Lukas memulai catatan episode ini dengan menyebut satu sekte dalam kumpulan orang Yahudi pada zaman Yesus, yaitu sekte Saduki. Dikatakan di bagian ini, orang-orang Saduki, yaitu Imam Besar dan pengikut-pengikutnya, menangkap rasul-rasul yang berkarya di Yerusalem.
Orang-orang Saduki sebenarnya agak kasihan, karena kita tidak tahu apa-apa tentang orang Saduki selain dari catatan musuh-musuhnya; sementara tentang orang Farisi ada catatan dari orang Farisi sendiri mengenai diri mereka, sejarah mereka, ajaran mereka. Saya jadi ingat seorang sejarawan Indonesia yang juga kawan saya, Peter Carey (orang Inggris, lahir di Myanmar), mengatakan, “Kamu itu, orang Indonesia, kenapa sih tidak menulis sejarah Indonesia? Dunia ini lebih banyak membaca sejarah Indonesia dari tulisan orang-orang bukan Indonesia, seperti saya. Itu merugikan, soalnya dunia perlu tahu mengenai Indonesia dari sudut pandang Indonesia.” Saya kira dalam hal ini kita bisa simpati terhadap orang Saduki, soalnya dunia tahu mengenai mereka dari musuh-musuhnya; dan ini tentu merugikan orang Saduki. Bayangkan kalau kamu punya musuh yang menulis tentang kamu, kamu juga menulis tentang kamu, lalu tulisan kamu itu musnah karena pengaruh kamu sudah tidak ada lagi, dan semua orang mengetahui tentang kamu dari musuh-musuhmu, maka kira-kira sejarah akan mengerti kamu sebagai orang jenis apa? Pastinya yang jahat-jahatnya saja. Demikianlah orang Saduki. Yang kita tahu mengenai orang Saduki adalah dari tulisan orang Kristen, dari tulisan sejarawan yang dulunya orang Farisi –dari musuh-musuhnya–maka kita tidak terlalu banyak tahu mengenai orang Saduki selain dari bahwa mereka biasanya orang-orang yang menduduki posisi yang berkuasa. Jadi mereka ini kalangan elit –kalangan elit yang dibenci– mirip seperti suku Tutsi dalam konflik berdarah di Rwanda, minoritas tapi powerful.Ini posisi yang bahaya, karena kalau ada uprising yang populer, posisi mereka akan goyah. Sama juga seperti orang-orang Yahudi di Jerman, mereka minoritas tapi powerful; dan konon di Jerman pada zaman sebelum Hitler, dari 10 dokter yang 9 orang adalah Yahudi, demikian juga bankir.
Orang-orang Saduki seperti itu; dan ini menjelaskan kenapa mereka takut terhadap orang banyak. Mereka punya power, soalnya mereka menguasai Bait Suci, titik temu antara surga dan bumi sebagaimana yang dipercaya orang Yahudi –mereka menguasai pintu gerbangnya. Itu suatu posisi powerful bagi mereka yang percaya worldview tersebut. Memang bagi orang Romawi itu semua omong kosong, tetapi orang Yahudi percaya itu; dan mereka jumlahnya besar juga, mereka mayoritas di Yudea. Orang-orang Saduki ini bertindak, didorong oleh iri hati. Kenapa iri hati? Karena mereka insecure; mereka memang punya alasan untuk paranoid, sebab mereka ini posisinya sebetulnya rentan walaupun powerful. Orang yang powerful, koq bisa vulnerable? Tentu saja bisa, tanya saja kepada orang-orang Yahudi di Jerman tahun 1920-1930an, mereka minoritas dan vulnerable, maka kalau ada gerakan massa, mereka akan habis –namun mereka powerful untuk saat itu. Orang Saduki powerful karena duit, karena sejarah, karena posisi, karena power brokering dengan Romawi, dsb. Inilah orang Saduki, mereka sangat paranoid karena memang mereka punya alasan untuk itu.
Ayat 18-19 dikatakan: ‘Mereka menangkap rasul-rasul itu, lalu menjebloskan mereka ke penjara umum. Namun, pada malam hari seorang malaikat Tuhan membuka pintu-pintu penjara itu dan membawa mereka ke luar …’ . Orang Saduki tidak percaya malaikat Tuhan, jadi ini tentu bukan dari perspektif orang Saduki, karena ini dokumen yang ditulis oleh orang Kristen, Lukas. Dan nantinya kita akan lihat penyebutan ‘malaikat Tuhan’ ini ada hubungannya –barangkali– dengan tokoh yang lain dalam cerita ini, yaitu aliran Farisi. Farisi dan Saduki ini berantem terus, soalnya Farisi menyasar grass root, dekat dengan rakyat, berada di pihak rakyat kecil yang tidak terlalu ada duit tapi respek terhadap mereka. Orang Farisi tidak terlalu ada power; power mereka ada pada moral power, dan rakyat mendengarkan mereka, sementara orang Saduki agak dicibir, rakyat tidak suka dengan mereka, namun tidak terlalu bisa diapa-apakan, karena mereka punya tentara, mereka menguasai Bait Suci, mereka powerful.
Orang Saduki ini bertindak dengan sangat iri hati, menjebloskan rasul-rasul ke dalam penjara. Lalu dikatakan oleh Lukas, malaikat Tuhan membuka pintu penjara, membawa rasul-rasul keluar, dan bilang, “Pergilah, berdirilah di Bait Allah dan beritakanlah seluruh firman tentang hidup baru ini kepada orang banyak”, alias “proklamasikan Injil”. Khususnya di sini, tidak dikatakan ‘injil kebangkitan Yesus’, atau ‘injil mengenai penebusan dosa’, atau bahkan ‘injil soal datangnya Kerajaan Allah’, tapi memakai satu istilah yang agak spesifik, yang mewakili itu semua juga, yaitu ‘hidup yang baru’ (new life).
Setelah mendengar pesan itu, mereka pagi-pagi masuk ke Bait Allah lalu mulai mengajar di situ. ‘Pagi-pagi’ ini satu frasa yang sering muncul juga –‘pagi-pagi benar’, ‘menjelang pagi’– dan biasanya orang kalau melakukan pagi-pagi benar, dia melakukan sesuatu yang penting. First time in the morning, kamu melakukan sesuatu yang penting; first time in the morning, rasul-rasul ini melakukan yang malaikat perintahkan, yaitu memproklamasikan Injil soal hidup baru itu, kepada orang banyak. Di mana? Di Bait Allah. Bukan di rumah-rumah, bukan di sinagoge-sinagoge di kota-kota kecil, tapi di Bait Allah di Yerusalem, tempat mereka semula dicokok karena memberitakan kabar soal datangnya Kerajaan Yesus.
Selanjutnya, (ayat 21) imam besar dan pengikut-pengikutnya menyuruh Mahkamah Agama berkumpul, mereka menghimpun Sanhedrin, dan duduk di sana. Lukas mau menggambarkan mereka semua sudah siap –hakimnya, Kayafas, Hanas (mertua Kayafas), dan semua geng mereka, termasuk Gamaliel yang terhormat– lalu menyuruh mengambil rasul-rasul dari penjara. Lukas di sini pakai istilah ‘mengambil’, istilah yang biasa dikenakan pada barang, seakan-akan para tawanan itu cuma pion dalam segala skenario dari orang-orang yang berkumpul di Sanhedrin. Namun, lo and behold –ini humornya Lukas– ternyata penjaranya kosong. Jadi, mereka datang ke situ, para penjaga masih siap di depan pintu penjara, sudah begadang semalaman, dan ada akuntabilitas karena penjaganya tidak cuma satu, tapi waktu dibuka isinya sudah tidak ada, karena malaikat membebaskan orang-orang yang di dalam penjara itu. Ini pun suatu semeia (tanda). Tanda yang mana?
Kita ingat tanda-tanda yang dinyatakan Yesus waktu mengirim balik murid-murid Yohanes Pembaptis kepada gurunya yang ragu; ketika itu Yohanes Pembaptis di dalam penjara Herodes, menyuruh murid-muridnya tanya kepada Yesus, “Coba beritahu saya, benar tidak Kamu itu Mesias?” Padahal Yohanes Pembaptis adalah yang membaptis Yesus, king maker-nya Kerajaan Allah, dialah yang bilang, “Lihatlah Anak Domba Allah, Dia yang menanggung dosa dunia; Kerajaan Allah sudah datang”, namun di ujung hidupnya dia ragu, benar ‘gak sih Yesus itu Mesias. Kenapa dia ragu? ‘Soalnya gue di dalam penjara, sedangkan Herodes orang fasik; kalau Herodes orang yang fasik, dan Yesus adalah Raja, Mesias, Kerajaan Allah sudah datang, lalu kenapa gue dalam penjara ‘gak lepas-lepas??’ –inilah pertanyaan eskatologis Yohanes Pembaptis. Ini pertanyaan personal; bukan pertanyaan karena dia orangnya lembek dan takut mati, melainkan karena krisis eskatologis, krisis mengenai akhir zaman, ‘benar ‘gak sih akhir zaman sudah tiba, benar ‘gak sih Yesus itu Mesias?’ Lalu Yesus waktu itu menjawab: “Lihat semeia-nya dong, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, yang kerasukan setan dilepaskan”, dst. Dalam hal ini, mendengar itu Yohanes akan manggut-mangggut sambil berpikir, lalu ketika murid-muridnya berhenti berkata-kata pada satu titik, dia akan tanya, “Lho, sudah? Gitu doang??” –karena Yohanes pasti ingat bahwa Yesaya mengakhiri nubuatan soal tanda-tanda yang akan datang di akhir zaman dengan: “yang ada di dalam lubang tawanan –penjara– akan dilepaskan”, tapi jawaban Yesus tadi tidak sampai ke sana. Yesus berhenti pada tanda-tanda tentang menyembuhkan orang yang sakit dan membebaskan orang yang dirasuk roh jahat, tapi tidak sampai pada ‘membebaskan orang yang dalam tawanan’, padahal itulah yang ditunggu-tunggu Yohanes Pembaptis. Dalam hal ini, orang-orang seperti Kees van der Kooi mengatakan justru itulah jawaban Yesus, yaitu: tunggu waktunya; Kerajaan Allah memang sudah datang, tapi perkara tawanan, itu belum diwujudkan oleh Tuhan, waktunya akan tiba. Kapan waktunya tiba? Ketika malaikat datang ke penjara para rasul dan membebaskan mereka. Semua Sanhedrin sudah berkumpul, seakan-akan dunia sudah ada di tangan mereka, keadaan aman terkendali, lalu ternyata keadaan tidak aman terkendali, karena Roh Allah let loose –bukan hell let loose melainkan heaven let loose— Roh Allah mengutus malaikat Tuhan, sosok yang akrab di telinga orang Yahudi sebagai pembaca Perjanjian Lama, untuk membebaskan rasul-rasul dari dalam penjara.
Mereka tidak menemukan rasul-rasul di situ, lalu mereka memberitahukan kepada Sanhedrin dan melaporkan: “Kami mendapati penjara terkunci rapat, semua pengawal ada di tempat, di depan pintu, tetapi setelah kami membukanya, tidak seorang pun yang kami temukan.” Kepala Bait Allah dan imam-imam kepala mendengar laporan itu, mereka bingung. Orang bingung itu loose control, tidak dalam kendali; bingung mirip seperti heran, awe, seperti berada di hadapan sesuatu yang awesome sehingga tidak tahu harus apa. Dengan kata lain, keadaan tidak aman terkendali.
Kemudian seseorang melaporkan hal lain yang lebih menggelikan bagi Lukas: “Lihat, orang-orang yang telah kamu jebloskan ke dalam penjara, ada dalam Bait Allah dan mereka mengajar orang banyak”, sementara Bait Allah itu domain-nya imam kepala. Jadi mereka berkumpul untuk menghakimi orang-orang yang sedang berkarya menentang perkataan mereka, menantang otoritas mereka, di sarang mereka sendiri, yaitu mengajar orang banyak di Bait Allah. Ini bukan di sinagoge, bukan di kota-kota kecil, tapi di Bait Allah, jantung kekuasaan orang Saduki. Dengan kata lain, orang Saduki yang powerful itu tidak berdaya, karena the Spirit of God let loose, all heaven let loose.
Diceritakan selanjutnya: ‘Kemudian pergilah kepala pengawal serta orang-orangnya ke Bait Allah’. Jadi mereka digambarkan tergopoh-gopoh pergi ke sana-sini, sementara Tuhan yang take charge; seharusnya mereka yang take charge dan rasul-rasul yang ketakutan mohon ampun, namun tidak demikian, Tuhanlah yang take charge. Kepala pengawal serta orang-orangnya yang tergopoh-gopoh itu pergi ke Bait Allah untuk mengambil rasul-rasul itu, namun mereka harus menurut pada terms and condition yang dibentuk oleh kekuatan Tuhan, yaitu tanpa kekerasan. Kenapa tanpa kekerasan? Karena mereka takut. Lho, kenapa takut; orang powerful harusnya tidak perlu takut? Sebab mereka tidak powerful. Mereka mau tahan orang, tapi tidak bisa ditahan. Mereka mau mengintimidasi orang supaya bungkam, tapi orangnya tidak bungkam; powerful di mana?? Mereka kehilangan kendali.
Rasul-rasul itu kemudian ditangkap dengan tanpa kekerasan, karena orang Saduki takut. Ironis banget. Harusnya rasul-rasul itu yang takut, tapi malah orang Saduki yang takut –takut kepada orang banyak. Kalau Saudara ingat motif ini (tiap adegan ada motifnya), maka ini mirip atau mengingatkan dengan apa? Kalau Saudara nonton film-filmnya Quentin Tarantino, seperti misalnya Pulp Fiction, Jango, Kill Bill, dsb., di situ ada banyak adegan-adegan yang meminjam, mencuplik, mengutip potongan adegan dalam film-film lain. Kembali ke bagian ini, Lukas mencuplik adegan apa ketika dia mengatakan ‘orang-orang ini menangkap tapi tidak dengan kekerasan, karena takut orang banyak’ ? Ini mencuplik catatan Lukas sendiri dan catatan para penulis Injil, mengenai Yesus; bahwa rasul-rasul yang mengajar dengan berani itu menimbulkan iri hati dan rasa jengkel dalam diri orang Saduki, yang lalu direspons dengan orang Saduki bertindak secara takut-takut kepada orang banyak, itu jelas banget kutipan adegan dari Yesus. Dengan kata lain, rasul-rasul ini adalah minions dari Yesus, Yesus versi mini. Yesus tidak mati rupanya! Gerakan Yesus itu mau diberangus, tapi tidak hilang, malah menyebar –kayak jerawat dipencet malah jadi banyak, tidak mati tapi malah nyebar. Dan, ini sesuatu yang tentu menjengkelkan tapi bikin perasaan tidak berdaya; orang Saduki mencak-mencaklah dalam hati, karena mereka mau memberangus gerakan Yesus tapi malah menyebar ke mana-mana, merangsek masuk, dan menguasai orang banyak yang ingin dikuasai orang Saduki lewat kekuasan mereka yang eksklusif dan elitis.
Bisnis harus jalan terus, maka mereka kemudian membawa rasul-rasul dan menghadapkan kepada Mahkamah Agama –yang sekarang agak kedodoran otoritasnya. Rasul-rasul dihadapkan ke sana; dan Mahkamah Agama –dengan sok wibawa tentunya– mengatakan: “Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu… “. Mereka tentu tahulah maksudnya ‘dalam Nama Yesus’ adalah Yesus orang Nazaret, Yesus anaknya Yusuf, tapi sengaja tidak diomong. Kalau suatu nama sengaja tidak diomong, bisa ada dua motif. Motif pertama: karena hormat. Orang Yahudi memakai sebutan tidak langsung kepada Yahweh; kalau mereka mendengar kita orang Kristen menyebut, “Yahweh, Yahweh”, itu sesuatu yang kurang ajar banget –seperti kalau bapakmu namanya Bambang, lalu kita bilang, “Bambang, Bambang”, itu kayaknya kurang ajar banget. Orang Yahudi menyebutnya dengan hormat, Adonai (Tuan), mereka tidak berani bilang Yahweh; atau mereka menyebutnya Hashem (the Name, Nama itu, maksudnya Yahweh). Tapi ada motif kedua yang jadi alasan tidak mau menyebut nama orang, yaitu karena jijik, karena merasa orang itu rendah banget. Beberapa orang di kalangan kita, mungkin kita pikir rendah bangat sehingga kita tidak mau sebut namanya, kita bilangnya ‘dia’, kita beri julukan-julukan yang merendahkan seperti ‘si babi’ atau apalah; kita tidak sudilah ada nama dia menempel di bibir kita tapi kita mau gosipin juga, jadi kita pakai code name. Di bagian ini, code name-nya adalah ‘Nama itu’ –“Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalamNama itu”. Tapi ironisnya, ketika mereka bilang ‘Nama itu’ –tentu ini catatannya Lukas dalam bahasa Yunani Koine, tidak pakai bahasa Ibrani — kalau kita terjemahkan ke bahasa Aram lalu kita terjemahkan balik ke bahasa Ibraninya, Nama itu, dalam tradisi rabinic adalah istilah yang mereka pakai waktu mau menyebut ‘TUHAN’; dan Alkitab TB2 pakai huruf besar di sini, Nama itu. Memang orang Saduki tidak mungkinlah menulis Nama itu dengan huruf besar seperti LAI menuliskannya, namun itulah yang secara substansial dan secara esensial terjadi di sini, mereka menyebut Yesus sebagai Hashem, the Name, God, the God of Abraham, Isaac, and Jacob. Tentu ini secara harfiah tidak bisa ditegaskan, karena Lukas memang menulisnya dalam bahasa Yunani Koine bukan dalam bahasa Ibrani, tapi kalau kita mau terjemahkan, jadinya begitu. Dalam hal ini, saya kira Lukas bukan tidak mengerti, mungkin dia memaksudkan begitu juga.
Mereka mengatakan: “Dan kamu, kami sudah larang dengan keras mengajar dalam Nama itu, kamu tidak taat ya, kamu memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu…”. Ini sesuatu yang menarik; yang diajarkan para rasul sebenarnya apa? Apakah para rasul mengajar ‘Tuhan itu satu’? Kalau itu, orang Yahudi juga percaya. Apakah mereka mengajar ‘Yupiter bukan Tuhan, Yahweh adalah Tuhan’? Kalau itu, semua orang Yahudi juga setuju. Apakah mereka mengajar ‘jangan mencuri, jangan membunuh, jangan berzinah, jangan bersaksi dusta, hormati orangtuamu’? Kalau itu, orang Yahudi juga pasti setuju. Jadi pasti bukan itu; kalau begitu yang mereka bilang ‘ajaranmu’, itu apa? Ini melekat dengan tuduhan berikutnya: “kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami”; bahkan itulah yang memang diajarkan oleh Petrus. Petrus berkhotbah di Hari Pentakosta, Petrus berkhotbah di serambi Salomo, dan isi khotbah Petrus adalah: “Yesus yang sudah kamu bunuh, dibangkitkan Allah; Dia itu dijadikan Raja dan Mesias”. Bagian yang ‘Yesus adalah Raja’ memang menyinggung juga sih, tapi bagian ‘Yesus yang kamu bunuh’, bagi mereka ‘kenapa sih Petrus masih se-offensive itu, nyindirnya koq terang-terangan banget’; dan itu menyebabkan imam kepala mengatakan: “Dengan ajaranmu itu, kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami” –saking bencinya kepada Yesus, mereka bilangnya ‘Nama itu’, ‘Orang itu’, tidak pernah langsung menyebut nama-Nya.
Mereka bilang, “Kamu hendak menanggungkan darah Orang itu… “, tapi ironisnya para penulis Injil menyebutkan orang-orang Yahudi itulah yang mengatakan kepada Pontius Pilatus, “Biarlah darah-Nya tertanggung atas kami dan anak-anak kami.” (Dalam hal ini, tentu saja orang-orang Yahudi tidak setuju; komunitas Yahudi protes kepada Mel Gibson waktu dia bikin film “The Passion of the Christ” lalu pakai bahasa yang mereka pakai untuk bicara ke Pontius Pilatus tersebut). Itulah yang dikatakan orang-orang Yahudi kepada Pontius Pilatus dalam penceritaan Injil; dan Lukas mengutip juga dalam catatannya yang kedua, Kisah Para Rasul. Kali ini yang bersuara bukan Lukas sendiri melainkan Mahkamah Agama, imam besar itu, yang mewakili seluruh orang Yahudi yang menyalibkan Yesus; dia mengatakan: “Kamu ingin menanggungkan darah orang itu kepada kami”. Lho?? Sebelum menumpahkan darah Yesus, yang mengatakan ‘biarlah darah-Nya tertumpah atas kami –kami yang menanggung’, itu ‘kan mereka juga. Walaupun tentu ini disputasi –komunitas Yahudi sangat tersinggung kalau dibilang seperti itu, mereka bilang itu tuduhannya Lukas/para penulis Injil saja– tapi dalam disputasi tersebut kita tahulah di mana posisi kita.
Kemudian rasul-rasul itu menjawab, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia –itu sebabnya kami terus menyatakan Injil mengenai hidup yang baru itu, Injil mengenai datangnya Kerajaan Allah itu– Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus yang kamu bunuh… “ —lagi-lagi ngomongnya ‘Yesus yang kamu bunuh’— “dengan menggantung Dia pada kayu salib”. Mereka sekarang menambahi: kamu bukan cuma membunuh Dia, metode kamu mengeksekusi Yesus adalah metode yang ilegal secara Taurat, karena Taurat tidak mengizinkan orang dibunuh dengan digantung, karena itu menajiskan tanah, bukan hanya menajiskan orang bersangkutan. Memang dalam pemerintahan Romawi ada banyak yang di-eksekusi secatra salib; dan yang menjadi isu bagi orang Yahudi adalah bahwa salib membuat orang matinya tergantung. Itu sebabnya mereka bersikeras agar mayat-mayat yang sudah disalibkan, harus diturunkan dan dikubur. Orang Romawi inginnya mayat-mayat itu digantung terus sampai dekomposisi, dan hal itu menjadi suatu teror bagi penduduk; tetapi orang Yahudi tidak bisa terima, dan akhirnya orang Romawi kompromi. Dan sekarang, Petrus menuduhkan hal itu kepada Mahkamah Agama, “Kamu sudah membunuh Yesus, lagipula caranya dengan menggantung Dia”.
Namun selanjutnya Petrus mengatakan, “Dia yang telah ditinggikan Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Perintis dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat, supaya Israel dapat menerima pengampunan dosa.” Wow! Ini satu theologi yang secara frontal bertabrakan dengan theologi orang Farisi maupun Saduki. Ini mengulangi hal yang menjadi perjumpaan pertama antara Petrus dan Yohanes dengan Mahkamah Agama dalam peristiwa sebelumnya, dan jurusnya juga sama: “Kami adalah saksi dari peristiwa-peristiwa itu” –saksi. Artinya apa? Kalau kami mau gampang, ya, kami tinggal mundur saja, ‘kamu yang benar, kami yang salah’, selesai. Pemimpin kami sudah kamu bunuh, kami ‘gak suka, tapi ya sudahlah, kamu ‘kan yang berkuasa. Namun tidak demikian, di sini mereka mau insist bahwa mereka tidak punya pilihan. Koq, bisa saya bilang mereka tidak punya pilihan? Karena mereka mengatakan ini: “Kami adalah saksi dari peristiwa itu.” Kalau kamu saksi,kamu tidak bisa mengubah yang kamu lihat; kamu bisa berbohong, kamu bisa tidak mengatakan, tapi kamu tidak bisa mengubah kenyatan bahwa kamu menyaksikan. Itu sebabnya kadang-kadang menjadi saksi itu malaslah, sudah menghabiskan waktu, beresiko, dan apa yang disaksikan itu adalah sesuatu yang mereka tidak bisa kendalikan. Kamu tidak bisa mengendalikan apa yang masuk ke mata kamu; waktu kamu berada di sana, tidak sedang tidur, tidak mabuk, tidak pingsan, lalu tiba-tiba terjadi sesuatu, maka kamu saksi, dan kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah yang kira-kira diklaim oleh Petrus, ‘kami ini saksi dari peristiwa-peristiwa ini, kami bisa apa?? kami saksi dari datangnya Kerajaan Allah, kami saksi dari Yesus yang dibangkitkan Allah, walaupun Yesus kamu bunuh dengan cara itu; kami tadinya tidak dalam posisi ini lho’. Posisi para rasul tadinya adalah ini: tidak mau percaya bahwa Kerajaan Allah datang dengan cara-cara itu, dengan cara Mesias harus mati dulu, apalagi matinya terkutuk. Mereka tidak mau telan itu; Petrus menarik Yesus ke samping –ini Petrus yang sama– dan mengatakan, “Kiranya Allah menjauhkan itu”, sampai Yesus bilang, “Enyahlah engkau, iblis” –Petrus dibilang sebagai penentang, setan.
Mendengar perkataan itu, hati para Sanhedrin tertusuk. Istilah ‘tertusuk hatinya’ ini pernah muncul sebelumnya dalam peristiwa baptisan 3000 orang itu, pada Hari Pentakosta. Mereka itu memberi diri dibaptis setelah mendengar khotbah Petrus yang menjelaskan atas tuduhan bahwa mereka ini orang-orang mabuk, yautu dari nubuatan Yoel, dst.; dan setelah mendengar itu semua, mereka tersayat hatinya. Tersayat hatinya dan tertusuk hatinya ini frasa yang sama. Ini kemudian muncul lagi waktu mereka membunuh Stefanus, diaken yang pertama itu. Sebelum membunuh dia, mereka mendengar Stefanus bersaksi, lalu hati mereka tertusuk –pakai frasa yang sama. Di bagian ini, hati mereka tertusuk lalu mereka ingin membunuh rasul-rasul itu –seperti mereka ingin membunuh Yesus. Adegannya mirip; Lukas mau menggambarkan bahwa para rasul itu minions-nya Yesus. Yesus mau dicokok, mau dihentikan, karena mereka iri hati, tapi takut kepada rakyat; Yesus mengatakan sesuatu yang dari Allah, yang mereka tidak bisa bantah karena benar, lalu itu menusuk hati mereka, dan ending-nya mereka bertekad membunuh Yesus —ending yang sama, sekarang mereka bertekad membunuh rasul-rasul.
Namun atas providensia Allah, dalam Mahkamah Agama itu tidak hanya ada orang Saduki, tapi juga ada orang Farisi (dan waktu menulis ini, Lukas punya teman seperjalanan orang Farisi, namanya Saulus dari Trarsus yang kemudian jadi pengikut Yesus). Seorang Farisi dalam Mahkamah Agama itu namanya Gamaliel. Gamaliel ini pernah disebut oleh Paulus, Gamaliel adalah gurunya Paulus. Dikatakan bahwa Gamaliel ini pengajar hukum Taurat yang sangat dihormati orang banyak, walaupun dia tidak se-powerful orang Saduki dalam pengertian punya relasi dengan kekuasaan, punya duit, punya tentara (dalam hal ini kelihatannya Lukas punya bias, kalau menggambarkan orang Farisi agak lebih oke dibandingkan orang Saduki). Gamaliel kemudian mengatakan suatu nasehat yang kemudian diterima karena make sense, oleh sidang Mahkamah Agama itu. Dia mengatakan: “Kalau gerakan ini dari manusia, nanti akan musnah sendiri. Kalau gerakan ini dari Tuhan, kamu mau musnahkan juga tidak bisa, lagipula kamu akan melawan Tuhan kalau ini dari Tuhan.” Lalu dia memberi dua contoh.
Contoh yang pertama: “Ingat, dulu ada Teudas yang mengaku-aku orang istimewa –maksudnya tentu Mesias– mengumpulkan 400 pengikut, tapi dia dibunuh (kemungkinan oleh Romawi, bukan Saduki), lalu tercerai berailah pengikutnya, lenyap gerakan itu. Selesai.” Contoh yang kedua: Yudas dari Galilea. Galilea ini tanah yang banyak terjadi pemberontakan terhadap Romawi, tanah yang revolusioner, orang-orangnya berdarah panas, suka fanatik-fanatik lalu melawan Romawi. Yudas ini juga sama. Dikatakan oleh Gamaliel, “Yudas menyeret orang banyak dalam pemberontakannya, tapi dia mati, dan pengikut-pengikutnya tercerai berai.” Dalam hal ini para sejarawan mempertanyakan tulisan Lukas, karena Lukas mencatat ‘sesudah dia (Teudas), muncullah Yudas’, padahal dalam catatan Yosephus mengenai sejarah orang Yahudi, Yudas justru sebelumnya, baru sesudah itu Teudas. Menurut Yosephus, Yudas muncul tahun 6 AD, sedangkan Teudas muncul pada masa pemerintahan seorang prokurator Romawi bernama Fadus tahun 44-46; artinya lebih dulu Yudas, baru kemudian Teudas. Selain itu, Teudas juga tidak sama ciri-cirinya dengan Teudas yang disebut oleh Yosephus. Jadi bagaimana? Tentu kita sebagai orang yang mengatakan ‘masa’ sih Alkitab salah??’, kita punya beberapa argumen. Yang pertama, Yosephus bisa saja salah, lagipula Yosephus juga bikin traktat propaganda pro Romawi, Yosephus ini pembelot. Yosephus ini pernah jadi orang Farisi, orang Zelot, orang Eseni, tapi berakhir dengan jadi pengkhianat orang Yahudi –Yudasnya orang Yahudi, kira-kira begitu. Yosephus ini pro Romawi; dan dia bikin ‘sehjarah orang Yahudi’, yang sebenarnya propaganda pro Romawi. Jadi, bisa saja Yosephus ini salah, bisa saja dia ngarang-ngarang; atau komprominya ini: Yosephus menyebutkan Teudas yang berbeda dari Teudas yang disebut oleh Lukas (maksudnya ketika Lukas menceritakan soal Gamaliel, Gamaliel mengatakan tentang Teudas yang berbeda). Ini masuk akal juga, karena nama Teudas bukan nama yang unik, seperti misalnya nama Joko, Bambang, Susilo, dsb. pernah jadi nama yang umum di kita. Dan juga, pemberontakan pada waktu itu banyak jumlahnya, jadi kalau mengatakan ada seorang pemberontak namanya Teudas, mungkin ada 2-3 pemberontak yang namanya Teudas, lagipula banyak yang tidak dicatat. Jadi Gamaliel mungkin mengacu pada itu.
Gamaliel mau mengatakan, “Sudahlah, orang-orang ini dibiarkan saja, setidaknya jangan dibunuh. Kalau kamu mau apa-apakan, pukul-pukul, ya tidak apa-apalah, tapi jangan bunuh, soalnya nati kamu melawan Tuhan. Lagipula ngapain??” Ini mirip seperti ‘taruhan Pascal’ (Pascal’s wager) dari Blaise Pascal, seorang jenius matematika. Pascal memberi taruhan soal Tuhan ada atau tidak ada; begini: Anggap saja kita tidak tahu Tuhan ada atau tidak ada, yuk, kita taruhan. Kalau kamu bilang Tuhan tidak ada, lalu ternyata Dia memang tidak ada, kamu untung apa dan rugi apa? Jawabannya, untung sedikit, rugi sedikit; untungnya, dalam hidup yang pendek ini mungkin kamu bisa happy-happy seenak kamu, tapi ruginya juga tidak ada, mati ya habis. Kalau kamu bilang Tuhan tidak ada, lalu ternyata Dia ada, maka kamu ruginya banyak banget, mengerikan, untungnya sedikit; kemungkinan profitnya kecil, cuma 70-80 tahun hidup ini, sementara ruginya kematian kekal. Kalau kamu percaya Tuhan ada, dan ternyata Tuhan tidak ada, ruginya sedikit, cuma 70-80 tahun kamu hidup menyangkal diri, memikul salib, hidup benar, menghidupi Kekristenan, tapi ‘kan juga ‘gak jelek-jelek banget, bahagia juga jadi orang Kristen hidup saleh. Tapi kalau saya percaya Tuhan ada, dan ternyata Dia ada, potensi untungnya gede banget, surga, hidup kekal; sedangkan kalau ternyata salah, ruginya juga ‘gak banyak. Lalu kata Paskal: kalau kamu sedikit punya otak, tentu kamu bisa timbang sendiri bisnis apa yang resikonya kecil potensi cuan-nya gede, dibandingkan dengan resikonya gede potensi cuan-nya kecil, dan kamu harusnya sudah langsung menemukan jawabannya, ngapain ambil yang cuan-nya sedikit resikonya gede, harusnya ambil yang cuan-nya gede resikonya kecil. Jangan gobloklah. Kira-kira begitu yang namanya ‘taruhan Pascal’.
Namun sebelum Pascal, sudah ada orang yang mengatakan kayak begini, namanya Gamaliel, orang yang dihormati itu, gurunya Paulus. Dia bilang: “Lu pikirlah, buat apa sih kepingin membunuh orang-orang ini? Kalau benar mereka dari Tuhan, lu melawan Tuhan, kena azab lho; lagipula juga ‘gak akan berhasil kalau mereka memang dari Tuhan, malah nanti kamu dihukum Tuhan. Tapi, kalau ini dari manusia, ngapain repot-repot, drop no sweat-lah, ngapain bunuh orang itu, ngotorin tangan saja. Bubar sendiri koq, kalau itu dari manusia”. Lalu mereka mendengarkan Gamaliel. Tapi apakah mereka mendengarkan sepenuhnya, mungkin tidak juga, karena mereka kemudian mencambuk rasul-rasul itu. Dalam hal ini, mencambuk orang masih diberikan allowance oleh Romawi, sebanyak 40 kurang 1; kemudian mereka dilepaskan.
Waktu dilepaskan, rasul-rasul meninggalkan sidang itu dengan sukacita. Ini kalau kamu bikin film, mungkin bisa pakai lagu “Don’t worry, be happy”, lagu yang happy-happy. Ini menarik, kenapa mereka pergi dengan sukacita?? Mustinya sedih dong, ya, badannya sakit-sakit, prospeknya kayaknya mengerikan, tapi koq pergi dengan sukacita? Jawabannya konsisten dengan gambaran tentang apa yang mereka alami dari potongan-potongan adegan yang allute kepada Injil, yaitu: sebab mereka telah dianggap layak –oleh Tuhan– untuk menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus. Jadi, oleh karena Nama Yesus bukan hanya setan-setan pergi, bukan hanya orang buta melihat, orang sakit sembuh, orang mati bangkit, tapi juga oleh karena Nama Yesus itu orang-orang yang adalah saksi-Nya boleh layak menderita penghinaan. Wow! Dan, mereka menderitanya dengan gembira. Ini bukan menderita penghinaan karena mereka hina, ya. Mungkin kitalah orang Kristen yang suka besar kepala, merasa ‘saya dihina, berarti saya rohani, saya hidupnya suci’, padahal tidak tentu demikian, mungkin hidupmu hina maka dihina. Tapi, kalau kamu dihina karena Nama Yrsus, bersukacitalah, karena kamu dianggap layak untuk itu. Tidak usah lalu internalizing ‘saya memang hina’ –kalau memang kamu tidak hina– karena mereka mungkin menghina komitmen kamu saja.
Lalu apa yang mereka lakukan? Dengan membandel –kembali Lukas mengulangi– mereka setiap hari mengajar di Bait Allah dan di rumah-rumah. Mereka bukan tiap-tiap hari mengajar di sinagoge, di tempat-tempat kecil, di tempat-tempat yang tidak terendus kekuasaan Bait Suci, melainkan mengajar di Bait Allah. Wow! itu ‘kan domain dari para Saduki dan para imam. Ternyata, para imam dan orang Saduki tidak seberkuasa itu, cuma bisa gertak. Nantinya Lukas mengakhiri catatannya dengan bahwa ternyata orang Romawi pun tidak se-berkuasa itu; di bagian terakhir Kisah Para Rasul, Paulus pergi memberitakan Injil di rumah yang disewanya sendiri selama dua tahun itu di kota Roma, di jantung kekuasaan Romawi –memberitakan Injil soal Kerajaan Raja Yesus. Wow! seakan-akan kaisar itu nothing. Sementara di bagian ini, mereka memberitakan Injil tentang Yesus yang adalah Mesias –kalau mau ditambahi lagi biar lebay, ‘yang dibunuh oleh orang Saduki, orang Farisi’– di domain kekuasaan orang Saduki dan orang Farisi, yaitu di Bait Allah, tiap-tiap hari, di depan batang hidung mereka; dan mereka tidak bisa menyetop itu, mereka tidak bisa menghentikan gerakan yang dimulai oleh Tuhan sendiri.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading