll. seringkali dilakukan di tempat-tempat yang disebut ‘bukit-bukit pengorbanan’. Jadi, tempat-tempat tinggi memang identik dengan keberadaan para dewa, karena lebih dekat dengan langit. Kira-kira seperti itu. Namun yang menarik, daerah Mesopotamia sedikit banyak merupakan tanah yang rata, tidak terlalu banyak bukit dan gunung. Itu sebabnya kota-kota awal di Mesopotamia memiliki arsitektur yang menaik, biasanya dibangun mengelilingi sebuah zigurat. Zigurat pada dasarnya adalah kuil penyembahan, tapi bentuknya bukan seperti menara yang berbentuk tinggi segaris dari bawah sampai atas, melainkan mengerucut ke atas seperti piramid. Kalau Saudara melihat piramid ataupun bangunan yang mengerucut seperti ini, Saudara akan tahu ini sebenarnya adalah gunung artifisial, gunung bikinan manusia. Fokus pembangunan kota pada waktu itu adalah membangun gunung bagi mereka, di tempat yang mereka pilih, untuk mereka naik kepada tuhan/dewa. Cerita Menara Babel juga merupakan representasi ideologi-ideologi manusia dalam membangun kota.
Saudara lihat, di dalam trend zaman tersebut, yang membangun kota mengelilingi gunung buatan manusia, dengan agenda manusia, Allah menyuruh orang Israel berkemah di depan Gunung Sinai, yang adalah gunung ciptaan Tuhan. Di dalam latar belakang dan kontras seperti ini, Saudara baru lebih mengerti tujuan yang kedua; mereka dipanggil, dan kalau mereka taat maka itu akan membuat mereka jadi bangsa yang kudus. Ini lebih ditekankan kalau Saudara melihatnya dari urusan latar belakang kota tadi, karena ‘kudus’ di dalam Alkitab bukanlah soal higienis melainkan soal perbedaan; kudus adalah beda, lain, beda level. Dan, jika Saudara melihat latar belakang kota tadi, maka di sini Saudara juga melihat bahwa mereka bukan dipanggil untuk jadi individu-individu yang hidup kudus, mereka dipanggil sebagai sebuah kota yang kudus —komunitas yang kudus– kota yang beda, kota yang lain. Kota-kota manusia dibikin mengelilingi gunung buatan manusia, yang dipilih oleh manusia, untuk menarik para dewa; sedangkan kota Allah adalah mengelilingi (atau di hadapan) gunung bikinan Tuhan, yang dipilih Tuhan, dan Tuhan memilih gunung ini untuk menarik manusia, bukan untuk ditarik ke bawah melainkan untuk menarik manusia. Ini satu kontras yang sangat jelas; ini berarti tekanan dari Sepuluh Hukum bukanlah pada para individu/pribadi untuk mereka hidup kudus, dsb. –bukan itu yang terutama– melainkan mengenai bagaimana Sepuluh Hukum ini menciptakan suatu bangsa yang kudus, suatu masyarakat yang beda, suatu tempat yang aturan main dalam komunitas kota/negara/bangsa tersebut lain, beda, beda level dengan yang lain. Kalau sedikit dikonkretkan dengan keadaan kita hari ini, artinya adalah: kita dipanggil sebagai Gereja, untuk mendirikan suatu Kota tandingan, suatu Kota alternatif, di tengah-tengah kota dunia ini. Dengan cara apa? Dengan carahidup beda. Kota di dunia filsafat dasarnya adalah “manusia”, kepentingan manusia, apa yang manusia ingin lakukan untuk naik level. Ini juga jelas kita lihat pada kota hari ini. Orang ingin ke kota dan tinggal di kota karena ingin menggunakan perkotaan –fasilitas, kemewahan, wealth, power, dsb.– untuk naik; ‘saya ingin ke kota supaya kualitas hidup saya naik, saya ingin memanfaatkan perkotaan supaya bisa menolong saya, membangun saya’. Tetapi dalam Kota Allah, lain; dalam Kota Allah pertanyaannya adalah ‘bagaimana saya bisa digunakan untuk menolong kamu, bagaimana saya bisa dipakai untuk membangun kamu’ –itulah Kota Allah, yang pada dasarnya adalah Gereja. Sepuluh Hukum diberikan seperti itu. Sepuluh Hukum tujuannya bukanlah sebagai cara seorang individu untuk selamat masuk surga; Sepuluh Hukum –sebagaimana Khotbah di Bukit yang ada belakangan– diberikan sebagai satu garis besar seperti apa Kota yang baru ini, seperti apa bedanya Kerajaan baru ini dibandingkan kerajaan-kerajaan yang lain. Ini sebabnya hukum-hukumnya, baik itu mengenai seks, atau power, atau uang, dipakainya bukan untuk menghancurkan, mencandu orang, mengeksploitasi orang, tapi untuk membangun.
Misalnya mengenai seks, di dalam Sepuluh Hukum untuk pertama kalinya dalam sejarah, dosa perzinahan bukanlah cuma urusan wanita; dikatakannya “jangan berzinah”, itu saja, baik laki-laki maupun perempuan jangan berzinah, tidak dikatakan ‘jangan berzinah bagi para perempuan’, sedangkan yang lain ada double standard dalam hal perzinahan. Bukan cuma Sepuluh Hukum-nya, hukum-hukum dari pasal 20 sampai 24 –lima pasal yang bicara begitu banyak hal– ada hal yang menarik kalau Saudara melihat Taurat secara keseluruhan. Ada satu kisah, Musa mengatakan bahwa nanti Tuhan akan memberikan tanah Kanaan, tanah warisan, tanah perjanjian, tanah pusaka; dan itu akan dibagi-bagi sehingga setiap keluarga Israel mendapatkan. Seperti Saudara tahu, pada waktu itu warisan diberikan kepada anak sulung lelaki. Lalu ada satu cerita yang menarik, beberapa perempuan datang kepada Musa, mengatakan, “Papa kami tidak punya anak lelaki, kalau kayak begini, maka papa kami yang kamu janjikan tanah warisan itu, tidak akan mendapatkannya”; dan di situ Musa lalu mengatakan, “O, gitu ya; oke, kalau begitu mulai sekarang wanita pun boleh memiliki tanah”. Ini ada di Alkitab, Saudara; dan ini untuk pertama kalinya urusan gender tidak dipakai untuk menindas, tapi mulai dipakai untuk mendatangkan kesejahteraan bersama. Berikutnya, urusan uang –misalnya perpuluhan. Dalam pasal 20-24, aturan bagi orang Israel pada waktu itu bukan cuma setiap tahun harus memberikan perpuluhan, tapi bahkan setiap 3 tahun ada ekstra persembahan yang mereka harus berikan, sehingga kalau dipukul rata dalam 1 tahun mereka harus memberikan 23,3 %. Saudara masih rasa ini kebanyakan? Kalau ya, berarti Saudara tidak mau menjadi bangsa yang kudus, berarti Saudara tidak mengerti yang namanya Kekristenan bukanlah cuma urrusan hubungan individual Saudara dengan Tuhan soal Saudara dapat berkat, dsb., berarti Saudara tidak mengerti bahwa Kekristenan bertujuan untuk mengubah Saudara dan saya menjadi suatu komunitas yang baru yang cara hidupnya begitu lain. Lalu mengenai power. Kita tahu di dalam hukum-hukum-Nya, Tuhan mengatakan, “Kalau ada pendatang/ imigran di tengah-tengah kamu, kamu berikan kepada mereka hak dan privilege yang sama dengan kalian; kenapa? Karena ingat, kalian sendiri pernah menjadi imigran dan pendatang di Mesir”. Ini radikal, Saudara; hukum dipakai bukan untuk menjaga supaya kita jangan dicemari oleh pendatang, supaya harta kita jangan diambil mereka, dsb., tapi untuk memberikan kepada mereka hak yang sama karena kamu dulu juga imigran. Selanjutnya, kota-kota di zaman Perjanjian Baru temboknya bukan cuma ada di luar sekeliling kota tapi juga di dalam kota, memisahkan kampung ras yang satu dengan kampung ras yang lain, karena mereka tidak bisa hidup sama-sama; kalau bertemu di pasar lalu orang ras yang satu injak kaki orang ras yang lain, itu perang. Itu sebabnya harus ada tembok di dalam, bukan cuma tembok di luar; tembok di luar untuk melindungi dari orang-orang luar, sedangkan tembok di dalam untuk melindungi dari orang-orang dalam. Namun Saudara lihat Gereja Antiokhia, tujuh diaken pertamanya terdiri dari berbagai macam ras/bangsa.
Kembali ke pembahasan kita. Sepuluh Hukum di dalam tujuannya, tidak pernah sebagai tangga ke surga. Kalau kita mau pakai metafora tangga ke surga, Sepuluh Hukum bukanlah tangga untuk kita naik dan naik sampai ke surga, sebaliknya adalah tangga dari surga ke bumi, tangga supaya kehendak Allah boleh terjadi di bumi seperti di surga. Inilah keselamatan. Inilah tujuan hukum Tuhan. Tapi kita sering kali tidak melihatnya seperti ini, kita sering kali hanya melihat keselamatan sebagai sesuatu yang ujungnya nanti, bahwa nanti kalau mati masuk surga. Saudara, keselamatan bukan cuma itu; keselamatan itu dimulai dari hari ini dan sekarang, karena inilah objektif dari ketaatan kita. Ketaatan kita, fokusnya bukanlah nanti suatu hari; ketaatan kita, fokusnya adalah sekarang, di sini, surga mau diturunkan ke bumi –dan model Kerajaan Surga, Kota surgawi, adalah seperti ini. Jika kamu menaati semua ini, kamu akan menjadi bangsa yang berbeda.
KETIGA. Saudara lihat di dalam ayat 6, bukan cuma mereka dipanggil menjadi bangsa yang kudus, mereka juga dipanggil menjadi kerajaan imam. Itu berarti waktu komunitas ini dipanggil untuk hidup berbeda, untuk punya hidup yang lain, tujuannya bukan terutama demi mereka, tujuannya supaya lewat mereka maka orang-orang lain boleh dibawa masuk ke dalam Kota yang sama. Ini namanya menjadi imam. Kalau Saudara jadi imam, maka hidup Saudara, karier Saudara, tidak perrnah buat diri Saudara sendiri. Itu sebabnya di sini dibilang ‘kerajaan imam’, seluruh orang Israel adalah imam. Tentu saja tidak semua orang memegang jabatan imam seperti anak-anak Harun, jadi di sini maksudnya pasti bukan itu, maksudnya adalah menjadi imam bagi seluruh dunia –seluruhnya. Dengan demikian meskipun dalam sebuah Gereja, demi keteraturan ada hamba Tuhan, ada pendeta, ada vikaris, Saudara jangan pernah mengira bahwa itu berarti Saudara bukan hamba Tuhan. Tidak pernah seperti itu; justru dalam Kekristenan jelas sekali Alkitab memperlihatkan bahwa panggilan ini adalah panggilan buat semua kita, dan bukan cuma beberapa orang dari antara kita.
Hal ini sekali lagi diangkat Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit, satu hal yang kita sering kali lolos melihatnya. Matius 5:14-17, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga. Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Mungkin Saudara sering kali pikir antara ayat 16 dan 17 itu ‘gak nyambung; tapi ini nyambung sekali, karena inilah objektif dari hukum Taurat. Kenapa Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia tidak mau meniadakan hukum Taurat, adalah karena hukum Taurat bukan cara untuk kamu masuk surga, hukum Taurat bukan cara untuk kamu bisa dapat tangga ke surga; hukum Taurat tujuannya adalah ini: untuk menjadikan kalian sebagai terang dunia, sehingga waktu kamu bercahaya, mereka memuliakan Bapamu di surga; kamu menjadi kerajaan imam, inilah penggenapan Sepuluh Hukum yang sesungguhnya.
Saudara mungkin mengatakan, “Oke, Pak, saya percaya itu; tujuan kita hidup, tujuan kita dapat hukum Taurat, adalah supaya hidup kita waktu dilihat orang maka mereka bisa percaya pada Tuhan. Jadi maksudnya, saya dipanggil untuk hidup baik-baik, lalu lewat hidup saya maka orang bisa melihat Tuhan.” Itu memang benar, tidak salah, tetapi sesungguhnya urusan mengenai “saya” bukanlah tekanan dari bagian Injil Matius ini. Saudara perhatikan waktu Tuhan Yesus membicarakan tentang terang dunia, waktu Dia mengatakan ‘kamu adalah terang dunia’ itu Dia ambil contoh ‘kota’, berarti sebenarnya bukan ‘kamu’ tapi ‘kamu sekalian’ adalah terang dunia –karena siapa dari antara Saudara yang bisa jadi kota sendirian?? Kalau membicarakan kita ini terang dunia sebagai contoh ‘kota’ –kota alternatif, kota yang kudus, kota yang beda– maka Saudara tidak bisa jadi Kota secara sendirian. Saya mengatakan ini terinsipirrasi dari pertanyaan anak remaja, “Kenapa saya sudah Ibadah Minggu lalu harus datang juga ke Persekutuan?” Sekali lagi, karena Saudara tidak diciptakan sendirian, Saudara juga tidak diselamatkan sendirian. Ibadah Minggu bukan tidak ada persekutuannya, kita tidak masuk ke dalam bilik-bilik sendirian lalu berurusan dengan Tuhan sendirian; kita di sini bernyanyi bersama, membaca Alkitab bersama-sama, berrdoa topik doa yang sama, dengar Firman Tuhan yang sama, sama-sama mengaku keberdosaan kita bersama-sama, dan pastinya kita menyembah Allah yang sama –meski bagian ini sering gagal karena Saudara seringkali baru datang pada waktu khotbah, menunjukkan betapa Saudara tidak menganggap penting karakter ‘persekutuan’ dari sebuah ibadah. Intinya, yang terjadi dalam Ibadah Minggu memang tidak bertolak belakang dengan yang terjadi di Persekutuan; kita tidak setuju dengan gambaran yang terlalu memisahkan Ibadah Minggu dengan Pesekutuan, seakan-akan Ibadah Minggu vertikal sedangkan Persekutuan horisontal; karena justru dalam hal yang vertikal tersebut Saudara datangnya bersama-sama –ada persekutuannya– dan dalam hal yang horisontal itu Saudara menjadi Tubuh dari satu Kepala yang sama –ada esensi vertikalnya. Namun, apa yang dilakukan dalam Ibadah Minggu adalah dasar, yang perlu dilanjutkan dan dibangun dalam Persekutuan. Di Persekutuan, dan lebih lagi di KTB, baru Saudara dapat lebih banyak kesempatan untuk menjadi sebuah Kota, untuk mengikat dan diikat dalam relasi yang deep, dan di situlah Saudara mulai belajar dibangun menjadi sebuah Kota, bukan hanya diberikan pondasi. Alasannya kita perlu bersekutu, poinnya dari bagian ini adalah: bukan cuma tentang apa yang Saudara dapatkan, tapi bahwa orang baru lebih bisa melihat kemuliaan Tuhan ketika Saudara bersaksi sebagai sebuah Kota, bersama-sama, bukan hanya sebagai seorang individual. Kalau Saudara baik sendirian, orang hanya akan melihat diri Saudara yang baik; ‘O, saya kenal Pak Ronal, dia baik’ –orang cuma lihat Pak Ronal baik. Tapi ketika orang bisa melihat ada sebuah Kota yang alternatif, ketika dunia memandang ke dalamnya dan melihat, ‘Lho, koq di Kota ini aneh ya, orang-orang yang beda ras bisa get along, jenis-jenis orang yang biasanya karakternya tidak kompatibel tapi di dalam Gereja bisa kerja sama, koq orang-orang di Gereja ini ngumpul bukan cuma karena hobi yang sama atau selera yang sama’, barulah di situ mereka memuliakan Tuhan, mereka bertanya-tanya apa yang terjadi di sini. Saudara tidak bisa mempersaksikan kehidupan yang harmonis antar ras secara sendirian, bukan? Ini sebabnya ada persekutuan; bukan demi kalian saja, tapi demi dunia ini. Itu salah satu tujuan diberikannya Sepuluh Hukum.
Di sini kita lalu bisa bertanya, selama ini model kehidupan gerejawi kita fit atau tidak dengan yang jadi tuntutan Kekristenan? Saudara datang Ibadah Minggu, dengar khotbah, senang dengan khotbah, mencatat, dan punya beberapa teman Kristen, apakah itu cukup? Orang-orang di kota-kota dunia gampang sekali disatukan oleh hobi sport yang sama, entah itu pingpong atau gowes atau badminton atau lainnya, mereka juga gampang disatukan oleh kuliner, maka kalau ada hal-hal itu di gereja jangan bangga, karena memang gampang bikin yang seperti itu. Yang perlu Saduara tanya adalah: dalam persekutuan Saudara di gereja, berapa persen yang bukan hal-hal itu, berapa persen dalam relasimu dengan orang-orang di gereja adalah relasi yang justru Saudara tidak bisa temukan di dunia? Bukan maksudnya kita harus cari kegiatan yang tidak pernah ada di dunia, kalau orang dunia main football lalu kita main butt-ball, bukan itu maksudnya tapi sesuatu yang lebih dalam. Misalnya, dengan orang-orang di dunia Saudara disatukan dengan Saudara menghindari bicara isu-isu yang sensitif, karena kalau bicara hal-hal seperti itu, gampang sekali ada yang menyakiti dan disakiti, juga ada yang jujur dan tidak jujur, dsb.; lalu pertanyaannya, berapa persen di antara kita di gereja yang justru melihat Gereja adalah tempat kita bisa mengangkat isu-isu sensitif tanpa menyakiti dan tetap dengan kejujuran dua belah pihak? Ada kejujuran, ada keterbukaan, tapi tidak menyakiti –ini perlu ada di Gereja. Pertanyaannya, berapa persen hal ini kita temukan dalam tindakan komunitas Persekutuan kita? Inilah yang harusnya jadi karakter komunitas Persekutuan kita, karena tujuannya adalah ke luar, tujuannya supaya ketika orang luar melihat ke dalam, maka mereka melihat Kota yang beda, Kota yang alternatif. Saudara tidak bisa melakukan ini tanpa mulai hidup terikat dan mengikat dalam komunitas ini.
Pendeta Ivan Kristiono memberikan satu contoh bagus dalam ceritanya mengenai komunitas Sekolah Teologi. Pada zaman dia, ada mahasiswa dan mahasiswi yang pacaran; suatu kali mereka pergi pelayanan, lalu karena satu dan lain hal malam itu mereka tidak pulang ke asrama, dan akhirnya mereka pulang ke rumah salah satu dari mereka yang dekat, dan tidur di sana; sementara itu, orang-orang asrama aktif mencari mereka. Besok paginya baru mereka balik ke asrama; dan waktu sampai, mereka dikenakan sanksi, disuruh membersihkan WC. Tentu saja kita bisa spekulasi macam-macam, apakah motivasi suruh membersihkan WC itu benar karena kepedulian atau apapun, tapi pada dasarnya saya percaya Pak Ivan bahwa ini bentuk pengawasan/saling mengawasi. Sekarang, kalau di Gereja ada yang seperti ini, misalnya ada yang ketahuan melakukan suatu tindakan yang tidak benar-bena sampai seks bebas, hanya baru ke arah sana, dan diawasi, ditegur, lalu diberikan sanksi membersihkan WC gereja; bagaimana?? Pasti pindah gereja. Mana ada ikatan? Tidak ada pertanggungjawaban, tidak ada accountability, tidak ada keterbukaan, tidak ada kejujuran –dan makanya tidak ada yang mau menegur juga, karena menegur seperti ini bahaya sekali. Tapi kalau seperti itu, berarti ini Gereja atau bukan? Ini suatu komunitas yang alternatif atau bukan? Contoh lain (juga dari Pak Ivan Kristiono), waktu ada seorang mahasiswa yang dikeluarkan dari komunitas STT, kita selalu bertanya “apa salah orang itu?” Pak Ivan lalu mengatakan, “Jangan tanya itu, tanyalah apa dosa kalian sehingga orang ini keluar?” Ini karena waktu kita refleksi, kita tahu dia memang bermasalah tapi kita tidak tegur dia, dengan alasan orangnya ndablek atau apapun lainnya –kita tidak mengawasi dia. Jadi, waktu dia keluar, itu bukan cuma karena dia ancur, tapi juga karena kita sebagai komunitas bukan jadi komunitas yang alternatif, bukan jadi komunitas yang hidup dengan cara yang lain dari dunia. Ini adalah problemnya kita, dan bukan cuma problemnya dia.
Saudara, itu sebabnya saya juga mengingatkan, bahwa dalam urusan Baptisan Gereja, waktu membaptis orang di gereja, itu bukan terutama urusan keselamatan pribadi seseorang; memang hal tersebut ada, tapi bukan satu-satunya, karena istilah baptizo dalam bahasa Yunani hanya berarti merendam sesuatu dalam air. Merendam sesuatu dalam air ini bisa dipakai dalam banyak fungsi/tujuan. Kadang-kadang kata baptizo digunakan dalam arti membasuh, misalnya Saudara ambil kain yang ternoda, lalu dimasukkan ke air —baptizo— maka waktu dikeluarkan dari air, kain tersebut lepas dari cemar, nodanya hilang. Tapi ada juga pemakaian kata baptizo dalam arti dipping atau dying; Saudara mencelupkan kain yang polos dalam cairan pewarna –baptizo— sehingga waktu dikeluarkan, kain tersebut bukan jadi bersih melainkan jadi berwarna, atau bisa dibilang “ternoda”. Jadi baptisan bukan cuma tujuannya Saudara dibersihkan dari segala kecemaran; lagipula itu cuma simbol, karena kita tahu kita masih akan berdosa sampai kita mati, meski tentu ada perubahan/pengudusan. Yang pasti, dalam baptisan berarti orang tersebut sekarang “diwarnai”, ada sesuatu yang dipercikkan kepada dia sehingga dia sudah ada tandanya, ada warna yang baru, dia sudah menjadi bagian Kota yang alternatif. Waktu Saudara dibaptis, itu terutama adalah pernyataan kepada dunia bahwa Saudara sudah tidak lagi mau tinggal di kota yang duniawi, Saudara mau tinggal di kota dunia sebagai bagian dari Kerajaan Surga, sebagai dari Kota yang alternatif, Saudara sudah mengikatkan diri kepada komunitas yang baru –tandanya dengan dibaptis. Ini juga sebabnya kita membaptiskan anak. Ada orang yang berpikir Baptisan Anak tidak boleh karena musti keselamatan pribadi dulu. Pemikiran ini berarti dia tidak kembali ke Alkitab, tidak mengerti apa tujuan sesungguhnya dari baptisan. Kalau Saudara protes dengan mengatakan dalam baptisan harus yakin dulu secara intelektual pribadi baru dibaptis, maka pertanyaannya kenapa Paulus membaptiskan sipir penjara di Filipi beserta orang-orang seisi rumahnya?? Ini bukan soal keselamatan pribadi tok, tapi mengenai keanggotaan seseorang dalam komunitas yang baru. Inilah yang lebih penting.
Akhir tahun lalu Pendeta Heru pergi ke Korea bersama para hamba Tuhan. Mereka belajar satu sistem gereja di Korea yang baik sekali, yang harap dalam beberapa tahun ke depan bisa kita implementasikan di sini. Salah satu beda antara mereka dengan kita adalah: kita seringkali punya konsep orang percaya dulu baru masuk; orang mengaku dulu baru masuk, belive baru belong; sedangkan mereka lain, orang belong dulu baru believe, orang masuk ke dalam komunitas dulu baru pelan-pelan diajak untuk benar-benar percaya. Ini menarik. Masing-masing pendekatan pasti ada plus minus-nya, tapi ini satu pendekatan yang membuat kita menyadari ada cara yang lain sebenarnya; dan mungkin cara seperti ini dampaknya lebih long lasting. Mengapa? Ambil contoh tentang bahasa; Saudara belajar bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua, bedanya apa? Bahasa yang kedua, Saudara belajar secara intelektual dulu baru praktekkan, belajar teori dulu baru praktek –dan jadinya belepotan. Tapi kalau bahasa ibu, bahasa pertama, Saudara belong dulu baru belajar teori. Bahasa Indonesia kita sudah tahu ‘kan, lalu kita bingung waktu masuk SD ada belajar Bahasa Indonesia, buat apa sih?? Dalam hal ini Saudara belong dulu dengan komunitasnya, belajar dengan cara yang lain itu, dengan cara meresap dan bukan cuma dengan cara mengetahui, baru belakangan dibekali dengan teori-teorinya. Jadi ada juga cara belajar seperti ini, dan sering kali lebih ampuh, melekat seumur hidup, namanya bahasa ibu.
Kembali ke pembahasan kita, intinya: kecuali Saudara ada dalam satu komunitas orang-orang percaya yang saling mengikat dan terikat satu dengan yang lain, yang membicarakan bagaimana Injil Kristus dan hukum-hukum Kristus meresapi seluruh aspek hidup Saudara, maka Saudara sebenarnya tidak bisa menjadi orang yang taat hukum Tuhan. Ini poinnya. Tanpa komunitas, Saudara tidak bisa jadi orang-orang yang menaati hukum Tuhan. Kalau Saudara hanya ingin punya iman yang individualistis, iman yang ‘saya spiritual but not religious’ –dan semua dari kita inginnya kayak begitu karena iman macam begini tidak ada obligasi, tidak ada kewajiban, tidak ada tanggung jawab, yang penting datang dan dapat khotbah menarik setiap Minggu– kalau kita mau hidup seperti ini, termasuk saya, kita harus bertobat. Tanpa kita menjadi satu Kota yang alternatif, kita tidak bisa hidup menaati hukum Tuhan, tidak akan bisa menjadi terang dunia. Ini satu hal yang kita dipanggil untuk menyadarinya.
Kembali ke pertanyaan awal tadi, ‘apa itu keselamatan’, dan sekarang kesimpulannya. Keselamatan, kalau gambarannya sebagaimana kita lihat tadi, itu bukan urusan keselamatan jiwamu setelah kematian tok. Memang hal itu ada dalam Kekristenan; Paulus mengatakan barangsiapa di dalam Kristus, waktu dia mati maka dia bersama-sama dengan Kristus. Tapi setelah Saudara mendengar semua pembahasan tadi, maka urusan setelah kematian, itu hal yang kecil sekali; keselamatan, sebagaimana Paulus katakan adalah bahwa Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih –dikatakan ‘kerajaan’; dan Saudara tidak bisa jadi kerajaan sendirian. Kabar baik dari Alkitab adalah ini: selama ini Saudara hidup di negara yang sistem kerajaannya perbudakan, lalu muncul satu Raja yang baru yang menghapus sistem perbudakan ini. Itulah kabar baiknya. Misi Kristus bukanlah membuat sekoci untuk menolong beberapa orang dari dunia ini masuk ke sekoci tersebut dan suatu hari pindah ke surga. Bukan itu. Saudara baca dalam empat Injil, apa yang Yesus berkali-kali bicarakan, apa yang jadi inti pengajaran-Nya? Ini satu hal yang dasar yang sudah dibicarakan sejak Sekolah Minggu, tapi kita sering kali lupa; yang Dia selalu bicarakan adalah Kerajaan Allah sudah datang, Kerajaan Surga sudah datang. Inilah misi Kristus; bukan bikin sekoci ke surga, tapi menarik surga turun ke bumi –Kerajaan Allah datang ke bumi ini. Ini berarti the real good news, Injil yang riil, keselamatan yang riil, bukanlah sesuatu yang dampaknya baru kita rasakan setelah kita mati, tapi ini sesuatu yang mulai sejak sekarang karena kita telah dipilih Tuhan, diambil oleh Tuhan, dicangkokkan ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang terang.
Pertanyaan Saudara, ‘tahu dari mana saya sudah diselamatkan?’ Saudara selama ini bingung, kenapa? Karena Saudara pikir urusan keselamatan adalah keselamatan jiwa setelah kematian, jadi Saudara tanya ‘tahu dari mana kalau saya mati nanti ketemu Tuhan, bukankah tahunya waktu mati ‘kan, jadi tahu dari mana saya sudah diselamatkan, bagaimana saya bisa dapat jaminan??’ –pertanyaan yang tidak ada ujungnya. Kenapa bisa tanya seperti ini dan kenapa bisa tidak ada jawabannya? Karena Saudara salah mengerti Injil, karena Saudara tidak mengerti keselamatan secara komprehensif. Namun ketika Saudara lihat bahwa Injil keselamatan Yesus Kristus adalah diubahnya kita dari kota yang lama, diambilnya kita dari kota yang lama, dan kita dimasukkan ke dalam Kota yang baru, Kota alternatif, Kota di sini dan sekarang, diberikan komunitas yang baru hari ini, maka Saudara tahu jawabannya apakah Saudara sudah diselamatkan atau belum. Dari mana tahunya? Saudara tinggal tanya dirimu, apakah Saudara menerima Dia sebagai Rajamu atau tidak, dalam arti apakah Saudara hari ini mau hidup atas dasar aturan kerajaan dunia, atau atas dasar aturan hidup Kota Allah? Saudara mau menang melalui power, atau Saudara mulai mau menang melalui pola hidup Raja dari Kerajaan yang baru ini, di mana kemenangan muncul justru melalui kekalahan, kuasa baru muncul lewat penyerahan nyawa, kelimpahan muncul lewat kemurahan? Saudara lihat, Raja ini unik, Dia menjadi Raja atas dunia ini bukan dengan bawa tank tapi dengan digilas oleh tank-tank Romawi. Itu sebabnya tidak heran orang-orang dalam Kerajaan ini juga lain banget, yang berbahagia (blessed) dalam Kerajaan ini bukan mereka yang kaya raya yang duitnya tidak habis tujuh turunan, tapi mereka yang miskin di hadapan Tuhan; bukan orang-orang yang bisa menang perang, tapi orang-orang yang membawa damai; bukan orang-orang yang hidupnya tanpa kecelakaan, tapi orang-orang yang bahkan dianiaya oleh karena nama Tuhan. Ini Kerajaan yang begitu terbalik.
Pertanyaannya, ini semua kabar baik bagimu atau kabar buruk? Dari sini Saudara bisa tahu apakah Saudara diselamatkan atau tidak, hari ini. Dan, Saudara sekarang tahu kenapa keselamatan itu benar-benar by grace alone, Saudara butuh anugerah untuk bisa diselamatkan seperti ini karena kalau kita jujur waktu mendengar semua pembahasan tadi, siapalah yang mau diselamatkan seperti itu?? Siapa yang mau hidup seperti Raja yang gila itu? Siapa yang mau hidup menyerahkan nyawa baru mendapatkan nyawa? Siapa yang mau hidup mengorbankan diri untuk justru mendapatkan kelimpahan? Siapa yang mau bisa limpah justru karena murah hati? Siapa yang mau jalan ke atas yang ternyata lewat bawah? Siapa yang mau?? Itu sebabnya kalau bukan karena anugerah, tidak bisa. Coba perhatikan, kalau Injil keselamatan adalah ‘Saudara mati, masuk surga’, siapa yang tidak mau?? Gampang banget menginjili orang kalau Injilnya adalah ‘mati masuk surga, percaya Yesus maka tidak ada masalah’, semua orang juga mau –setidaknya banyak yang mau– dan tidak perlu anugerah untuk itu. Tetapi, berapa banyak yang mau hidup menurut aturan Kerajaan Surga? Saudara lihat aturan Kerajaan Surga itu beda dari kerajaan dunia; kerajaan dunia menawarkan pleasure, kebebasan, kenikmatan, sedangkan Kerajaan Surga menawarkan kematian, pengorbanan, kekalahan, penghinaan –siapa yang mau??
Saudara mungkin lalu pikir ‘waduh, jadi saya bukan orang Kristen dong?? Bapak sendiri kenapa mau?’ Jawabannya, karena dalam anugerah Tuhan, Tuhan memperlihatkan kepada saya yang ditawarkan dalam kerajaan dunia kelihatannya doang kehidupan, tapi ujungnya kematian; dan yang ditawarkan Kerajaan Surga kelihatannya doang seperti kematian, tapi ujungnya membawa kehidupan. Dari mana saya tahu? Saudara, kita tahu ‘kan orang yang benar-benar limpah memang bukan yang punya harta banyak tapi orang yang murah hati memberikan hartanya bagi orang lain. Kita tahu ‘kan, orang yang sacrifice itu justru orang yang mendatangkan kehidupan; orang yang tidak mau jadi orangtua karena maunya mengejar karier dan tidak mau berkorban akhirnya negaranya birth rate turun, populasi turun, negaranya mundur, 20 tahun kemudian lebih bayak rambut putih daripada rambut-rambut bayi. Sebaliknya, seorang ibu yang mau rela mengorbankan kariernya, talentanya, demi membesarkan anaknya, maka yang terjadi adalah anaknya hidup; dia mengorbankan talentanya maka anaknya talentanya terasah, dia mengorbankan mimpinya maka anaknya bisa hidup mimpinya. Ini hal yang normal, kita melihat ini dalam anugerah Tuhan. Tapi kalau itu belum bukti yang cukup, Saudara harus melihat kenapa Saudara mau mengikut Tuhan yang seperti ini. Saya rasa, orang yang mau mengikut Tuhan dalam kerajaan Tuhan bukanlah orang yang teriak-teriak, “Aku mau! Aku mau! Aku ikut Tuhan, aku murid Tuhan!” Orang yang mau mengikut Tuhan bukan yang kayak begitu; orang yang mengikut Tuhan, yang telah diselamatkan, mungkin mengatakan, “Ini berat, itu susah, sulit, penuh pengorbanan. Saya tahu saya tidak bakal sanggup, tapi saya juga tidak tahu kenapa ada sesuatu dalam hatiku yang menarikku, yang mendorongku, ke arah sana; saya tidak bisa menjelaskan. Ini tidak menguntungkan saya, ini tidak enak buat saya, tidak baik untuk saya, bahkan ini sering kali tidak menarik untuk saya, tapi kenapa ya, ada sesuatu dalam hatiku yang menarikku ke arah sana?? Mungkin karena saya sering dengar khotbah, mungkin karena ada orang yang penginjilan –mungkin itu semua– tapi saya tidak bisa menjelaskan karena bukan cuma itu, ada something else yang membuat saya bisa terus ditarik ke arah ini.” Saudara, kita mengatakan itu karena Kerajaan Tuhan memang banyak pengorbanan, susah, tapi kita melihat Allah yang terlebih dahulu telah hidup berkorban demi kita, Allah yang terlebih dahulu telah mendengar jeritan hati kita yang terdalam, yang telah terlebih dahulu “menaati” hasrat hati kita yang terdalam. Itulah yang menyebabkan Saudara bisa mau menyerahkan diri bagi Dia –dan Saudara akan tahu Saudara adalah orang yang diselamatkan.
Saya harap khotbah hari ini bisa sekali lagi membukakan kita, menyegarkan kita, mengingatkan kita, tapi juga memperdalam kita mengenai apa itu keselamatan. Dan, dalam anugerah Allah saya harap kita boleh bersama-sama terus bertumbuh menjadi Kerajaan Tuhan di atas dunia ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading